Tag: Koalisi Masyarakat Sipil

Rilis Pers – Surat Dakwaan Terhadap Dua Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua Tidak Dapat Diterima

Tim Advokasi Papua
Rabu, 2 Juni 2021, persidangan dua (2) orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua, yakni Ruland Rudolof Karafir yang merupakan Kepala Biro Pendidikan dan Pembinaan Pengurus Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Finakat Molama yang merupakan Sekretaris Jenderal Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Jakarta, telah memasuki agenda Pembacaan Eksepsi Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua.

Sejak awal Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menilai bahwa kasus yang menimpa dua orang Aktivis Papua ini merupakan upaya untuk meredam gerakan demonstrasi yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan oleh mahasiswa Papua untuk menuntut pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Maka dari itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hal ini karena surat dakwaan tersebut disusun berdasarkan fakta yang keliru yang pada akhirnya membuat substansi dalam surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 sangat kacau dan menyesatkan (misleading). Tidak hanya menyesatkan, tetapi dakwaan tersebut disusun dengan mengabaikan syarat materiil dalam penyusunan surat dakwaan, yakni harus disusun secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. JPU terkesan tidak mengerti secara jelas mengenai pemaknaan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP yang dijadikan dasar proses persidangan dalam perkara a quo. Hal tersebut dapat tergambar dari tidak mampunya JPU menguraikan unsur Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP secara jelas, cermat dan lengkap mengenai perbuatan yang dilakukan oleh PARA TERDAKWA. Bahkan, ada beberapa unsur yang sama sekali tidak diuraikan dalam surat dakwaan. Hal ini diperparah lagi dengan prosedural penyusunan surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-37/JKT-TM/EKU/04/2021 tersebut berdasarkan proses penyidikan, penangkapan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan yang tidak sah.

Untuk diketahui bersama, bahwa persidangan dua (2) aktivis Papua ini dilakukan secara online (daring). Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua sudah mengirimkan Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 25 Mei 2021 untuk menghadirkan PARA TERDAKWA ke ruang persidangan secara langsung (tatap muka). Namun, hari ini, 2 Juni 2021, Ketua Majelis Hakim menyatakan secara lisan menolak permohonan tersebut tanpa membacakan penetapan di persidangan dan dasar hukum yang jelas, melainkan hanya berdalih bahwa semua persidangan se-Indonesia dilaksanakan secara daring.

Maka dari itu, atas alasan penolakan yang tidak dilandasi hukum tersebut Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua menyatakan keberatan. Hal ini didasari oleh karena sidang secara daring sangat bermasalah secara hukum dan HAM, yang secara teknis telah dan akan mempersulit PARA TERDAKWA untuk membela diri, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya hak PARA TERDAKWA untuk mendapatkan persidangan yang jujur dan adil (fair trial).

Selain itu, Penasihat Hukum dari Tim Advokasi Papua berpendapat bahwa penolakan permohonan sidang tatap muka yang disampaikan secara lisan oleh Majelis Hakim tersebut sangat diskriminatif. Hal ini didasari adanya fakta bahwa sudah banyak sidang yang dilakukan secara tatap muka, misalnya dalam persidangan a.n. Habib Rizieq Shihab di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Moh. Jumhur Hidayat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, persidangan a.n. Ahmad Shabri Lubis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, persidangan a.n. Eddy Prabowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, persidangan a.n. Ruslan Buton di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, serta persidangan a.n. Anton Permana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Untuk itu Tim Advokasi Papua meminta agar:

  1. Majelis Hakim membatalkan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum atau setidaknya menyatakan tidak dapat diterima;
  2. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur mencabut Penetapan Sidang Online dan melakukan sidang secara tatap muka jika proses persidangan akan dilanjutkan ke agenda berikutnya.

Narahubung:
Michael Himan (Papua Kita)
Ade Lita (KontraS)
Ma’ruf Bajamal (LBH Masyarakat)
Teo Reffelsen (LBH Jakarta)

Dokumen – Uji Materil UU Narkotika Terhadap UUD 1945 terkait Larangan Narkotika Golongan I untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi

Ketentuan UU Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan Kesehatan digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh 3 orang ibu dari anak dengan Cerebral Palsy. Narkotika Golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara.

Koalisi masyarakat sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon berdalil bahwa pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1).
Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut definisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Pengajuan uji materil ini diharapkan dapat membuka ruang-ruang penelitian ilmiah untuk menekankan kembali ide dasar pemanfaatan narkotika yakni untuk kepentingan kesehatan. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kritik yang keras pula terhadap penerapan kebijakan narkotika di Indonesia yang saat ini terlampau berat pada metode penegakan hukum pidana. Kebijakan narkotika sudah saatnya mulai dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). Untuk itu, ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia.

Dokumen Permohonan dapat teman-teman baca pada link di bawah ini:
Permohonan Uji Materil UU Narkotika Terhadap UUD 1945

Rilis Pers – Dalam Semangat Hari Kartini, Tiga Ibu Lanjutkan Perjuangan Uji Materil Larangan Narkotika Untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi

Pagi pukul 10 WIB hari ini, 21 April 2021 Mahkamah Konstitusi RI kembali menggelar persidangan untuk perkara permohonan uji materil pasal pelarangan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. Permohonan ini diajukan oleh tiga orang Ibu dari anak-anak yang menderita Cerebral Palsy yang menginginkan adanya pengobatan menggunakan narkotika golongan I (senyawa ganja) sebagaimana sudah banyak berkembang di dunia. Mereka adalah Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayanti.

Agenda sidang kali ini membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh kuasa para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Dalam sidang ini, tim kuasa pemohon juga menyampaikan beberapa perkembangan terkait perkara ini salah satunya yakni berita duka dari Pemohon Ibu Dwi Pertiwi yang kehilangan puteranya, Musa IBN Hassan Pedersen atau yang sering dipanggil Musa. Musa meninggal dunia pada 26 Desember 2020 setelah berjuang 16 tahun hidup dengan kondisi Cerebral Palsy, yakni lumpuh otak yang disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Cerita Musa ini menjadi titik awal yang melatarbelakangi pengajuan permohonan uji materil UU Narkotika yang diinisiasi oleh Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan pada 19 November 2020.

Selain itu, sebagai bagian dari perbaikan permohonan tim kuasa pemohon juga menyampaikan perkembangan dari PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis. Sebagaimana diketahui pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO untuk menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. Konsekuensinya, ganja tidak lagi dipersamakan dengan jenis narkotika Golongan I lainnya yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian. Bahkan sebaliknya, hal ini memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

Koalisi berharap dengan adanya perkembangan-perkembangan di atas dapat semakin memperkuat keyakinan hakim Mahkamah Konstitusi bahwa isu ini sangat relevan untuk mendapatkan perhatian sehingga persidangan dapat berlanjut ke proses pembuktian. Sebagaimana juga harapan para pemohon dalam perkara ini supaya apa yang terjadi pada Musa tidak terjadi pada anak-anak Indonesia yang lain. Untuk itu, koalisi mendesak agar Pemerintah dan DPR segera bergerak cepat untuk menyikapi perkembangan dari PBB terkait potensi penggunaan Narkotika Golongan 1 yakni ganja untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Sebagai negara anggota, Pemerintah Indonesia secara sikap politis harus mau mengakui dan mengikuti perubahan ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 tersebut sebagai rujukan UU Narkotika.

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan
(Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, LGN)

Rilis pers bisa diunduh pada link di bawah ini:

Dokumentasi – Risalah Sidang MK: Judicial Review Narkotika Medis

Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Menjalani Sidang Gugatan di MK

Kemarin di tanggal 21 April 2021, Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh LBHM, ICJR dan Rumah Cemara bersama dengan ibu-ibu tangguh, yakni Ibu Dwi Pertiwi, Ibu Santi Warastuti, dan Ibu Nafiah Murhayati kembali menjalani persidangan Uji Materil Larangan Narkotika Untuk Pelayanan Kesehatan di Mahkamah Konstitusi, melanjutkan agenda pertama yang digelar pada Desember lalu.

Addapun agenda persidangan kemarin, 21 April, yakni membahas poin-poin perbaikan permohonan yang telah disampaikan oleh para pemohon pada Desember 2020, yakni mengenai kedudukan hukum para pemohon, redaksi petitum, serta beberapa hal formal lainnya termasuk juga penambahan argumentasi untuk menguatkan substansi permohonan.

Risalah persidangan dapat teman-teman baca secara rinici pada link di bawah ini:
Risalah Perkara-Nomor-106.PUU-XVIII.2020_Sidang ke-2

Rilis Pers – Presiden Jokowi Segera Cabut Pasal Karet UU ITE, Rakya Mendesak dan Siap Mengawal

Senin, 15 Februari 2021, dalam rapat tertutup dengan pimpinan TNI dan Polri di Istana Negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah akan membuka ruang untuk duduk bersama dengan DPR RI guna merevisi UU ITE. Koalisi mendukung pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam membuka wacana Revisi UU ITE tersebut, namun pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit.

Seluruh pasal – pasal yang multitafsir dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE sudah seharusnya dihapus. Rumusan pasal-pasal dalam UU ITE, yang sudah diatur dalam KUHP, justru diatur secara buruk dan tidak jelas rumusannya disertai dengan ancaman pidana lebih tinggi.

Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.

Rilis lengkap dapat dibaca di link berikut:

Koalisi Masyarakat Sipil:
ICJR, LBH Pers, IJRS, Elsam, SAFENet, YLBHI, KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Masyarakat, AJI Indonesia, ICW, LeIP, LBH Jakarta, Greenpeace Indonesia, PUSKAPA, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), WALHI

Skip to content