Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyoroti langkah Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari Herry Wirawan (pelaku pemerkosaan 13 santri) dan tetap menghukum mati Herry sebagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Bandung. Kami mendukung secara penuh penjatuhan pidana seberat-beratnya pada kejahatan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan, tetapi kami juga turut menggaris bawahi bahwa penolakan kasasi oleh MA justru menunjukkan lalainya negara dalam memahami penjatuhan vonis mati belum tentu menyelesaikan persoalan dan membuat jera para pelaku kekerasan seksual.
Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan secara jelas melanggar ketentuan Pasal 28I UUD 1945 yang menjamin bahwa hak untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). Selain itu, jika dilihat berdasarkan aturan internasional, hukuman mati juga bertentangan dengan Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 6. Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.
Jika ditelisik lebih dalam, kasus kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang tidak dapat otomatis akan selesai melalui penjatuhan vonis mati terhadap pelaku. Vonis hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusi dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual. Meskipun argumen utama vonis hukuman mati dalam kasus ini adalah dapat mencegah pemerkosaan, justru pada World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai Negara di dunia menyebutkan sebaliknya. Bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri, tidak efektif menimbulkan efek jera. Berdasarkan catatan kritis yang dibuat oleh ICJR, MaPPI FHUI, ECPAT Indonesia, dan Koalisi Perempuan Indonesia, sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati atau hukuman kebiri juga mengakui, bahwa menurunnya jumlah kasus perkosaan yang dilaporkan, tidak menggambarkan situasi sesungguhnya. Karena banyaknya kasus perkosaan yang tidak dilaporkan, terlebih-lebih jika pelakunya merupakan bagian dari keluarga. Seorang anak yang diperkosa telah mengalami banyak permasalahan dan trauma. Kerap kali pelaku pemerkosaan adalah orang-orang yang dipercaya dan korban dapat merasakan trauma yang berlipat jika mengetahui pelakunya dapat meninggal karena laporan pemerkosaannya. Sejalan dengan hal tersebut, angka kekerasan seksual di Indonesia juga masih relatif tinggi, berdasarkan laporan Komnas Perempuan pada tahun 2022, jumlah data kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tahun 2021 sebanyak 338.496 kasus. Jumlah ini meningkat 50% jika dibandingkan tahun 2020. Disisi lain, masalah utama yang dihadapi oleh sebagian besar negara adalah terkait dengan tidak memiliki akses terhadap keadilan oleh korban kekerasan seksual – baik oleh stigma, ketakutan akan pembalasan oleh pelaku, stereotip gender yang mengakar dan ketidak seimbangan kekuatan, kurangnya mekanisme peradilan, serta undang-undang yang justru memaafkan perlakuan pelaku kepada korban serta kurangnya perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Dalam menuntaskan persoalan kejahatan seksual, Negara dituntut hadir untuk berfokus pada aspek pemulihan korban dan mencegah segala bentuk keberulangan dengan menciptakan ruang aman. Alih-alih berfokus pada agenda tersebut, , negara mengembalikan paradigma penghukuman yang kejam dan punitif salah satunya tercermin dalam vonis mati kepada Herry Wirawan. Setiap adanya pemberitaan mengenai kekerasan seksual, pemerintah merespons dengan kebijakan yang semakin keras bahkan hingga vonis hukuman mati sebagai bentuk kekhawatiran, daripada mengidentifikasi solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penjatuhan vonis mati kepada Herry Wirawan seakan menunjukkan keberpihakan negara kepada korban, padahal negara hanya fokus untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku, tidak berfokus kepada pemenuhan hak-hak korban dalam hal rehabilitasi, kompensasi, restitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pada sisi lain proses hukum yang panjang dan melelahkan bagi korban justru menimbulkan mekanisme penyelesaian yang tidak pasti dan memadai bagi korban. Alokasi anggaran yang disedot dari keuangan negara untuk proses hukum dan eksekusi mati pun tidak sepadan dengan nominal yang diberikan kepada korban. Alih-alih berpihak pada korban, hukuman mati justru tidak menyelesaikan kebutuhan korban. Dapat dipahami bahwa perlu adanya mekanisme perubahan yang serius dan progresif terhadap sistem penegakan hukum untuk dapat mencegah kembali terjadinya tindak kekerasan seksual yang saat ini masih masif terjadi.
Jakarta, 4 Januari 2023
KontraS – LBHM
Narahubung :
Layla Adiwitya (0812 2976 7269-LBHM)
Rivanlee Anandar (0813 9196 9119-KontraS)