Pada hari Jumat, tanggal 17 Oktober 2025, bertempat di Hotel Manhattan, Koalisi Masyarakat Sipil telah melaksanakan kegiatan Konsinyering RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka merespons pemerintah yang sedang membuat Rancangan Undang-Undang baru untuk menggantikan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (UU PNPS No. 2/1964), sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru) yang akan mulai berlaku Januari 2026.
Kegiatan konsinyering ini mengundang tiga narasumber yakni, Kementerian Hukum, diwakili oleh Retno Endah Kumalasari Sunaringtyas, Kejaksaan Agung yang diwakili oleh Ade Nandar Silitonga dan Komnas HAM diwakili oleh Putu Elvina. Para narasumber secara garis besar memaparkan perkembangan pembentukan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, situasi penerapan hukuman mati di Indonesia dan kondisi terpidana mati yang tersebar di Lapas Indonesia.
RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang sedang dibuat oleh pemerintah memuat perubahan yang signifikan, total ada tujuh bab termasuk di dalamnya memuat tentang hak-hak terpidana mati, kewajiban terpidana mati, persyaratan pelaksanaan pidana mati sampai dengan konsekuensi hukum yang harus diberikan apabila terpidana mati tidak jadi dieksekusi. Di samping itu, RUU ini juga memuat tentang jangka waktu putusan pelaksanaan pidana mati pasca adanya surat penetapan pelaksanaan pidana mati yang keluarkan oleh Kejaksaan Agung selaku eksekutor.
Dalam konsinyering ini, para peserta dari kelompok masyarakat sipil juga mempertanyakan beberapa pasal yang masih dianggap bermasalah dalam draft yang ada sekarang. Salah satunya tentang pemberitahuan atas pelaksanaan penetapan eksekusi mati kepada terpidana mati masih sangat singkat, terpaku pada ketentuan Pasal 6 UU PNPS No. 2/1964, yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemberitahuan tentang eksekusi mati dilaksanakan tiga kali dua puluh empat jam (3 hari) sebelum dieksekusi mati. Berkaca pada tiga gelombang eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2015 dan 2016, waktu 3 hari tidaklah cukup untuk terpidana mati dapat mengakses semua hak-haknya, salah satunya adalah hak atas berkomunikasi dengan keluarga dan hak atas mengajukan pembelaan diri bilamana terdapat pelanggaran hak-hak kepada terpidana mati.
Permasalahan lain yang mencuat di diskusi hari ini yaitu terkait mekanisme pengawasan eksekusi mati. Meskipun pada Pasal 13 ayat (1) RUU ini menjelaskan bahwa penetapan eksekusi mati juga diberitahukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tidak ada ketentuan kewenangan pengawasan dan pengaduan yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Padahal mekanisme penjatuhan hukuman yang sangat final ini jelas membutuhkan pengawas independen yang mampu untuk memastikan semua hak terpidana mati telah terlaksana sebelum eksekusi. Oleh karena itu penting untuk mencantumkan mekanisme pengawasan dan pengaduan yang jelas dalam hal terjadi pelanggaran hukum pada pelaksanaan eksekusi mati.
Peserta konsinyering juga mempertanyakan beberapa pasal-pasal yang masih memuat keambiguan, kesalahan, dan ketidakjelasan. Misalnya, pada Pasal 8 Ayat (3) tentang penundaan eksekusi pada perempuan yang sedang menyusui anaknya yang masih memberikan pilihan 40 hari atau 2 tahun. Selain itu, ada beberapa hak yang dianggap kelompok masyarakat sipil pendamping terpidana mati yang krusial selama proses eksekusi yang belum terwakili pada Pasal 3 tentang hak. Ada juga masalah soal ketiadaan peran penasihat hukum terpidana meskipun menjadi salah satu pihak yang diberitahukan tentang penetapan eksekusi.
Berdasarkan diskusi konsinyering ini, kelompok masyarakat sipil bersepakat bahwa pengesahan RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati tidak boleh dilakukan terburu-buru. Target dilegislasikannya RUU ini pada akhir tahun tidak boleh mengorbankan aspek-aspek pelindungan dan pemenuhan HAM yang menjadi semangat pembaruan KUHP. Konsinyering ini menunjukkan bahwa pemerintah dan parlemen harus mendengarkan secara menyeluruh pihak-pihak yang selama ini bertemu, berinteraksi, dan mengamati isu hukuman mati, sehingga naskah RUU Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati betul-betul menunjukkan cara Indonesia untuk mencari jalan tengah antara kaum abolitionis dan retensionis.
Jakarta, 17 Oktober 2025
Narahubung:
Awaludin Muzaki (0812-9028-0416)
Asry Alkazahfa (0852-9466-0049)