Ditinggal sang ayah sejak bayi, Yali – bukan nama sebenarnya – hanya bisa melihat lebar senyum ayahnya dari selembar foto – yang kerap jadi imaji dalam benaknya. Hidup bersama sang ibu di sebuah rumah petak, Yali putus sekolah sejak sekolah menengah pertama dan menyadari betul bahwa ia harus ikut membantu ibunya, seorang tukang kopi keliling, untuk memperoleh penghidupan. Di tengah segala keterbatasan, hadirlah sebuah pekerjaan yang tulus ia jalani: juru parkir.
17 tahun umurnya kini. Ia, sayangnya, tak seberuntung anak-anak 17 tahun lain yang mungkin saat ini sedang berbelanja di mall, hang out di sebuah coffee shop, atau berlibur di Lombok. Yali harus bangun pagi-pagi untuk mengurus sepetak tempat parkir di depan Gedung Chandra, area Pancoran. Jasanya menjaga keamanan motor-motor yang sedang parkir sedikit banyak membantu ekonomi keluarganya.
17 Januari 2018 menjadi hari yang berbeda dengan biasanya karena seorang supir ojek online menghalangi petak parkir yang Yali jaga – hal yang selama ini menjadi satu-satunya sumber penghidupan baginya. Yali pun menegur sang supir. Bukannya pindah, supir itu justru memarahi Yali. Adu mulut antar keduanya tidak terelakan. Tak selang berapa lama, supir itu pergi dan kembali dengan dua temannya. Merasa terancam, Yali pun membela diri. Dua orang teman supir tadi kabur. Emosi Yali sudah tak terkendali dan ia pun memukul kepala supir tadi dengan balok. Perkelahian pun usai.
Sesampainya di rumah, ada dua pria berpakaian polisi datang ke rumah Yali. Sang ibu yang baru pulang dari berjualan kopi sontak kaget dan takut akan hadirnya kedua pria tersebut. Benar saja, polisi menangkap Yali atas tindakannya memukul si supir tadi siang. Ia pun diamankan ke Polsek Taman Sari, Jakarta Barat. Terburu-buru, sang ibu langsung mengabarkan kejadian ini kepada salah satu Pengacara Publik LBH Masyarakat, Riki Efendi.
Riki langsung datang ke Polsek Taman Sari. Di sana, Riki menemukan puluhan supir ojek online berkerumun. Riki masuk ke dalam Polsek dan bertemu dengan Yali yang saat itu tidak didampingi oleh pengacara. Riki juga bertemu dengan korban, si supir ojek online. Korban membawa alat bukti hasil visum dan bukti memar di bagian kepala dan tangan. Korban pun menuntut Yali agar masuk bui.
Meski Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak berhadapan dengan hukum sebaiknya tidak ditangkap maupun ditahan, pada kasus ini pihak kepolisian malah menahan Yali di Polsek Taman Sari untuk proses penyidikan.
LBH Masyarakat mengajukan upaya diversi mengenai kasus Yali.[1] Awalnya, pihak kepolisian dan korban meminta ‘uang perdamaian’ sebesar 5 juta rupiah. Namun, kami berusaha meyakinkan kepolisian dan korban bahwa diversi adalah hak bagi anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk untuk Yali. Terlebih, jika melihat latar belakang keluarganya, 5 juta rupiah merupakan angka yang sungguh besar.
LBH Masyarakat kemudian mempertemukan Ibu Yali dan sejumlah tokoh masyarakat di lingkungan rumah Yali dengan korban guna mencari jalan kekeluargaan dalam menyelesaikan kasus ini. Setelah berdialog cukup lama, beberapa hari kemudian mereka mendapat kesepakatan dan memilih jalan damai. Korban meminta ganti rugi atas biaya pengobatan dan kerusakan barang miliknya. Keluarga korban pun menyanggupi dengan biaya yang sudah disepakati dan berdasarkan kuitansi bukti pengobatan.
31 Januari 2018, Yali akhirnya pulang ke rumah bersama ibunya – hal yang tentu patut disyukuri. Namun, 31 Januari 2018 juga jadi penanda bagi seorang anak berumur 17 tahun: berakhirnya pedih keterasingan sekaligus dimulainya lagi letih mencari penghidupan.
Penulis: Astried Permata dan Riki Efendi
Editor: Yohan Misero
[1] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana menyebutkan dalam kasus anak berhadapan hukum wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.