Saksi Pelaku: Mencari Proteksi dan Apresiasi

Jun 7, 2016 Opini

Saksi mempunyai peran yang sangat penting dalam sistem peradilan pidana. Di dalam praktik, seringkali saksi tidak dapat memberikan keterangan yang sesungguhnya dan sebaik-baiknya dalam setiap perkara dikarenakan adanya suatu bentuk ancaman yang diperoleh selama di dalam proses persidangan. Atas pertimbangan tersebut, seyogyanya peran saksi tersebut harus diberikan suatu bentuk perlindungan hukum yang baik sebagai saksi.

Di Indonesia sebenarnya sudah dikenal tentang saksi pelaku yang bekerjasama sebelum adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 mengenai saksi mahkota. Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi mengenai saksi mahkota (kroon getuide), akan tetapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Maksud dari saksi mahkota disini adalah ‘saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut’.[1]

Realita yang terjadi di dalam sistem peradilan Indonesia justru sebaliknya, di mana seorang justice collaborator tetap mendapatkan hukuman yang sama. Pada kasus Agus Condro misalnya, ia mendapatkan hukuman yang sama walaupun telah menjadi saksi pelapor dan mengungkap adanya kasus suap cek pelawat yang melibatkan banyak orang sebagai pelaku.

Dalam perspektif tersebut, menjadi suatu pertanyaan bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai seorang saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Sehingga dengan dikategorikannya seseorang sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dan mendapatkan suatu keistimewaan baik berupa pengurangan hukuman maupun perlindungan yang lebih dikarenakan menjadi pelopor dan kunci dalam mengungkap suatu tindak pidana yang melibatkan banyak pihak dan terorganisir.

Konsep tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam perkembangan hukum pidana di negara-negara lain yang telah lebih dahulu menggunakan konsep yang sama dengan istilah yang berbeda-beda. Penulis berpendapat bahwa di KUHAP belum memberikan ruang perlindungan yang cukup bagi pelaku yang dijadikan saksi sehingga perlu dilakukan perubahan-perubahan serta penambahan-penambahan untuk dapat dan mampu mengakomodir perkembangan hukum pidana, yang tentu tidak terbatas dalam persoalan definisi  justice collaborator saja, namun juga hal-hal lain seperti mekanisme reward dengan tujuan dapat memberikan perlindungan, kepastian, dan kemanfaatan serta keadilan bagi semua pihak.

Sekitar tahun 1970, Amerika Serikat berusaha membongkar kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh mafia yang dibentuk oleh imigran-imigran asal Italia. Dalam dunia mafia Italia terdapat sumpah diam (code of silence) atau yang dikenal dengan istilah Omerta.[2] Hal ini yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat mengenal praktik perlindungan terhadap para saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) yang berusaha dan beritikad baik dalam rangka pemberantasan dan membongkar suatu tindak pidana dalam kejahatan yang melibatkan banyak orang dan terorganisir.[3]

Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, memberikan apresiasi terhadap para saksi pelaku di konteks hukum Indonesia sangatlah sulit. Alasan yang sering dikemukakan oleh penegak hukum ialah bahwa saksi pelaku ini juga berkontribusi dalam tindak pidana. Namun, amat disayangkan bahwa proses peradilan kerap luput dalam menilai sejauh apa dalam taraf bagaimana dan apa yang mempengaruhi kontribusi seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana.

Hal seperti ini sering terjadi di kasus narkotika. Belakangan ini, Pemerintah Indonesia keras menyuarakan bahwa negara ini dalam situasi darurat narkotika. Maka, penting untuk melihat apakah dalam tujuannya memberantas narkotika para penegak hukum berhasil menangkap para bandar[4] narkoba? Penulis melihat, pada praktiknya, para penegak hukum hanya melakukan penangkapan kepada para perantara yang menyerahkan atau menerima narkotika tersebut.

Ketika berhasil menangkap seseorang atau sekolompok orang dalam kasus narkotika, ini menjadi sebuah kebanggaan bagi para penegak hukum dan tercitrakan sebagai sebuah prestasi besar di media. Tanpa perlu mengetahui siapa ‘bos besar’ dalam kasus ini, pengungkapan seseorang atau sekelompok orang tadi dianggap cukup atau selesai. Jika penegak hukum berpikir lebih jauh, akan lebih baik jika si pelaku yang sudah terungkap tersebut diminta untuk bekerjasama dalam hal mencari siapa ‘otak’ dalam kejahatan ini.

Dalam film Bridge of Spies[5], Tom Hanks berperan menjadi seorang pengacara probono bernama James B. Donovan yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mata-mata Uni Soviet. Pada saat proses penangkapan yang terjadi di apartemennya, si polisi mengatakan:

“…kau akan bebas jika kau mau bekerjasama dengan kami…”

Kurang lebih itulah yang dikatakan oleh si polisi kepada Rudolf Abel, seorang mata-mata Uni Soviet. Dalam film tersebut, Rudolf yang diperankan oleh Mark Rylance, menolak untuk bekerjasama tanpa alasan yang jelas. Pada film tersebut dapat kita lihat bahwa seseorang dapat dijadikan justice collaborator dalam proses penegakan hukum sejak proses penangkapan. Urusan mau atau tidak, itu dikembalikan kepada si pelaku. Hal demikian belum jamak kita temukan dalam praktik hukum di tanah air.

***

Belum lama ini, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) pernah mendampingi sebuah kasus drug mule. Seorang perempuan berusia 40 tahun harus menjalani hukuman yang cukup tinggi dengan melalui proses hukum yang, menurut hemat Penulis, tidak perlu ia jalani.

TP, inisial perempuan ini, menjalin hubungan dengan seorang pria asal Ghana, berinisial K. Pria ini mengaku kepadanya memiliki usaha di area Tanah Abang.  Pada awalnya hubungan asmara antara TP dan K ini baik-baik saja, namun semua berubah ketika K meminta tolong kepada TP untuk mengambil barang, yang  baru diketahui belakangan bahwa barang tersebut berisi narkotika) dari D (yang pada akhirnya tertangkap di daerah Bekasi, Jawa Barat).

Setelah berhasil mengambil barang tersebut, TP membawa pulang barang tersebut tempat kosnya di daerah Jakarta Pusat. Selanjutnya, K kembali meminta tolong pada TP untuk memberikan barang tersebut kepada seseorang yang lain. Namun karena saat itu TP merasa lelah, TP menolak untuk mengantarkan barang tersebut.

Pada tanggal 15 Juni 2015, TP dan kekasihnya menginap di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat. Keesokan harinya, TP pulang ke rumah orang tuanya di daerah Bekasi, Jawa Barat, akan tetapi K masih berada di kamar hotel tersebut.

Di tempat terpisah, sebuah jasa ekspedisi memberikan informasi kepada polisi tentang keanehan barang kiriman yang diterima, yaitu 27 kotak alat refleksi. Kemudian polisi melakukan penyelidikan dan polisi menemukan bahwa isi dari kotak tersebut adalah narkotika jenis sabu. Paket tersebut dialamatkan kepada D dan yang mengirim adalah seseorang berinisial M. Setelah polisi melakukan pengembangan, maka terungkaplah bahwa TP juga sebagai orang yang diduga ikut serta dalam transaksi jual beli barang tersebut.

Polisi akhirnya berhasil menangkap TP di rumah orang tuanya. Polisi yang menangkap TP menawarkan sebuah bentuk ‘kerja sama’ agar dapat menangkap pelaku yang lain. TP bersedia melakukan hal tersebut. Di hari penangkapan tersebut, TP diminta oleh K untuk memberikan barang tersebut kepada seorang perempuan berinisial W yang merupakan pacar dari B, teman K. Bukannya menangkap K dan B sebagai ‘otak’ dari perkara ini, polisi justru menangkap W, yang mana hanya melakukan semua ini atas suruhan B yang merupakan pacarnya. Setelah penangkapan tersebut, K dan B sudah berhasil kabur tanpa meninggalkan jejak dan tidak dapat ditemukan sampai saat ini.

***

Para pengacara publik LBH Masyarakat, yang secara probono menjadi kuasa hukum bagi TP, mengupayakan secara maksimal agar TP dapat dikategorikaan sebagai justice collaborator (dan saksi mahkota nantinya) untuk membantu mengungkap jaringan internasional yang lebih besar. Upaya kami ini, sayangnya, tidak diindahkan oleh penegak hukum. LBH Masyrakat pun sudah mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang sayangnya tak dapat memberikan rekomendasi tersebut.

Jaksa membacakan dakwaan terhadap TP tanpa adanya pengacara. Hal ini kami pandang hal yang amat tidak elok. TP didakwa  dengan Pasal 114 ayat (2) subsidair Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan diancam dengan hukuman mati sebagai hukuman maksimal. Ini jelas pelanggaran akan akses terhadap bantuan hukum dan kesetaraan di depan hukum.

Para pengacara publik dari LBH Masyarakat meminta kepada hakim dalam petitumnya untuk tidak melanjutkan kasus seperti ini karena, dalam pandangan pengacara, posisi TP selaras dengan rumusan Pasal 10 Undang-Undang LPSK.[6] Akan tetapi dalam putusan sela, poin-poin eksepsi yang diajukan oleh tim kuasa hukum ditolak oleh hakim.

Di sisi lain, TP adalah seorang single mother yang memiliki seorang putra berusia 15 tahun yang sedang duduk di bangku SLTP. Jaksa Penuntut Umum menuntut TP dengan 17 tahun penjara. Jika Majelis Hakim memenuhi tuntutan JPU, si anak yang ditinggalkan tersebut sudah berusia ± 32 tahun saat TP keluar dari penjara. Selama 17 tahun juga, si anak tersebut akan tumbuh tanpa mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu yang merupakan satu-satunya orang tuanya.

Tim penasihat hukum harus menunggu selama empat minggu lamanya hanya untuk mendengarkan isi tuntutan dari JPU. Sedangkan tim penasihat hukum hanya diberi waktu tiga hari untuk menyusun pembelaan. Jelas terlihat ada ketidakadilan dalam hal pemeberian waktu dalam persiapan berkas.

Setelah tim penasihat hukum membacakan nota pembelaan dan ‘meneriakan’ segala argumentasi, ternyata Majelis Hakim memutuskan untuk memberikan putusan di hari itu juga, Sidang diskors selama lima menit untuk memberikan waktu kepada Majelis Hakim agar berpikir. Dengan helaam napas dan tetesan air mata, TP mendengar angka tiga belas tahun diganjarkan Majelis Hakim pada dirinya. Setelah berdiskusi dengan tim penasihat hukum, TP menjelaskan bahwa dirinya menerima dan berusaha ikhlas.

Satu perkara sudah selesai, namun ada tanya yang tak kunjung usai. Untuk apa semua ini? Mengapa penegak hukum tidak bekerjasama dengan TP untuk membongkar jaringan perdagangan gelap narkotika yang lebih besar? Mengapa perang itu harus dikobarkan kepada mereka yang lemah?  Leges Sine Moribus Vanae.

 

Penulis: Yosua Octavian Simatupang

Editor: Yohan Misero

 

[1] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Citra Aditya Bakti; Bandung; Hal. 107

[2] Omerta adalah sumpah para mafia untuk menyimpan rahasia. Tidak membocorkan informasi apapun kepada siapapun yang bukan anggotanya. Menjaga rahasia sudah menjadi kewajiban dan tugas mulia yang dipercaya kepada anggota mafia, yang dikenal dengan Mafioso. Klan sebuah mafioso bisanya akan berhubungan dengan klan yang lain.

[3] Barda Nawawi Arif; Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Op.cit.

[4] Bandar narkoba dapat diartikan sebagai orang yang mengendalikan suatu aksi kejahatan narkoba secara sembunyi-sembunyi atau sebagai pihak yang membiayai aksi kejahatan itu. Dalam praktiknya, bandar narkoba itu antara lain: orang yang menjadi otak di balik penyelundupan narkoba, permufakatan kejahatan narkotika, dan sebagainya. Jawaban Tri Jata Ayu Pramesti, S.H., dalam pertanyaan: Apakah Bandar Narkotika Sama Dengan Pengedar? Lihat: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56cf393b411a0/apakah-bandar-narkotika-sama-dengan-pengedar

[5] Film Biodrama Thriller asal Amerika Serikat yang di produksi pada tahun 2015 dan disutradarai oleh Steven Spielberg. Film ini dibintangi oleh Tom Hanks, Mark Rylance, Amy Ryan, dan Alan Alda. Bridge of Spies berlatar tragedi 1960 U-2.

[6] Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.

0 thoughts on “Saksi Pelaku: Mencari Proteksi dan Apresiasi”
  1. […] Di Indonesia sebenarnya sudah dikenal tentang saksi pelaku yang bekerjasama sebelum adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 mengenai saksi mahkota. Istilah saksi mahkota tidak terdapat dalam KUHAP. Walaupun dalam KUHAP tidak ada definisi mengenai saksi mahkota (kroon getuide), akan tetapi dalam praktik dan berdasarkan perspektif empirik saksi mahkota itu ada. Maksud dari saksi mahkota disini adalah ‘saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan saksi tersebut’.[1] […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content