Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mempunyai fungsi sebagai suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, masih adanya sistem pemenjaraan yang menekankan pada balas dendam, dan penjeraan akhirnya membuat sistem pemenjaraan ini tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Padahal, pemidanaan yang berfungsi sebagai usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial, selain tertuang dalam peraturan nasional, juga diakui secara internasional pada pada the United Nation Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules).
Mandat rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat dikatakan adiluhung, tetapi pada saat yang sama masih merupakan utopia untuk praktik sistem pidana yang berlangsung hari ini. Fakta bahwa masih ada banyak masalah di penjara di Indonesia seperti tidak terpenuhinya hak asasi manusia, budaya kekerasan di penjara, dan residivisme menjadikan rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu dengan praktiknya akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Termasuk salah satu permasalahan yang penting adalah perkara kematian dalam tahanan.
Bagaimana bisa penjara yang di dalam undang-undang mempunyai fungsi sebagai rehabilitasi dan reintegrasi sosial, malah menjadi tempat pemberhentian terakhir bagi tahanan dalam menjalani hidup? Hal ini jelas menjauhkan praktik pemenjaraan dari mandat pemasyarakatan seperti yang disebut di atas. Sekalipun menjalani masa penahanan ataupun penghukuman, seorang tahanan pun masih mempunyai hak-hak dasar sebagai manusia dan wajib dipenuhi. Kematian dalam tahanan menjadi contoh dari pelanggaran hak seorang tahanan, yakni hak hidup.
Dari data yang LBH Masyarakat (LBHM) himpun sepanjang 2018 melalui pantauan media daring, setidaknya terdapat 116 kasus kematian dalam tahanan yang diberitakan oleh media. Penyebab kematian didominasi oleh sakit, kemudian diikuti oleh bunuh diri. Fakta ini mengindikasikan adanya permasalahan kompleks yang saling berkaitan satu sama lain, terutama yang berkaitan dengan hak hidup seorang tahanan. Terlanggarnya hak hidup sendiri saling berkaitan dengan terlanggarnya hak-hak lain, seperti tidak terpenuhinya hak atas kesehatan seorang tahanan (termasuk di dalamnya hak atas sanitasi yang bersih, hak lingkungan yang sehat, dan lain sebagainya). Pertanyaan mengenai “apakah tempat tahanan sudah menghormati hak-hak seorang tahanan?” pun muncul. Sebagaimana mestinya, setiap fasilitas yang dikelola negara haruslah mempunyai standar yang baik dan mendukung pemenuhan hak seorang tahanan, alih-alih abai atau menelantarkannya.
Mengingat penjara memiliki cita-cita yang sangat tinggi seperti menjaga dan menyeimbangkan tatanan sosial masyarakat, maka penanggungjawab atas penjara adalah negara sebagai organisasi dengan sumber daya terbesar, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas). Sekalipun kematian bisa terjadi karena tindakan atau kelalaian narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk di antaranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.
Demi menelusuri pelbagai permasalahan di atas yang kerap terjadi dari waktu ke waktu, LBHM melakukan monitoring dan dokumentasi media yang dituangkan dalam laporan ini. Pencarian, kodifikasi, dan analisis terhadap pemberitaan media daring menjadi salah satu usaha kami dalam melakukan pemaparan analitis-evaluatif terhadap kondisi sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut.