Lahirnya penjara dianggap sejalan dengan perubahan tujuan penghukuman dari asas pembalasan (retaliation) menjadi pembinaan (rehabilitation). Pelaku kejahatan tidak hanya dianggap orang yang telah menimbulkan penderitaan, tetapi juga seseorang yang telah melakukan kesalahan dan mampu dibina kembali. Akan tetapi, implementasi kebijakan pemenjaraan akhirnya seringkali mengkhianati cita-cita ini.
Berbagai permasalahan yang ditemukan seperti terlalu padatnya penjara, tidak terpenuhinya hak-hak asasi manusia, terbentuknya budaya kekerasan dalam penjara, tingginya angka residivisme, serta putusnya hubungan sosial antara narapidana dan keluarganya, menunjukkan bahwa diskursus penghukuman lewat penjara masih bersifat kontradiktif dengan tujuan awal penjara. Rasionalitas lahirnya penjara menjadi putus atau diskontinyu akibat kontradiksi dan irasionalitas situasi ini. Di antara persoalan tersebut, boleh jadi, masalah kematian di dalam penjara adalah ciri paling kontradiktif dari diskursus pemenjaraan. Kematian seperti menyempurnakan absurditas penjara.
Selain alasan sentimental retoris bahwa tidak ada orang yang mau mati di dalam penjara, kematian juga menimbulkan kontradiksi dari tujuan rehabilitatif penjara. Pembinaan yang selama ini dijalankan oleh narapidana – kecuali untuk narapidana hukuman seumur hidup – menjadi tidak ada gunanya/sia-sia/hilang karena tidak sempat dipraktikkan di tempat tujuan, yakni masyarakat di luar dinding penjara. Alih-alih berfungsi sebagai tempat sementara/peralihan, penjara menjadi stasiun pemberhentian terakhir bagi tahanan itu, karena di sanalah mereka mencapai kodrat manusiawinya: kematian.
Yang semakin memperburuk kondisi ini adalah apabila kematian itu tidak terjadi secara wajar, seperti akibat kecelakaan dalam penjara, pembunuhan, bunuh diri, dan overdosis zat. Di Amerika Serikat, negara yang memiliki populasi tahanan paling banyak di dunia, sebanyak 967 tahanan penjara meninggal pada tahun 2013. Sekitar 34% dari total kematian disebabkan oleh bunuh diri.
Mengingat penjara adalah sebuah fasilitas negara – paling tidak di Indonesia – maka penanggungjawab utama ketika terjadi kematian tidak wajar di dalam penjara adalah negara, yang diwakilkan oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Sekalipun kematian bisa disebabkan oleh narapidana sendiri, institusi pemasyarakatan adalah manager yang bertugas untuk menjamin keberadaan penjara dapat memenuhi tujuan awal sebagai media pembinaan, termasuk diataranya dengan mengatur agar kerusuhan tidak terjadi dan peristiwa bunuh diri bisa terhindarkan.
Terlepas dari absurditas pelaksanaan pemenjaraan, praktik ini tetap dianggap penting untuk dipertahankan karena Indonesia tidak memiliki penghukuman alternatif yang sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, bukan berarti praktik irasional dalam pemenjaraan yang akhirnya menyebabkan kematian tidak perlu untuk ditantang dan diperbaiki. Karena itulah, LBH Masyarakat berusaha untuk melakukan dokumentasi dan monitor atas peristiwa kematian dalam lembaga pemasyarakatan sepanjang tahun 2016. Dokumentasi ini kami harap bisa membuka kejelasan dari situasi absurd dari kematian dalam lembaga pemasyarakatan Indonesia.
Teman-teman bisa mengunduh laporan ini selengkapnya di tautan ini.