Sidang Jaman Now: Tidak Ada yang Gratis!

Nov 28, 2017 Opini

Hak semestinya bukan sesuatu yang dapat diperjualbelikan. Namun saat Agil – bukan nama sebenarnya – harus berurusan dengan penegak hukum karena penguasaan narkotika jenis sabu, ia harus merelakan hak-haknya karena pemenuhan hak di negeri ini ternyata harus disertai dengan upeti.

Sebelum semua ini terjadi, Agil, 23 tahun, bekerja untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karirnya yang masih panjang hilang begitu saja oleh kebijakan narkotika Indonesia yang mengedepankan hukum pidana daripada upaya kesehatan.

Pada Mei 2017, Joni – juga bukan nama sebenarnya, teman Agil, mengirimkan sebuah pesan untuk menawarkan sabu seharga 200.000 rupiah. Agil bilang pada Joni bahwa ia tak bisa membelinya karena ia belum memiliki uang. Joni kemudian berkata bahwa pembayaran bisa dilakukan besok atau lusa. Agil tertarik dan menyepakati tawaran tersebut.

Joni mengantar sendiri sabu yang dijanjikan ke kamar kost Agil di daerah Jakarta Selatan. Setelah menyerahkan sabu tersebut, Joni langsung pergi. Sabu tersebut Agil letakkan di saku celananya. Celana tersebut kemudian ia gantung di belakang pintu kamarnya. Setelah itu, Agil bersantai sejenak dengan menonton televisi.

Tak lama kemudian, Agil mendengar pintu kamarnya diketuk. Agil pikir Joni kembali lagi ke kamarnya. Saat pintu dibuka, dua orang bertubuh kekar langsung merangsek masuk. Tidak menggunakan seragam, dua orang ini mengaku sebagai anggota kepolisian dari Sat Narkoba Polsek Pasar Minggu. Agil langsung didorong ke dinding kamarnya dan orang yang mengaku sebagai penyidik itu langsung menggeledah isi kamar Agil. Sabu yang baru saja diantar Joni pun ditemukan. Hal ini membuat Agil dibawa ke Polsek Pasar Minggu untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sikap penyidik amat disesalkan karena terbilang sewenang-wenang dalam upaya penangkapan dan penggeledahan ini. Penyidik luput menyertakan surat perintah penangkapan dan surat perintah izin penggeledahan dalam pelaksanaan upaya paksanya ini.

Setelah tiba di Polsek Pasar Minggu, Agil diinterogasi dan ia mengakui bahwa sabu itu miliknya. Ia juga menceritakan bahwa sabu tersebut didapat dari Joni, temannya, dan bahwa sabu tersebut akan ia gunakan sendiri. Tidak memperdulikan keterangan Agil tersebut, penyidik menetapkan Pasal 112 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pasal yang akan dikenakan pada Agil karena ia terindikasi sebagai seseorang yang “…tanpa hak atau melawan hukum memilki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman”. Pasal ini mengancam setiap orang yang melanggar dengan 4-12 tahun penjara ditambah denda 800 juta sampai 8 milyar rupiah.

Sebenarnya ada pasal yang lebih tepat bagi Agil dalam UU Narkotika yakni Pasal 127 yang menyatakan bahwa setiap penyalaguna narkotika golongan 1, termasuk sabu, dipidana penjara paling lama 4 tahun. Pasal ini dikenal sulit didapatkan oleh pengguna narkotika di ranah praktik proses peradilan pidana karena regulasi dari UU Narkotika yang amburadul serta keengganan penegak hukum menerapkannya.

Keluarga Agil baru mendapat surat penangkapan serta surat penahanan dari Polsek Pasar Minggu 3 hari setelah penangkapan. Keluarga Agil pun menjenguk dan menanyakan perkembangan status penahanan Agil pada kepolisian. Keluarga juga menanyakan apakah Agil terbukti positif atau tidak menggunakan sabu – sebuah keterangan yang penting untuk melihat Agil sebagai seorang sebagai pengguna atau bukan. Sayangnya, penyidik menganggap tidak perlu dilakukan tes urin terhadap Agil – yang pada saat proses penangkapan, tidak sedang menggunakan sabu. Ini menunjukan masih masifnya perspektif punitif di kalangan penegak hukum kepada pengguna narkotika dan seharusnya menjadi satu alasan pentingnya untuk segera merevisi UU Narkotika ke arah yang lebih memahami situasi pengguna narkotika: tidak akan ada penggunaan narkotika tanpa pembelian dan penguasaan terlebih dahulu.

Sesungguhnya, betapa berantakannya UU Narkotika ini – terutama dalam aspek hukum pidana – juga disadari oleh berbagai institusi yang mengimplementasikannya. Pada 2014, 7 institusi (Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Badan Narkotika Nasional, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama untuk mencoba mereduksi masalah ini. Peraturan tersebut mengatur mengenai sebuah sistem yang disebut dengan Tim Asesmen Terpadu (TAT). Tim tersebut terdiri dari orang berlatar belakang hukum dan medis untuk memeriksa apakah seseorang yang tersangkut kasus narkotika, seperti Agil, patut diberikan rehabilitasi atau tidak. Seorang tersangka hanya dapat diasesmen oleh TAT apabila ada rekomendasi dari dari penyidik kepolisian kepada Badan Narkotika Nasional.

Setelah keluarga mengetahui informasi tersebut, keluarga pun menanyakan hal ini kepada penyidik dan jawabannya sangat di luar dugaan: penyidik meminta uang sebesar 20 juta rupiah kepada keluarga Agil agar proses TAT dapat diselenggarakan. Padahal sudah jelas tertulis dalam Pasal 14 ayat 4 Peraturan Bersama 7 institusi tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi bahwa “Biaya pelaksanaan asesmen yang di lakukan oleh Team Asesmen Terpadu dibebankan pada anggaran Badan Narkotika Nasional.” Angka setinggi 20 juta rupiah sungguh terlampau tinggi buat keluarga Agil sehingga keluarga pun merelakan Agil untuk tidak diasesmen. Lebih dari itu, membayar penegak hukum untuk memperoleh hak sesungguhnya hanya akan melanggengkan praktik korupsi yang seharusnya dilenyapkan dari negeri ini.

Pada Juli 2017, Agil menjalani sidang perdananya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Agil didakwa Penuntut Umum dengan pasal tunggal yakni Pasal 112 ayat 1 UU Narkotika. Perlu dicatat bahwa pada sidang perdana itu Majelis Hakim luput menanyakan mengenai pendampingan penasihat hukum pada Agil – suatu hal yang esensial bagi seorang terdakwa.

Selang seminggu, persidangan dilanjutkan dengan agenda keterangan saksi. Penuntut Umum menghadirkan saksi dari penyidik yang menerangkan mengenai kronologis penangkapan. Agil, yang tidak didampingi penasihat hukum, mengiyakan semua keterangan saksi. Tanpa memberikan kesempatan pada Agil selaku terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan bagi dirinya, Majelis Hakim pada hari itu langsung melanjutkan persidangan dengan agenda keterangan terdakwa. Pada saat memberikan keterangan, Agil mengakui bahwa sabu tersebut ia gunakan untuk dirinya sendiri sebagai penambah stamina saat bekerja dan ia merasa telah dijebak oleh Joni.

Persidangan dilanjutkan seminggu kemudian dengan agenda pembacaan tuntutan oleh Penuntut Umum. Penuntut Umum meminta kepada Majelis Hakim agar Agil dihukum pidana penjara sebesar 4 tahun 6 bulan. Majelis Hakim kemudian, kali ini tidak lupa, menanyakan pada Agil mengenai pembelaan. Agil menjawab bahwa ia ingin melakukan pembelaan secara tertulis. Majelis Hakim kemudian memberikan waktu seminggu bagi Agil untuk menyusun pembelaannya.

Pada pembelaan yang ia bacakan sendiri, Agil menceritakan berbagai pengingkaran hak dari awal penangkapan hingga saat itu. Ia juga menyampaikan bahwa tuntutan 4 tahun 6 bulan sungguh terlampau besar bagi seseorang yang dijebak sepertinya – hal ini adalah sebuah penderitaan luar biasa baginya dan keluarga. Ia berharap kepada Majelis Hakim untuk menolak tuntutan Penuntut Umum. Pun jika ia dinyatakan terbukti bersalah dan harus dihukum dengan penjara, Agil memohon agar ia dihukum selayaknya sebagai pengguna yakni dengan pidana penjara di bawah angka 4 tahun.

Setelah mendengar pembelaan Agil tersebut, Majelis Hakim menanyakan kepada Penuntut Umum mengenai keberadaan hasil asesmen terdakwa. “Tidak ada, Yang Mulia”, jawab Penuntut Umum. Ketua Majelis Hakim kemudian menanyakan langsung kepada Agil, “Apakah kamu diasesmen?” Agil kemudian dengan jujur menjawab, “Tidak, Yang Mulia. Hal ini dikarenakan pada saat keluarga saya mengajukan asesmen, penyidik justru meminta uang sebesar 20 juta rupiah.” Respon Ketua Majelis Hakim saat itu sungguh luar biasa, “Kenapa kamu tidak membayar? Jaman sekarang ini, segala sesuatu harus menggunakan uang.” Terkejut, Agil berkata, “Saya tidak mampu untuk memenuhi permintaan penyidik tersebut, Yang Mulia.”

Ketua Majelis Hakim kemudian menjelaskan bahwa Agil tidak bisa direhabilitasi kalau tidak ada rekomendasi atau hasil asesmen dari BNN. Sidang kemudian dilanjutkan seminggu kemudian dengan agenda pembacaan putusan. Majelis Hakim memutuskan pidana penjara 4 tahun 3 bulan bagi Agil. Hasil ini sungguh mengecewakan bagi Agil mengingat berbagai haknya yang terlanggar dalam proses ini.

Sudah ada berbagai upaya, baik dari masyarakat maupun negara, untuk mengubah UU Narkotika atau, setidaknya, memperbaiki implementasinya. Namun mengingat segala ketidaksempurnaan dari UU  Narkotika kita hari ini, proses persidangan memiliki peran yang amat penting sebagai benteng terakhir untuk mencari keadilan dan mengungkap kebenaran. Semua harap itu pun sirna ketika, pada kasus Agil setidaknya, Majelis Hakim yang memiliki kedudukan tertinggi di persidangan melakukan hal yang berlawanan dengan mengaminkan praktik korupsi yang terjadi. Regulasi narkotika yang buruk dan penegak hukum yang korup: kombinasi sempurna yang telah merenggut Agil dan puluhan ribu anak-anak bangsa dari keluarga mereka. Bukankah ini saatnya berubah?

Penulis: Ari Susanto

Editor: Yohan Misero

0 thoughts on “Sidang Jaman Now: Tidak Ada yang Gratis!”
    1. Halo Kanni,

      Silahkan hubungi atau datang ke kantor LBH Masyarakat jika butuh bantuan atau konsultasi hukum.

  1. Ini sama persis yg di alami oleh adek kami. Dari 7 orang tersangka yg 4 dilepaskan karna sudah membayar uang jaminan sedangkan adek kami 3 orang ini sekarang akan menjalani sidang ke 2. Mulai dari permainan mereka ditangkap sampe pengacara uang yg bermain.. saya sangat butuh bantuan untuk menghilangkan pasal2 yg memberatkan adek2 kami. Jelas mereka bukan pengedar atau pun kurir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content