Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo berkali-kali melontarkan jargon perang terhadap narkotika untuk melindungi anak dari penyalahgunaan narkotika. Katanya, narkotika telah membunuh generasi muda. Oleh sebab itu, pelaku harus dihukum berat. Yang mungkin Bapak Jokowi tidak tahu adalah kebijakannya untuk memerangi narkotika telah memberikan dampak luar biasa terhadap anak, yaitu terhadap anak pengguna narkotika dan anak yang menunggu kepulangan ayah dan/atau ibunya dari penjara.
Resa (bukan nama sebenarnya), seorang anak yang harus berhadapan dengan hukum karena mengonsumsi ganja, tidak bisa menjalani proses diversi pada tahap penyidikan dan penuntutan. Resa disangkakan Pasal 111 Undang-Undang Narkotika yang memberikan ancaman 12 tahun penjara. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) melarang diversi dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun penjara. Resa harus ditahan di kantor polisi dan Rutan Pondok Bambu selama hampir dua bulan lamanya dan tidak bersekolah. Orang tuanya harus berbohong kepada pihak sekolah bahwa Resa sedang sakit, juga kepada teman-temannya. Tidak ada intervensi kesehatan ataupun psikososial terhadap dirinya.
Resa seharusnya tidak perlu menjalani penahanan dan menjalani proses persidangan yang panjang namun pembatasan dalam UU SPPA telah menghalangi Resa dan anak pengguna narkotika lainnya untuk menjalani proses diversi. Aturan PBB mengenai Perlindungan Anak yang Dirampas Kebebasannya menyebutkan bahwa penahanan harus dijadikan sebagai upaya terakhir serta mengedepankan alternatif pemidanaan untuk menghindari dampak buruk terhadap anak.
Malang juga merundung Eka (bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Ibu Eka sedang mendekam di penjara karena tindak pidana narkotika sedangkan ayah Eka harus bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehilangan kehadiran orang tua, Eka diperkosa oleh pamannya sendiri. Eka mendapatkan pendampingan dari P2TP2A DKI Jakarta dan saat ini sedang menempati sebuah panti di Jakarta, seorang diri.
EH, salah seorang perempuan pengguna narkotika yang sedang menjalani pidana di Lapas Perempuan Semarang, mengatakan anaknya pernah mengiriminya surat. Dalam surat itu, anaknya mengatakan agar EH cepat pulang karena ia iri dengan teman-temannya yang setiap hari ke sekolah diantar oleh ibunya. Anak EH bertanya dalam suratnya, “Kapan adek bisa dianterin?”. EH mengaku tidak membalas surat yang sudah tiga kali dikirimkan oleh anaknya itu karena ia terlalu sedih.
Pengalaman EH tersebut tercermin dalam penelitian yang LBH Masyarakat lakukan mengenai perempuan terpidana narkotika di Indonesia. Hasil penelitian kami menunjukkan setidaknya 82% perempuan yang dipenjara memiliki anak. Mereka umumnya adalah pemakai narkotika atau orang yang berjualan narkotika karena kemiskinan. Rata-rata pidana yang harus mereka jalani adalah pidana penjara selama 6-7 tahun. Dengan kata lain, negara telah memisahkan anak dengan ibunya, yang di dunia yang patriarkis ini diposisikan sebagai pengasuh utama anak. Pada konteks ini, muncul pentingnya pemberian rehabilitasi bagi pemakai narkotika ataupun pidana alternatif pada terpidana lain dengan menimbang situasi khusus yang mereka hadapi, termasuk di dalamnya: memiliki anak. Di sisi lain, negara juga tidak boleh melupakan anak yang memiliki orang tua yang dipenjara. Anak-anak ini kerap tidak mendapatkan pendampingan sosial, pemulihan, ataupun dukungan psikologis dari negara.
Ketiga kisah tersebut hanya puncak dari gunung es dampak kebijakan narkotika yang jarang kita dengar. Tanpa Pemerintah sadari, kebijakan perang terhadap narkotika telah berdampak amat buruk terhadap anak. Selama pendekatan pidana masih digunakan sebagai jalan utama dalam mengatasi persoalan narkotika, anak akan terus menjadi korban yang tak terdengar, tak terlihat, dan tak diketahui. Lalu kita bertanya: sebenarnya, perang terhadap narkotika ini untuk siapa?
Penulis: Arinta Dea Dini Singgi
Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero