Skenario kedua terburuknya, kita melihat keluarga/teman kita tersangkut masalah narkoba dan menjadi pecandu. Ia kita anggap sebagai orang yang sakit yang perlu disembuhkan, jadi kita membawanya ke siapapun yang menjanjikan bisa membereskan masalah itu, dari dukun sampai dokter berjas. Ia masih juga pakai diam-diam sementara kita sudah muak dengan ketelerannya dan selalu menetapkan, “Pokoknya, ini yang terakhir kali.” Akhirnya, karena tidak bisa menolongnya juga, hubungan antara kita dan keluarga/teman kita itu merenggang sampai titik di mana ketika kita melihatnya lagi, kita menganggap ia telah menjadi jauh berbeda dari yang dulu kita pernah kenal dan kenang.
Skenario terburuk pertamanya, kitalah yang menjadi pecandu itu.
Khalayan skenario-skenario di atas diperlukan untuk mendalami suatu masalah; di Indonesia, narkotika masih dianggap sebagai suatu masalah besar. Tapi khalayan punya keterbatasan. Pertama, tidak semua orang bisa mengkhayal dengan serius, banyak yang berhenti di tengah-tengah sebelum masalah yang sebenarnya dimulai. Kalau kita membayangkan menjadi pecandu seperti di atas, kita mungkin berhenti membayangkan pada kejadian overdosis, padahal yang terburuk mungkin bukan itu. Keterbatasan kedua, khayalan seseorang tidak akan jatuh terlalu jauh dari koridor pengetahuannya yang disusun oleh media, institusi pendidikan, dan agen-agen kebudayaannya. Dengan kata lain, apa yang dikhayalkan di atas belum tentu sesuai dengan realitanya, karena khayalan di atas hanya disusun oleh stereotipe-stereotipe yang kita miliki tentang pecandu narkotika.
Saya senang jika bisa menemukan buku yang bisa menjungkirkbalikkan stereotipe-stereotipe itu sehingga daya khayal saya lebih luas. Untuk urusannya dengan masalah narkoba, buku yang pantas dengan predikat di atas adalah buku “Chasing the Scream: The First and The Last Days of The War on Drugs” karya Johann Hari. Buku yang menerangkan secara terperinci kebijakan beberapa negara untuk menanggulangi narkotika dan orang-orang yang terdampak langsung karenanya ini memberikan saya dua pelajaran. Saya tidak akan pernah lagi membayangkan masalah narkotika tanpa memikirkan dua pelajaran ini.
Hidup-matinya Terminologi Canggih
Dari awal sejarah, manusia telah mengenali perang. Karena kebiadabannya, perang makin lama makin tidak populer. Namun, bagi beberapa orang, istilah ini masih bisa didaur-ulang untuk menunjukkan seberapa seriusnya negara menghadapi suatu permasalahan. Narkotika dipandang serius sejak awal tahun 1940an, sehingga dimulai dari Amerika Serikat, istilah “perang terhadap narkotika” digaungkan.
Perang terhadap narkotika ini adalah terminologi yang canggih sebab masyarakat akan selalu diingatkan bahwa mereka sedang ada di dalam kondisi darurat yang tidak tahu sampai sejauh mana sebuah tindakan penanganan bisa dilakukan. Agar bisa terus hidup, terminologi ini membutuhkan terminologi-terminologi lain yang bisa menyokongnya. Contohnya, terminologi perang terhadap narkotika di Amerika juga menciptakan perang kartel di Meksiko. Kebijakan perang terhadap narkotika di Amerika yang menutup banyak suplai narkotika dalam negeri tanpa menurunkan permintaan, membuat kartel-kartel di Meksiko berlomba-lomba untuk menyelundupkan narkoba. Di Meksiko juga, geng-geng ini tambah kuat dan membunuh siapapun yang menghadangnya.
Perang terhadap narkotika di Indonesia juga memunculkan terminologi-terminologi canggih lainnya. Pemerintah mengatakan bahwa kita menghadapi masalah narkotika serius sekarang ini – sebuah klaim yang tidak berubah sejak Soeharto masih hidup dan rajin mengeluarkan Inpres. Lewat hukum dan media, kita menghubungkan narkotika dengan kejahatan. Segala kegiatan yang melibatkan narkotika dianggap sebagai kejahatan terorganisi (organized crime) atau kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Makanya setiap berkas orang-orang yang tertangkap penyidik karena kepemilikan narkotika, entah ia ingin memakainya hanya untuk teler sendirian atau untuk diobral lagi di kompleks perumahannya seperti layaknya penjual gayung keliling, selalu dimasukkan ke folder kasus kriminal khusus, setara dengan korupsi dan trafficking.
Karena kejahatannya sudah ‘dianggap’ seserius ini, maka tindakan penanggulangannya pun harus dibuat seserius mungkin. Makanya untuk kejahatan narkotika, ada teknik penangkapan yang dibuat khusus. Ada teknik penangkapan pembelian terselubung (undercover buy), juga ada teknik penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery). Kedua teknik ini mengumpamakan terpidana narkotika sebagai pelaku kejahatan yang rumit dan berbahaya, walaupun kedua jenis teknik ini juga dipakai untuk menangkap bandar kecil atau pemakai.
Saking njelimet-nya kejahatan ini, perlu ada intel khusus narkotika. Untuk intel ini, kita punya bahasa yang membumi tapi tidak berkurang kecanggihannya: cepu. Cepu, yang kadang-kadang direkrut dari sesama penyintas sel tahanan, punya posisi rumit dalam belantara kepolisian Indonesia. Jasanya banyak tapi ketika ditanyakan keberadaannya di kepolisian, mereka tidak pernah diakui. Tanpa pendidikan profesional, mereka telah mengamalkan slogan intel yang sebenar-benarnya: mati tidak dicari, berhasil tidak dipuji.
Slogan canggih tidak hanya diciptakan di institusi penegak hukum. Demi apa yang dinamakan moral, beberapa lembaga merasa bahwa semua anggotanya harus bersih dari narkotika. Kampus-kampus melakukan sidak dan tes acak, sebab daripada sulit untuk menaikkan akreditasi atau mengembangkan penelitian-penelitian baru, lebih mudah menyandang kampus predikat bebas narkotika. Instansi pemerintahan pun melakukannya. Ketika kedapatan pemakai narkotika di instansi tersebut, maka ramailah slogan baru: narkoba masuk kampus, narkoba masuk kementerian. Sudut pemberitaannya dibuat benar-benar nelangsa sehingga penonton akan merasa bahwa citra sebuah lembaga telah jatuh dan bersamaan dengan itu, moral pun telah runtuh.
Sementara orang-orang yang ketahuan pemakai masih harus melewati serangkaian prosedur-prosedur ‘kelembagaan’. Bagi mahasiswa, mungkin mereka bisa di-DO. Dosen diberhentikan dan tidak diberikan surat rekomendasi untuk melamar ke tempat lain. Pegawai kementerian bisa di-SP3, dicutikan sementara (kalau jabatannya penting), diberhentikan tidak hormat (kalau jabatannya tidak penting-penting amat), di-PHK.
Dengan semua termin-termin ini, kita dibuat yakin bahwa perang terhadap narkotika perlu ada. Padahal apa yang kita buat dan ciptakan, mungkin saja mengalienasi para pemakai ke kondisi di mana mereka tidak akan bisa kembali ke masyarakat sebagai manusia utuh. Lalu pada saat itu, seperti khayalan yang kita mulai di awal tulisan, kita dengan semena-mena melupakan tindakan-tindakan apa yang sudah kita buat untuk mengalienasinya dan menyatakan bahwa orang yang kita kenal sudah berubah karena narkoba, bukan karena kita.
Tentang Adiksi yang Tidak Selalu Terjadi karena Zatnya
Pelajaran kedua yang bisa didapatkan dari buku Johann Hari adalah betapa dalam dan rumitnya adiksi pada diri satu orang. Buku ini membantah anggapan bahwa adiksi terjadi semata-mata karena sang zat yang tersusun di narkotika itu. Menurutnya, adiksi yang kita kenal sekarang juga ada akibat hubungan sosial antara orang lain, pengalaman traumatis masa lalu, dan kebijakan narkotika di suatu negara.
Banyak orang lari ke narkotika ketika mereka sudah tidak memiliki pilihan lain. Bagi mayoritas masyarakat yang dilindungi oleh pendidikan yang mumpuni dan keluarga yang baik-baik, memakai narkotika, apalagi sampai rutin, adalah sebuah ide yang tak terpikirkan. Tetapi bagi sebagian orang, narkotika menjadi satu-satunya pemecah masalah kehidupan. Hal ini contohnya berlaku bagi anak yang dibuang oleh keluarganya, orang-orang yang trauma setelah pulang dari perang, orang-orang yang dihimpit kemiskinan sehingga mereka sudah putus asa pada pertolongan manusia atau orang-orang di sekitarnya.
Seorang pasien di klinik ketergantungan obat di Kanada berkata dalam buku ini, “[Orang-orang] bertanya mengapa [pecandu] terus memakai? Karena itu membuat mereka merasa nikmat, sementara hal lain dalam hidupnya tidak membuat mereka merasa nikmat.” (hal. 163)
Di video-videonya, Johann Hari sering memberikan metafora “Taman Tikus” untuk menggambarkan kondisi yang dihadapi pengguna narkotika. Metafora ini berasal dari dua buah percobaan. Percobaan pertama dilakukan pada tahun 1980-an oleh Partnership for Drug-Free America dengan mengurung sejumlah tikus di tempat yang hanya berisi dua tabung, satu tabung berisi air biasa dan satunya lagi berisi air campur kokain. Sembilan dari sepuluh tikus lebih menyukai air yang mengandung kokain dan mereka terus mengonsumsinya sampai mati. Percobaan ini ditantang balik oleh seorang ilmuwan Kanada bernama Bruce Alexander. Ia merasa bahwa percobaan tikus dalam kurungan itu tidak dibuat dengan kondisi yang mencerminkan kehidupan manusia karena membatasi hidup tikus ini hanya pada dua tabung dan dinding kaca mereka. Maka ia membuat sesuatu yang mirip dengan taman tikus, ada roda hamster, taman, makanan yang banyak, dan lain-lain, sambil tetap mempertahankan dua tabung minum di situ, yang satu diisi air biasa dan satu diisi air campur morfin. Hasilnya berbeda: tikus-tikus di percobaan yang kedua lebih memilih air biasa ketimbang air campur morfin. Tikus-tikus yang diberikan pilihan akan jenis-jenis kesenangan hidup lain tidak memilih narkotika.
Tetapi memang hal-hal ini tidak bisa digeneralisir. Tetap ada orang-orang yang bisa menghadapi masalah trauma dan keterputusan hubungan sosial tanpa narkotika. Begitu pula, pasti ada orang-orang yang menjadi pecandu meskipun mereka memiliki hubungan sosial yang baik dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi orang-orang yang miskin dan marginal lebih berisiko, dan hal ini telah dibuktikan baik oleh penelitian, baik yang mendukung perang terhadap narkotika dan yang tidak.
Kebijakan narkotika juga pada akhirnya bisa membuat seseorang menjadi pecandu. Di buku Johann Hari, kita banyak diceritakan hidup menjadi orang kulit hitam di Amerika. Karena tidak ada institusi pendidikan yang mumpuni, anak remaja lebih sering keluar ke jalan dan bergabung dengan geng-geng yang terbentuk di perkampungannya. Beberapa anak di geng itu memberikan narkotika, entah sebagai insiasi atau hanya sukarela. Lantaran mereka tidak punya uang sementara harga narkotika di jalan selangit, mereka akhirnya melakukan beberapa tindakan kriminal: mencuri, menodong, merampok. Segala perbuatan ini makin meresahkan masyarakat sehingga polisi dipanggil untuk menangkap mereka.
Kita juga bisa membayangkan ini terjadi dalam konteks Indonesia. Hanya cukup mengganti frase orang kulit hitam dengan orang miskin atau anak putus sekolah.
Di banyak negara yang menerapkan perang terhadap narkotika, kita melihat bagaimana pelaksanaan perangnya berlaku diskriminatif. Sementara AS memenjarakan lebih banyak kulit hitam akibat narkotika dibandingkan kulit putih, di Indonesia kita melihat bahwa penghuni penjara adalah pengguna narkotika dari kalangan masyarakat kurang mampu. Orang-orang kaya yang ketahuan memakai narkotika bisa melanggeng bebas di tempat rehab bagus dan keluar sewaktu-waktu kalau ada jadwal manggung, jadwal dokter, atau urusan lain. Hukum yang berlaku diskriminatif ini menyebabkan seseorang yang marginal masuk lebih dalam ke masalah narkotika. Sementara orang-orang berduit bisa hidup dengan lebih baik karena diperlakukan juga dengan lebih baik.
Semua hal ini turut berperan dalam keberlangsungan adiksi narkotika seseorang. Dengan demikian upaya memerangi ketergantungan narkotika akan sia-sia jika hanya fokus pada pemusnahan barangnya saja. Upaya memerangi ketergantungan narkotika juga perlu untuk memperhatikan realita kehidupan pecandu dan hubungan mereka dengan masyarakat di sekitarnya.
Kembali ke Judul
Kebijakan perang terhadap narkotika menciptakan terminologi-terminologi baru yang mengalienasi pecandu narkotika ke penjara, ke keadaan tidak memiliki pendidikan, ke kondisi pengangguran. Perang terhadap narkotika itu juga yang membuat seolah-olah hal itu penting untuk menyembuhkan mereka, tetapi pada kenyataannya hal itu membawa para pecandu ke tubir keputusasaan yang lebih dalam.
Kita beragumen tentang locus delicti dari kasus narkotika, tapi luput memperhatikan lingkungan di mana pengguna hidup, belajar tentang kekerasan, dan tidak bisa keluar dari geng-geng kecil. Kita mencari modus operandi dalam kejahatan narkotika, tapi abai pada pertanyaan bagaimana caranya setiap hari seorang pemakai bisa bertahan di lingkaran kemiskinan yang sedemikian rupa. Kita mencari motif/niat/kehendak untuk membuktikan kesalahan pengguna narkotika di depan persidangan, tapi secara sistematis melupakan alasan apa yang mendorong orang itu menggunakan narkotika dan terus menggunakannya. Terakhir, kita sibuk mencari alat bukti, memeriksa setiap benda yang punya rongga dan memaksa setiap orang menjadi saksi; tapi kita tidak kunjung bisa memberikan bukti bahwa penahanan dan pemisahan punya makna perbaikan.
Menarik kesimpulan dari paparan di atas, kebijakan narkotika akan menjadi lebih baik kalau humanis. Kita telah memiliki terminologi-terminologi dasar yang tidak terdengar keren untuk dijadikan program pemerintah tapi berguna. Terminologi itu seperti cinta kasih, perhatian, persahabatan, perlindungan kerja, kesempatan mengenyam pendidikan, perawatan, dan lain-lain. Terminologi ini sederhana tetapi teruji keampuhannya oleh sejarah.
Maka judul yang dibuat bukanlah semata-mata ucapan pasifis yang dipilih karena tidak terpikir judul lain. Ilmu pengetahuan modern dan agama-agama sama-sama setuju bahwa perlakuan satu manusia terhadap manusia yang lain paling baik jika dilandasi oleh cinta dan pengorbanan, maka begitu pun juga harusnya perlakuan kita pada pengguna narkotika, atau begitu pun seharusnya kebijakan narkotika di dunia. Tentu pembaca boleh tidak setuju dan memilih judul yang terdengar lebih keren semacam, “Yang Paling Penting adalah Perang dan Pemusnahan”, atau “Yang Paling Penting adalah Bersih dan Abstinen”. Tapi, kalau judul-judul semacam itu yang dipakai, kita harus rela untuk hidup di dunia yang lebih memprioritaskan tujuan ketiadaan suatu zat di atas nyawa manusia itu sendiri.
Ditulis oleh: Albert Wirya