Month: December 2019

Rilis Pers – Lewat #HarapHAM, Mengubah Keniscayaan Menjadi Kenyataan.

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengadakan sebuah festival satu hari berjudul #HarapHAM. Festival yang terbuka untuk umum ini memadukan beberapa acara kebudayaan, yakni lokakarya melukis, pembacaan puisi, diskusi santai, dan pertunjukan musik. Acara ini tidak untuk hura-hura seremonial belaka tapi ingin memantik kepekaan masyarakat umum bahwa kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

#HarapHAM dirancang sebagai medium berbagi keresahan dan kegerahan akan situasi keadilan yang semakin gersang. Sebulan sebelum pelantikan masa jabatannya yang kedua, Joko Widodo menjalankan sejumlah kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat HAM dan justru mengkhianati janji HAM-nya. Melalui Kementerian Hukum dan HAM, ia menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang semakin mencekik kewenangan KPK dalam agenda pemberantasan korupsi. Bersama anggota DPR periode 2014-2019, ia juga hampir meneken pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi menyebabkan overkriminalisasi,terutama kepada kelompok marginal, seperti perempuan, anak, pengguna narkotika dan kelompok minoritas seksual.

Aparat pemerintah juga menunjukkan wajah brutal dan represifnya dalam menangani kasus demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang berlangsung medio September 2019. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat setidaknya terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan tanpa akses bantuan hukum memadai. Aparat melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang mengutarakan pendapatnya secara bebas. Salah satu ekses negatif dari represi aksi demonstrasi ini menimpa Immawan Randy dan Yusuf Kardawi, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas ditembak senjata polisi, tanpa diikuti dengan akuntabilitas yang transparan dan efektif.

Kelompok minoritas di Indonesia juga masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang masih diabaikan oleh negara. Dari bulan Januari hingga September 2019, setidaknya ada 30 kasus diskriminasi terhadap kelompok Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender yang menyebabkan tidak sedikit anggota kelompok minoritas seksual ini mengungsi dari rumah atau kotanya. Begitu juga dengan pengguna narkotika yang hidupnya penuh ketakutan mengingat sewaktu-waktu aparat penegak hukum bisa menciduk dan menjebloskan
mereka ke dalam penjara yang sudah sesak; dan bukannya menyediakan dukungan kesehatan. Di tahun ini, kami juga mendapatkan pengalaman berharga dari kasus Wendra, seorang dengan disabilitas intelektual yang diabaikan haknya ketika status disabilitasnya diragukan aparat penegak hukum.

Gambaran kelabu HAM di Indonesia inilah yang menjadi landasan bagaimana kami memilih para pengisi acara di festival #HarapHAM ini. Di siang hari, kami mengadakan lokakarya melukis yang dipandu oleh Bartega Studio karena kami percaya bahwa pesan kemanusiaan tidak melulu hadir lewat retorika tapi juga sketsa. Kami mengundang empat pembicara dalam diskusi publik di malam hari, yaitu Saras Dewi (Dosen Filsafat Universitas Indonesia), Puri Kencana Putri (Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia), Bivitri Susanti (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan, Ricky Gunawan (Direktur LBHM), untuk membagikan kesaksian bagaimana, bahkan setelah belasan tahun ‘dikhianati’ pemerintah, mereka tetap pantang menyerah dan akan terus menuntut pertanggungjawaban HAM kepada negara. Hadir pula di festival ini Anya Rompas, seorang penyair, yang mengingatkan tentang pentingnya kesehatan jiwa dalam bait-bait puisinya. #HarapHAM juga mendatangkan para musisi yang bukan hanya terkenal karena kualitas musiknya melainkan juga karena aktivisme yang mereka geluti dan menyuarakan kritik sosial. Ananda Badudu yang gigih memperjuangkan hak kebebasan berpendapat, Oscar Lolang yang aktif menggalang kepedulian untuk Papua lewat lagunya, dan Hindia yang kerap melantunkan dukungannya terhadap korban-korban kekerasan seksual dan ketidakadilan.

Melalui #HarapHAM, LBHM tidak hanya ingin memperlihatkan potret buram penegakan HAM di Indonesia, kami juga ingin menunjukkan potensi-potensi perbaikannya di masa mendatang. Potensi-potensi itu kami yakini ada, bukan cuma di orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintah, melainkan juga di diri rakyat biasa lintas etnis, kepercayaan, tingkat pendidikan, gender, orientasi seksual, dan lain-lain. Keniscayaan bahwa setiap orang memiliki HAM akan berubah menjadi kenyataan bilamana sekumpulan orang-orang biasa berkumpul dan mengemban harapan yang sama. #HarapHAM adalah ruang untuk menghimpun kegeraman publik dan mengelolanya menjadi semangat kolektif untuk memperbaiki kemanusiaan dan keadilan di republik yang tengah retak.

Narahubung
Tengku M Raka (0896 3541 0046)

Skip to content