Menuju debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang pertama pada 17 Januari 2019 dengan tema hukum, HAM, korupsi dan terorisme, LBH Masyarakat memadang bahwa publik perlu mendengar langsung pandangan para capres dan cawapres mengenai persoalan krusial dan mendasar terkait tema debat tersebut. Debat ini sejatinya menjadi forum bagi publik untuk menilai orisinalitas ide dan menggali gagasan para capres dan cawapres. LBH Masyarakat mendorong agar di debat pertama tersebut para capres dan cawapres dapat mendalami 3 (tiga) persoalan pokok hukum yang terkait hak asasi manusia, yakni: hukuman mati, intoleransi dan ancamannya terhadap demokrasi, dan rule of law.
Pertama, hukuman mati. Selama periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah telah mengeksekusi mati 18 orang. Hal ini membuat Indonesia dihantam kritik keras oleh dunia internasional karena melanggar norma hak asasi manusia internasional. Namun di sisi lain, sejak medio 2016 lalu, Indonesia belum melanjutkan eksekusi mati. Hal ini diduga kuat karena kampanye aktif Indonesia untuk mengisi posisi sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Di samping itu, Indonesia juga sesungguhnya aktif menyelamatkan Warga Negara Indonesia yang terancam hukuman mati/eksekusi di luar negeri.
Saat ini Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang masih memberlakukan hukuman mati. Banyak negara retensionis yang sudah mulai meninggalkan praktik hukuman mati. Negara tetangga saja, yakni Malaysia, sudah mulai menggodok rencana menghapus hukuman mati. Sebagai pemimpin di ASEAN, penting bagi Indonesia untuk mempertahankan posisinya yang terdepan di urusan hak asasi manusia, dengan membuka pintu bagi abolisi hukuman mati. Hal ini bisa dimulai dengan menerapkan moratorium hukuman mati secara resmi (de jure). Oleh karena itu penting bagi para capres dan cawapres untuk memaparkan pandangannya terkait politik hukum hukuman mati, bagaimana pemerintahan ke depan akan menyusun peta jalan penghapusan hukuman mati, dan langkah apa saja yang akan mereka ambil untuk secara komprehensif menyelamatkan WNI yang terancam hukuman mati/eksekusi di negara lain.
Kedua, masalah intoleransi, termasuk perlindungan terhadap minoritas menjadi hal yang tak boleh dilupakan. Sejak beberapa tahun terakhir, Indonesia banyak dinodai dengan aksi intoleransi dan persekusi terhadap kelompok minoritas, baik minoritas agama, gender, maupun minoritas seksual. Eskalasi masalah intoleransi ini adalah ancaman terhadap demokrasi karena mengganggu keseimbangan antara majority rule dengan minority rights. Di satu sisi, pemerintahan Jokowi terlihat gagap mengatasi maraknya aksi intoleran yang menyerang minoritas. Sementara itu di sisi lain, kubu Prabowo juga dekat dan didukung oleh sejumlah organisasi maupun individu yang kerap dituding menciderai keberagaman.
Regulasi yang diskriminatif terhadap minoritas seksual pun tumbuh pesat belakangan ini. Pemda Depok dengan blak-blakan mendukung pembentukan peraturan daerah melarang LGBT. Sementara, Pariaman sudah mengesahkan Perda Larangan terhadap LGBT pada November 2018. Sebelumnya, kriminalisasi terhadap kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda dilakukan dengan menggunakan UU ITE ataupun UU Pornografi. Sampai saat ini tidak pernah ada pernyataan yang jelas dari petahana tentang perlindungan kelompok minoritas seksual dari hukum dan perlakuan diskriminatif, sekalipun Konstitusi telah menjanjikan perlakuan yang sama di hadapan hukum terhadap setiap orang tanpa terkecuali. Lantas bagaimana sikap dan posisi kedua pasangan capres dan cawapres terkait relasi mayoritas-minoritas dalam kehidupan berdemokrasi dan berbangsa, dan bagaimana strategi mereka merawat kemajemukan di tengah ancaman intoleransi yang mengintai, adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang perlu mereka jawab di debat pertama nanti.
Ketiga, mengenai rule of law (prinsip negara hukum). Pertanyaan tentang rule of law juga menjadi hal yang penting dan mendesak dibahas di Indonesia hari ini. Adanya eksekusi mati yang tidak mengindahkan prosedur, masih maraknya korupsi di tubuh peradilan, penggrebekan sewenang-wenang yang menyasar pada kelompok tertentu, pembubaran paksa diskusi, mandeknya penyelesaian kasus-kasus besar seperti pelanggaran HAM masa lalu dan Novel Baswedan, dan dilanjutkannya beberapa proyek pembangunan padahal sudah diperintahkan oleh pengadilan untuk dihentikan, adalah sejumlah gejala yang mengindikasikan melemahnya rule of law di Indonesia.
Pemerintahan Jokowi tampak kewalahan menghadapi kuatnya cengkeraman oligarki politik dan mafia hukum dalam memastikan akuntabilitas penegakan hukum. Namun, Prabowo Subianto juga memiliki beban kepemimpinan dalam hal kewibawaan hukum karena pernah terlibat dalam pelanggaran HAM. Oleh sebab itu, bagaimana menjaga rule of law agar terhindar dari corak otoritarianisme dan bersih dari korupsi adalah sebuah keharusan guna mengamankan masa depan rule of law Indonesia. Prinsip negara hukum seharusnya betul-betul diimani oleh penguasa bukannya hanya menjadi kata-kata manis penghias konstitusi. Di debat pertama nanti, kedua pasangan capres dan cawapres harus bisa menguraikan agenda mereka ketika terpilih dalam hal penguatan rule of law.
LBH Masyarakat menilai bahwa debat capres dan cawapres tidak boleh menjadi acara formalitas belaka sebagai rangkaian kampanye. Tetapi debat tersebut harus dapat menjadi ujian bagi kedua pasangan, sekaligus pendidikan politik yang berkualitas bagi pemilih. Debat yang menguliti pemikiran para pasangan secara mendalam dan substansial adalah ajang bagi publik untuk mengetahui apa dan sejauh mana tawaran capres dan cawapres mengenai masa depan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
Ricky Gunawan
Direktur LBH Masyarakat