Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengkritisi kembali rencana pemberian amnesti kepada 44 ribu narapidana di Indonesia, terutama yang ditujukan kepada terpidana narkotika. Perkembangan rencana ini disampaikan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, bertempat di Kantor Kemenko Kumham Imipas pada hari Selasa, 21 Januari 2025.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Kompas.com, Yusril mengumumkan bahwa amnesti akan diberikan kepada narapidana kasus narkotika yang masih muda dan produktif melalui tahapan rehabilitasi atau masuk ke angkatan Komponen Cadangan (Komcad) untuk kemudian berkarya di proyek-proyek pemerintah, seperti pembukaan lahan pertanian di Kalimantan dan Papua.[1] Alasan prosesnya dibuat demikian adalah supaya penerima amnesti yang telah dibebaskan ini tidak meresahkan masyarakat.[2]
LBHM memandang ada beberapa poin dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan yang perlu dikritisi.
Pertama, rencana rehabilitasi setelah amnesti akan menambah permasalahan hak bagi para terpidana. Faktanya, tidak semua orang yang menggunakan narkotika akan menjadi ketergantungan dan membutuhkan rehabilitasi. Faktor konsumsi narkotika bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan, sebab ada beragam faktor biologis, seperti usia dan faktor sosial seperti dukungan support system yang berpengaruh pada tingkat ketergantungan narkotika. Hasil survei Badan Narkotika Nasional pada tahun 2023 pun menyebutkan bahwa angka prevalensi penyalahgunaan narkotika setahun pakai sebesar 173 orang per 10,000 penduduk, sedangkan angka prevalensi penyalahgunaan narkotika pernah pakai dalam seumur hidupnya sebesar 220 orang per 10.000 penduduk[3], menunjukkan adanya pengguna narkotika yang tidak sedang menggunakan narkotika selama setahun terakhir.
Seperti layaknya intervensi kesehatan yang lain, rehabilitasi ketergantungan narkotika harusnya dipandang sebagai hak, bukan pengganti hukuman. Pemerintah tidak bisa memukul rata bahwa puluhan ribu terpidana kasus narkotika yang akan diberikan amnesti semuanya membutuhkan rehabilitasi.
Kedua, penugasan terpidana narkotika ke Komcad adalah rencana yang gegabah. Kehadiran Komcad sebagai pelengkap sistem pertahanan Indonesia masih ditentang oleh berbagai elemen masyarakat. Komcad yang dibentuk dan ditugaskan untuk membantu proyek pertanian dikhawatirkan akan meningkatkan konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat dan menambah panjang daftar pelanggaran HAM.[4] Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2023 saja, jumlah konflik agraria tercatat mencapai 241 kasus, yang merampas 638.188 hektar lahan, dan 135.608 kepala keluarga terdampak imbas konflik ini.[5] Data tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2022, di mana terdapat 212 kasus, yang merampas 1.035.613 hektar lahan, dan 346.402 kepala keluarga yang terdampak.[6] Dengan demikian, kehadiran Komcad yang sampai sekarang masih banyak ditentang berbagai elemen masyarakat, berpotensi membuat masalah konflik agraria yang ada jadi semakin rumit.
Tak hanya itu, Desember 2024 lalu, LBHM bersama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain juga telah mengkritisi agenda amnesti untuk Komcad ini. Kami menjabarkan bahwa syarat keikutsertaan narapidana dalam Komcad tanpa kriteria yang jelas tentang rekrutmen dan kompensasi kerja berisiko membuat program ini menjadi perbudakan modern dalam bentuk kerja paksa.
Ketiga, kekhawatiran program amnesti akan meresahkan masyarakat seharusnya tidak ada sepanjang proses pemasyarakatan di dalam lembaga pemasyarakatan betul-betul dijalankan. Program pemasyarakatan sejatinya adalah program untuk membina dan membimbing para terpidana agar menempuh reintegrasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, seharusnya para terpidana yang menjadi target amnesti telah mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang sesuai yang akan mampu menempatkannya kembali ke dunia kerja.
Pemerintah juga bisa belajar dari pengalaman percepatan asimilasi yang dilakukan pada masa Pandemi Covid-19. Monitoring dari LBHM menunjukkan bahwa di tengah asimilasi sekitar 40 ribu terpidana pada April-Agustus 2020, hanya ada 72 narapidana yang kembali diberitakan melakukan kejahatan.[7] Persentase residivisme yang kecil ini juga bisa didorong dengan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang sesuai dengan kebutuhan para narapidana.
Keempat, penjelasan bahwa program amnesti akan diberikan kepada yang masih muda dan produktif menjurus ke diskriminasi berbasis usia atau ageism. Hal ini seperti kontradiktif dengan upaya pemerintah, terutama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, untuk memanusiakan lansia yang menjadi narapidana. Selama ini pemerintah sudah cukup berbangga dengan sikapnya untuk membentuk the Jakarta Statement on the Treatment of Elderly Prisoners dengan mengakui bahwa narapidana lanjut usia di Indonesia memiliki kebutuhan berbeda dengan narapidana lain.[8]
Jika program amnesti diberikan hanya kepada mereka yang produktif, semakin kuat pandangan masyarakat bahwa program amnesti ini bukan tentang keadilan, tetapi sepenuhnya urusan untung-rugi ekonomi.
“Sudah sepatutnya Amnesti dikembalikan kepada ikhtiarnya sebagai mekanisme untuk memperbaiki kesalahan peradilan pidana dan penghukuman di masa lalu. Terhadap pengguna narkotika, pemerintah seharusnya menempatkan program amnesti ini sebagai pengakuan bahwa pengguna narkotika tidak boleh dipenjara,” terang Albert Wirya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Rabu, (22/01/2025), di Jakarta.
Berdasarkan perkembangan terbaru ini, LBHM menyampaikan beberapa tuntutan:
- Mendesak pemerintah untuk mengembalikan tujuan amnesti pada pemenuhan keadilan dan Hak Asasi Manusia, khususnya untuk memperbaiki kesalahan penghukuman dalam kasus narkotika dan kasus kebebasan berpendapat.
- Memaksa pemerintah untuk mencabut syarat wajib mengikuti rehabilitasi dan Komcad pasca amnesti.
- Mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan program amnesti sesuai dengan standar-standar HAM yang ada, yakni dengan membuka partisipasi terpidana untuk menentukan apa yang ia hendak lakukan setelah amnesti; memastikan tidak ada diskriminasi berbasis usia, gender, atau status sosial lain dalam pemberian amnesti; memberikan informasi yang memadai kepada terpidana dan publik atas ketentuan amnesti.
- Untuk meredakan anggapan bahwa amnesti akan menyebabkan keresahan di masyarakat, pemerintah perlu memastikan bahwa sistem dukungan bagi mereka yang baru menjalani amnesti agar mereka bisa menempuh reintegrasi di masyarakat. Dukungan ini meliputi tapi tidak terbatas pada, pembiayaan kepulangan mereka ke keluarga, menghubungkan para penerima amnesti dengan fasilitas layanan kesehatan di luar penjara, memberikan layanan perlindungan sosial yang sesuai dalam bentuk jaminan sosial dan bantuan sosial.
Jakarta, 22 Januari 2025
Narahubung: Albert Wirya (+62 859-3967-6720)
[1] Haryanti Puspa Sari, Dani Prabowo, “Yusril Sebut Prabowo Ingin Napi Narkotika yang Terima Amnesti Direhabilitasi dan Ikut Komcad”, Kompas.com, 21 Januari 2025. Diakses di https://nasional.kompas.com/read/2025/01/21/15584841/yusril-sebut-prabowo-ingin-napi-narkotika-yang-terima-amnesti-direhabilitasi.
[2] Ibid.
[3] BNN, BRIN, BPS, Laporan Hasil Pengukuran Prevalensi Narkoba Tahun 2023, Hal. 53.
[4] “Menggugat Komponen Cadangan,” imparsial.org, 30 Juni 2022, diakses di https://imparsial.org/menggugat-komponen-cadangan-2/
[5] Konsorsium Pembaruan Agraria, Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi dari Enam Negara Asia, 27 Februari 2024. Diakses di https://www.kpa.or.id/2024/02/27/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dari-enam-negara-asia/
[6] Aryo Bhawono, KPA Catat 212 Letusan Konflik Agraria di 2022, betahita, 13 Januari 2023. Diakses di https://betahita.id/news/detail/8356/kpa-catat-212-letusan-konflik-agraria-di-2022.html?v=1673576856
[7] Hisyam Ikhtiar, Analisis Kebijakan Asimilasi dan Integrasi Narapidana di Masa Pandemi Covid-19, (Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat).
[8] “The Jakarta Statement Menuju Standar International Perlakuan Narapidana Lansia,” ditjenpas.go.id, 19 Desember 2019, diakses di https://www.ditjenpas.go.id/the-jakarta-statement-menuju-standar-international-perlakuan-narapidana-lansia