Sehubungan dengan keberadaan tindak pidana khusus di dalam RKUHP dan memperhatikan dinamika pembahasan RKUHP baru-baru ini, LBH Masyarakat hendak menyampaikan dua catatan penting yang sepertinya luput dari perhatian dan percakapan publik.
Pertama, rumusan ketentuan pidana di dalam RKUHP, khususnya tindak pidana khusus, belum memperhatikan elemen gender. Di dalam sistem hukum yang corak patriarkismenya masih dominan seperti Indonesia, penting memiliki RKUHP yang mengandung unsur pengakuan gender (gender recognition) yang kuat. Hal ini berarti bahwa hukum Indonesia akan bisa mengakui, melihat dan memahami bahwa keterlibatan perempuan di dalam sebuah tindak pidana khusus mengandung karakteristik yang khusus terjadi karena peran gendernya.
- Perempuan merupakan salah satu kelompok rentan yang terdampak atas dimasukkannya rumusan tindak pidana khusus dalam RKUHP. Pada praktiknya, perempuan seringkali dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk terlibat dalam tindak pidana dengan memanfaatkan faktor kerentanan yang mereka miliki.
- Dalam tindak pidana narkotika, misalnya, perempuan kerap dimanfaatkan untuk menjadi kurir oleh pasangan intim mereka yang merupakan bagian dari sindikat gelap narkotika. Komnas Perempuan juga sudah menyatakan bahwa terdapat dugaan kuat adanya unsur perdagangan manusia pada proses rekrutmen perempuan menjadi kurir. Beberapa tahun belakangan, kita menyaksikan meningkatnya tren perempuan sebagai pelaku peredaran gelap narkotika. Dalam tindak pidana terorisme, baru-baru ini kita melihat fenomena perempuan yang melakukan peran aktif sebagai pelaku aksi terorisme seperti – padahal sebelumnya perempuan baru sebatas memegang peran pendukung. Sedangkan pada tindak pidana korupsi, perempuan yang tertangkap bersama dengan seorang koruptor akan disorot habis-habisan oleh media dan disebar identitasnya walaupun ia tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut. Jika koruptor yang ditangkap telah memiliki istri, perempuan-perempuan ini akan diberi label sebagai perempuan nakal. Perempuan yang melakukan tindak pidana korupsi pun dicap lebih buruk, jika dibandingkan dengan apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh laki-laki. Perempuan juga merupakan korban dalam kejahatan berat terhadap hak asasi manusia yang tak kunjung mendapatkan keadilan. Dimasukkannya tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia dalam RKUHP akan semakin mempersulit pembuktian karena asas-asas hukum khusus kejahatan kemanusiaan tidak diakomodir dalam RKUHP.
- Perempuan yang terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung, di dalam tindak pidana umum saja sering mendapat cap buruk karena menyalahi norma yang berlaku di masyarakat, bahwa perempuan seharusnya menjalani peran caring (pembawa kasih sayang). Apalagi keterlibatan perempuan di tindak pidana khusus di atas yang sering dicap sebagai ‘extra ordinary crimes’. Keterlibatan mereka di tindak pidana khusus tersebut akan memperdalam stigma dan diskriminasi terhadap perempuan. Rumusan KUHP sekarang, dan RKUHP yang sekarang digodok bersama oleh DPR dan Pemerintah, belum menggunakan pendekatan yang sensitif gender dan tidak memperhatikan dimensi gender di dalam terjadinya sebuah tindak pidana. Pendekatan yang digunakan selama ini adalah kriminalisasi tanpa melihat lebih dalam karakteristik khusus keterlibatan perempuan dalam tindak pidana. Meletakkan tindak pidana khusus dalam RKUHP akan menghilangkan kemungkinan aparat penegak hukum dalam melihat persoalan khusus perempuan dalam kejahatan-kejahatan tersebut. Karena RKUHP adalah legislasi yang bersifat umum (generalis), maka sebenarnya keberadaan peraturan khusus seperti Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Korupsi dan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dapat memberikan ruang dan kesempatan bagi negara untuk melihat elemen perempuan dalam tindak pidana dan memberikan perlindungan kepada perempuan yang sesungguhnya menjadi korban.
Kedua, fakta bahwa masih terdapat penolakan dari berbagai lembaga negara seperti Komnas HAM, KPK, dan BNN terkait penempatan tindak pidana khusus di dalam RKUHP menunjukkan bahwa pembahasan RKUHP tidak perlu dikebut. Di samping itu, penolakan tersebut juga hendaknya dibaca sebagai penyangkalan atas pernyataan DPR dan Pemerintah bahwa RKUHP hampir rampung.
DPR dan Pemerintah seharusnya membuka ruang diskusi yang luas, partisipatoris dan bermakna, dengan masukan dari lembaga negara tersebut. Apalagi kalau RKUHP dipaksakan selesai di Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan. Penyelesaian pembahasan produk legislasi, terlebih yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti RKUHP, tidak sepatutnya dimanfaatkan untuk perayaan simbolik. Memaksakannya selesai di tengah derasnya penolakan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara memperlihatkan kepada publik akan watak DPR dan Pemerintah yang mengejar ego dan bukannya menempatkan kepentingan publik – kepentingan hidup bersama (commune bonum) – di atas kepentingan politik sesaat.
Jakarta, 3 Juni 2018
Arinta Dea – Analis Gender LBH Masyarakat
Catatan ini telah disampaikan pada konferensi pers Aliansi Nasional Reformasi KUHP di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 3 Juni 2018.