Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang, Senin (27/7), menyatakan 10 anak lelaki bersalah melakukan perjudian. Sebagai hukuman, anak-anak itu dikembalikan kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial.
Artinya, warga Desa Rawa Rengas, Kabupaten Tangerang, dan Cengkareng, Jakarta Barat, yang terletak persis di belakang Bandara Soekarno-Hatta itu bersalah, tetapi tidak dikenai hukuman kurungan badan.
Vonis yang diberikan majelis hakim yang diketuai Retno Pudyaningtyas dengan anggota Perdana Ginting dan Ismail itu seperti tuntutan jaksa Rizky Diniarty. Majelis berpendapat, ke-10 anak itu terbukti melanggar Pasal 303 bis (pasal tambahan) KUHP tentang ikut serta melakukan perjudian. Mereka—Ba (14), Sar (12), Rs (11), Dh (18), Rh (13), Ro (14), Ms (15), If (14), Tk (12), dan Df (13)—diadili dengan dakwaan berjudi macan buram atau tebak gambar dengan taruhan uang Rp 1.000 di Bandara Soekarno-Hatta.
Dalam putusannya, salah satu pertimbangan hakim adalah rekomendasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan, anak-anak tersebut berjudi dan mereka harus dibebaskan serta dikembalikan kepada orangtua masing-masing untuk dibina.
Atas vonis itu, penasihat hukum terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Ricky Gunawan, naik banding. ”Kami menyatakan banding karena jika dikembalikan kepada orangtua, berarti mereka tetap dianggap bersalah. Seharusnya anak-anak ini tidak bersalah dan bebas murni sehingga seumur hidup mereka tak ada cap terpidana,” papar Ricky.
Atas permintaan banding itu, Retno menanyakan balik kepada anak-anak. ”Anak-anak sudah paham? Putusannya, kalian pulang ke rumah orangtua, tetapi karena ada keberatan dari kuasa hukum, masih ada proses peradilan,” ujar Retno yang menggunakan safari berwarna biru itu.
Jaksa Rizky Diniarty menyatakan pikir-pikir atas permintaan banding tersebut. ”Saya pikir-pikir, tetapi saya bersikukuh bahwa mereka berjudi. Ada uang dalam permainan itu,” kata Rizky.
Tidak Berpihak
Menanggapi putusan itu, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, putusan itu menandakan hakim tidak berpihak kepada nasib dan masa depan anak-anak.
Sirait juga menyatakan kecewa kepada KPAI yang merekomendasikan bahwa apa yang dilakukan anak-anak di bawah umur tersebut adalah perjudian. ”Rekomendasi seperti yang dibacakan hakim ini juga yang menjadi pertimbangan memberatkan hukuman terhadap anak-anak itu. Berarti mereka (KPAI) tidak independen dalam membela anak,” kata Sirait.
Komnas Perlindungan Anak, lanjutnya, tetap akan mempraperadilankan mulai dari penyidik hingga hakim. Mulai dari penangkapan yang diwarnai dengan tindakan kekerasan hingga proses persidangan itu sendiri.
Namun, Magdalena Sitorus dari KPAI membantah jika mereka merekomendasikan seperti yang dinyatakan hakim. ”Sama sekali kami tidak pernah menyatakan seperti itu. Kami meminta anak-anak dibebaskan murni dan dikembalikan kepada orangtua,” katanya. Magdalena melanjutkan, pihaknya akan mengklarifikasi kepada pengadilan negeri.
Ketakutan
Persidangan pada Senin kemarin dilakukan secara maraton, mulai dari pembacaan tuntutan, pembelaan dari penasihat hukum, hingga vonis berlangsung mulai pukul 09.30 hingga 11.30.
Selama sidang tuntutan dan pembelaan bagi anak-anak di bawah umur itu berlangsung, ruang sidang tertutup. Anak-anak melepas topeng mereka yang terbuat dari kardus. Namun, hakim menyuruh anak-anak menggunakan topeng itu kembali saat pembacaan vonis berlangsung.
Sebelum persidangan dimulai, Ms muntah-muntah lalu pingsan, diduga karena stres. Ny Bule, ibu Ms, langsung memeluk anaknya dan menangis histeris. Selain Ms, temannya, Rs dan Tk, tampak pucat akibat ketakutan menghadapi sidang. (PIN)
Sumber: Kompas
Jakarta, 28 Juli 2009