Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai anak-anak saat ini dibiarkan untuk berjuang dan bergelut sendiri meraih keadilan.
Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat LBH Masyarakat Dhoho A. Sastro, di Jakarta, Rabu (22/7), mengatakan tidak ada mekanisme yang dapat menjamin anak-anak mendapat perlindungan dari negara.
Padahal, kata dia, Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan dan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
“Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Kalaupun harus menghadapi penangkapan, penahanan, atau pemidanaan penjara, semuanya itu harus ditempuh sebagai upaya paling akhir,” kata dia.
LBH Masyarakat setidaknya mencatat empat perkara yang berkaitan dengan anak-anak, yaitu perkara 10 anak yang diadili karena melakukan permainan bola koin di Bandara Soekarno-Hatta, persetubuhan dengan anak di bawah umur, penahanan ijazah karena menunggak SPP, dan kesalahan manajemen yang nyaris mencabut hak anak atas pendidikan.
Dhoho mengatakan aktivitas tebak-tebakan bola koin yang diputar dan dibarengi dengan uang, sebagaimana dilakukan ke-10 anak ini tidak bisa secara serta merta menyatakan sebagai perjudian. “Tapi harus secara seksama melihat apakah kegiatan ini masih merupakan permainan anak ataukah sudah menjadi sebuah kejahatan,” katanya.
Dalam kasus yang dialami MGL, jelasnya, seorang anak lelaki dari keluarga miskin yang tahun lalu dinyatakan lulus sebuah Madrasah Ibtidaiyah tempatnya bersekolah. Ia menunggak pembayaran uang sekolah dan uang untuk study tour. “Akibatnya ijazah ditahan oleh sekolah dan menimbulkan dampak ia tak mungkin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP,” katanya.
Menurut Dhoho, penyebab utama dari tiadanya perlindungan anak dalam upaya mencari keadilan adalah ketiadaan empati dari para aktor yang terlibat dalam pencarian keadilan. “Aparat penegak hukum hanya menjadi operator dari undang-undang tanpa menerapkan kewenangannya untuk melakukan diskresi,” katanya.
Menurutnya, hukum diterapkan oleh aparat secara kaku tanpa memandang aspek-aspek sosiologis yang berkembang memberikan perlindungan kepada anak, justru mengakibatkan keadilan bagi anak semakin jauh untuk diraih. (aka)
Sumber: Primair Online
Jakarta, 23 Juli 2009