Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat), sehubungan dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 10 Desember, kembali menagih komitmen politik kemanusiaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Politik HAM adalah politik yang meletakkan kemanusiaan sebagai nilai keutamaan (virtue) dalam setiap pengambilan keputusan. LBH Masyarakat memandang bahwa pemenuhan HAM akan terlaksana apabila penegakan hukum berjalan rasional dan dengan dilandasi oleh komitmen politik yang kuat. Namun sayangnya, sepanjang 2010, penegakan hukum di Indonesia kian suram dan komitmen politik semakin memudar (lack of political will). Sederet peristiwa sepanjang tahun ini menunjukkan wajah dan watak politik HAM SBY yang kian jauh dari janji pemenuhan HAM, mengingkari keadilan dan melecehkan penegakan hukum.
Salah satu contoh yang mencerminkan rendahnya komitmen politik HAM SBY adalah pemilihan Timur Pradopo sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Pemilihan tersebut menambah deret potret buram pengisian jabatan publik yang melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas. Tidak transparan karena SBY tidak menjelaskan kepada publik alasan di baliknya pemilihan Timur Pradopo sebagai Kapolri, padahal publik berhak tahu dasar pilihan politik SBY tersebut – mengingat Kapolri adalah jabatan publik. Promosi pangkat dan jabatan Timur Pradopo dalam hitungan jam memperkuat kecurigaan publik bahwa pemilihannya lebih bernuansa politis daripada kepentingan untuk pemajuan HAM. Pilihan tersebut jelas juga tidak akuntabel karena rekam jejak Timur Pradopo yang diduga kuat bertanggung jawab dalam kasus Trisakti 1998 dan serangkaian ketidakberhasilan Timur Pradopo menyelesaikan kasus-kasus yang menyita perhatian publik seperti penyerangan kantor TEMPO, penganiayaan terhadap Tama S. Langkun, aktivis ICW, maupun yang paling terakhir adalah kasus Ampera. Dengan tetap memilih Timur Pradopo sebagai Kapolri justru menunjukkan ketidakpekaan SBY terhadap persoalan penegakan hukum dan pemenuhan HAM. Jabatan Kapolri hendaknya tidak boleh diisi oleh figur yang memiliki catatan buruk di kedua hal tersebut. Tidaklah mengherankan apabila kemudian penegakan hukum dan perlindungan HAM dalam beberapa bulan terakhir semakin cepat berjalan mundur, mengingat Polri dipimpin oleh figur yang integritasnya rendah.
LBH Masyarakat mencatat setidaknya terdapat 2 (dua) hal mendasar yang mendesak untuk dibenahi oleh SBY guna mengkonkritkan politik HAM-nya:
- Menghapus kultur impunitas. Video kekerasan Papua menyita perhatian kita di pertengahan menjelang akhir 2010. Kesan bahwa praktik kekerasan melekat erat pada insitusi militer (dan juga kepolisian) menjadi kenyataan dengan munculnya video tersebut. LBH Masyarakat memandang bahwa kekerasan tersebut terjadi karena masih kuatnya kultur impunitas di Indonesia sehingga aparat negara masih bisa leluasa melakukan kekerasan dan lolos dari penghukuman, atau mendapat hukuman yang ringan dan tidak menjerakan. Belum lagi realisasi komitmen SBY untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu juga tidak berbanding lurus dengan apa yang pernah dijanjikan. Padahal SBY dapat memerintahkan Kejaksaan untuk menindaklanjuti hasil temuan Komnas HAM untuk beberapa kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM. Kegagalan SBY menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu kian mempertebal iklim impunitas. SBY harus mampu menghapus kultur impunitas dengan cara mengefektifkan penegakan hukum dan pemulihan hak bagi korban, termasuk di dalamnya dengan menjamin ketidakberulangan kejahatan HAM.
- Mempercepat reformasi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara menyeluruh. Polri adalah salah satu institusi Negara yang kerjanya kerap bersinggungan dengan perlindungan HAM. Ironisnya, bukannya melindungi dan mengayomi warga, Polri justru terkesan melindungi dan mengayomi pelaku kekerasan seperti misalnya Front Pembela Islam (FPI). LBH Masyarakat mengidentifikasi 3 (tiga) persoalan pokok HAM yang berhubungan dengan buruknya kinerja Polri tahun ini:
- Absennya kepekaan Polri terhadap keadilan. Tahun 2010 kita masih menjumpai beberapa kasus tindak pidana minor yang pelakunya diproses oleh Kepolisian atas nama prosedural. Padahal, secara substansial tindakan Polri yang memproses pelaku adalah berlebihan dan tidak sensitif. Institusi Polri seharusnya dapat menilai apakah kasus-kasus tersebut layak dibawa ke pengadilan dan pelakunya mendapat penghukuman. Over-kapasitas Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sesungguhnya tidak terlepas dari tindakan Kepolisian yang dengan mudah dan tidak mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat menahan dan menginvestigasi seseorang. Sehingga, salah satu kontribusi utama untuk pengurangan kapasitas Rutan dan Lapas adalah mendorong Kepolisian untuk lebih peka terhadap nilai-nilai keadilan agar tidak secara mudah menjerat seseorang, dan bukannya membangun gedung Rutan dan Lapas baru.
- Penyiksaan, kekerasan dan penggunaan senjata api yang eksesif dan disproporsional. Kasus-kasus seperti Aan dan yang paling akhir penembakan mahasiswa Universitas Bung Karno membuktikan bahwa Polri masih sering menggunakan kekerasan sebagai cara bekerjanya. Pendidikan HAM bagi Polri dan Peraturan Kapolri tentang Implementasi HAM dalam kerja Polri nomor 8 tahun 2009 seakan menjadi investasi yang mubazir karena belum memberi hasil yang positif.
- Absennya dan diamnya Polri dalam upaya perlindungan HAM. Di beberapa kasus seperti misalnya HKBP Ciketing, termasuk serangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan komunitas LGBT di beberapa daerah di Indonesia oleh FPI mengafirmasi kekhawatiran publik bahwa di bawah kepemimpinan Timur Pradopo yang pernah menyatakan akan merangkul FPI, Polri akan impoten ketika berhadapan dengan kelompok ekstremis, bigot dan vigilante seperti FPI. Kegagalan demi kegagalan Polri dalam menindak tegas FPI dan kelompok sejenis memberi sinyal kuat seakan Negara merawat FPI dan mengamini tindak kekerasan yang mereka lakukan. Serangan terhadap kelompok Ahmadiyah yang terus menerus berulang juga menjadi bukti bahwa komitmen politik HAM SBY terhadap kebebasan beragama sebagaimana diamanatkan Konstitusi, nihil. Baik serangan terhadap Ahmadiyah berdasarkan tafsir sempit agama maupun kekerasan terhadap komunitas LGBT atas nama moralitas, adalah pertanda kuat bahwa yang berlaku di Indonesia adalah hukum agama dan moral, bukannya hukum Negara.
Untuk menjamin keberlanjutan reformasi kepolisian, maka pembaruan institusi Polri yang kini tengah berjalan harus dievaluasi secara komprehensif untuk mengetahui letak jurang disparitas antara kerangka konseptual dan praktik. Setelah mengkajinya secara menyeluruh, konsep reformasi Kepolisian kemudian harus dirancang-bangun kembali dan dipercepat serta diefektifkan agar dapat meningkatkan kinerja Polri. Hal ini penting dilakukan mengingat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri semakin meluruh.
LBH Masyarakat menyayangkan di tahun pertama periode kedua pemerintahan SBY, justru pelanggaran HAM kian vulgar terjadi dan Negara berulang kali melakukan pembiaran atas pelanggaran yang telah terjadi. Padahal SBY, yang tidak akan terpilih lagi sebagai Presiden RI untuk periode berikutnya, seharusnya dapat meninggalkan legacy yang kuat dalam hal pemenuhan HAM. Di tahun 2010, perselingkuhan antara Negara dengan korporasi pelaku pelanggaran HAM dan kelompok ekstremis terus melahirkan serial kejahatan HAM baik di ranah sipil-politik, maupun ekonomi-sosial-budaya. Rendahnya komitmen politik yang berujung pada lemahnya penghukuman terhadap pelaku kejahatan HAM adalah faktor determinan yang berdampak pada reproduksi pelanggaran HAM secara berkelanjutan. Oleh sebab itu LBH Masyarakat mendesak Presiden SBY untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat guna mewujudkan pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. SBY harus membuktikan bahwa Negara tidak boleh dan memang tidak kalah dengan pelaku kejahatan HAM.
Jakarta, 9 Desember 2010
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Ricky Gunawan
Direktur Program