Mei sebelas tahun lalu akan selalu menjadi catatan kelam dalam sejarah modern Indonesia. Penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian menjalar pada peristiwa pembakaran Jakarta dan kota besar lainnya telah mengguncang akal sehat kita.
Tragedi yang tidak mungkin dapat diungkap dengan rangkaian kata yang kemudian kita kenal dengan Tragedi Mei 1998 itu meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia. Pengungkapan kebenaran, penghukuman pelaku, dan pemberian reparasi bagi korban dan keluarga korban adalah pra-kondisi yang harus dipenuhi oleh Negara guna memastikan bahwa luka tersebut terpulihkan.
Kejahatan yang terjadi bukan hanya merenggut nyawa ratusan bahkan ribuan anak bangsa tetapi juga meluruhkan hakikat kemanusiaan kita semua. Kebenaran di balik peristiwa tersebut masih terus menghantui kita, dan membuat langkah kita untuk bergerak ke depan semakin berat. Hingga kini, tidak ada pelaku kejahatan yang telah dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan hukum secara adil. Ironisnya lagi, para pelaku yang diduga terlibat dalam kejahatan tersebut kini tengah melakukan sirkus politik, mengejar kursi nomor satu di republik ini.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menilai bahwa kegagalan Negara dalam menghukum si pelaku adalah indikasi kuat bahwa mereka yang dekat dengan tampuk kekuasaan akan tetap tak tersentuh hukum. Rule by the few, bukan rule of law.
Dalam proses elektoral yang baru saja dilaksanakan, beberapa partai yang diduga erat memiliki hubungan dengan pelaku kejahatan ternyata meraih suara yang cukup berarti. Fenomena ini menggambarkan betapa sebagian besar publik telah lupa akan tragedi kemanusiaan tersebut. Publik sepertinya terpikat dengan tawaran perubahan yang mereka usung, tidak peduli bahwa di tangan mereka masih berlumuran noda darah anak bangsa. Keberpihakan kepada pelaku mengirim sinyal kuat bahwa rakyat Indonesia memaafkan mereka dan seakan tidak masalah bila mereka memimpin Indonesia.
LBH Masyarakat memandang bahwa Negara harus menunjukkan taji hukumnya jika tidak ingin Indonesia dikungkung terus dengan hawa impunitas. Para pemimpin bangsa harus berani menyingkap kebenaran di balik Tragedi Mei 1998, karena hanya dengan pengungkapan kebenaran itulah, rakyat mengetahui persis apa, siapa, dan bagaimana kejadian pilu tersebut terjadi.
Sepahit apapun kenyataan yang terjadi adalah sebuah harga mahal yang harus dibayar. Karena dengan demikian, rakyat yang kini tidak peduli menjadi tahu bagaimana para pelaku memainkan perannya. Rakyat tahu bagaimana sebuah kejahatan kemanusiaan dirancang dan dilakukan dengan rapih. Rakyat juga menjadi paham bagaimana para aktor intelektual kejahatan tersebut secara mahir menyebarkan virus amnesia kepada publik.
Dengan pengungkapan kebenaran, rakyat sudah bisa merasakan gejala-gejala terulangnya peristiwa kelabu itu di masa mendatang, menyelamatkan generasi masa depan Indonesia. Sehingga rakyat akan berani melawan lupa dan dengan lantang menyerukan jangan pernah lagi ada kejahatan kemanusiaan serupa. Sepedih apapun fakta yang harus diungkap adalah kunci bagi bangsa ini untuk memasuki ruang yang lebih beradab, yang lebih menghormati hakikat manusia.
LBH Masyarakat mendesak kepada Pemerintah untuk segera menyeret pelaku yang sebenarnya ke pengadilan dan mendesak kepada seluruh calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi dalam pemilihan presiden 2009 agar dengan jiwa ksatria membuka tabir Tragedi Mei yang sesungguhnya. Permintaan maaf secara terbuka (public apology) harus pula disampaikan oleh para pemimpin bangsa, termasuk juga mengakui kesalahannya dan menyatakan bersedia bertanggungjawab untuk itu.
Di waktu yang sedikit tersisa menuju pemilihan presiden, harapan penegakan HAM itu masih ada. Rakyat Indonesia akan menentukan arah masa depan bangsa ini. Larut dalam lupa dan terjerumus dalam rezim represif yang mengekang kodrati kita yang paling hakiki, atau melawan lupa demi terwujudnya negara demokratis yang menghormati hak asasi manusia dengan mengungkap kebenaran pelanggaran HAM dan menghukum pelaku serta memulihkan hak korban.
Jakarta, 13 Mei 2009
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Ricky Gunawan
Direktur Program