10 Desember enam puluh tahun yang lalu, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi ini dilahirkan dari pemikiran yang visioner dari sejumlah tokoh pejuang kemanusiaan. Pemikiran ini dilandasi dengan mimpi akan terciptanya masa depan peradaban kemanusiaan yang lebih baik, mengingat pada saat itu peradaban manusia di dunia ini berada di tengah tragedi kemanusiaan yang keji (perang dunia). DUHAM membawa satu pesan harapan bahwa manusia haruslah memanusiakan sesama manusia.
DUHAM mengakui sebuah prinsip utama bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama yang tidak dapat dicabut dari seluruh umat manusia adalah fondasi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. DUHAM memberikan satu pijakan dasar dari seluruh hak asasi yang terkandung, bukan hanya tercatat, dalam Deklarasi tersebut yakni: Semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
Berangkat dari pijakan dasar tersebut kemudian lahirlah sejumlah hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi tersebut. DUHAM tidak berdiam diri menjadi satu norma yang hanya menjadi standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, tetapi lebih dari itu, ia menjelma menjadi beragam kovenan internasional, konvensi, dan segala bentuk aturan hukum internasional. Deretan hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi pun menggema ke berbagai Konstitusi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia menuangkan sejumlah hak asasi manusia di dalam Konstitusinya, termasuk juga meratifikasi sejumlah kovenan internasional dan konvensi HAM. Tetapi apakah semua aturan ini, yang merupakan bentuk nyata pengakuan terhadap martabat dan keadilan bagi semua manusia, memberikan kontribusi yang positif bagi pemajuan hak asasi manusia di dunia? Lebih khusus lagi di Indonesia?
Sepanjang 60 tahun usia Deklarasi, Indonesia telah menjadi saksi bagaimana manusia Indonesia memangsa manusia Indonesia lainnya. Pelanggaran HAM demi pelanggaran HAM terus terjadi hingga kini. Mulai dari pembantaian 1965 hingga kasus Lumpur Lapindo, tragedi Tanjung Priok hingga tragedi Trisakti-Semanggi I-II, pembunuhan ekstra-yudisial, penyiksaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, penghilangan paksa, hukuman mati, penggunaan kekerasan untuk menjawab kebebasan beragama, penggusuran paksa hingga pengingkaran hak atas kesehatan dan hak atas pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu, dan masih banyak lagi. Semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi tersebut masih belum terjawab dan menyisakan iklim impunitas yang kental. Sepanjang 60 tahun ini, belum ada kontribusi positif bagi pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
Tepat dengan 60 tahun peringatan DUHAM, Indonesia memasuki masa kampanye menjelang pemilu 2009. Kampanye bukan lagi merupakan ajang seorang kandidat untuk memperjuangkan gagasan dan cita-cita, tapi menjadi ajang untuk mempersolek diri di hadapan konstituen. Berbagai hal dijadikan sebagai kosmetik untuk mempercantik diri. Bahkan, salah satunya adalah Hak Asasi Manusia.
Sepanjang tahun 2008 hak asasi manusia menjadi seperti barang dagangan, komoditas politik bagi para aktor pemerintah, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kehadiran Panitia Khusus Orang Hilang di DPR, sepertinya lebih menjadi arena kampanye politik para anggota Dewan ketimbang menjawab esensi permasalahan pelanggaran HAM yang terjadi. Di samping itu, alih-alih melindungi perempuan dan anak, DPR justru mengesahkan Undang-Undang Pornografi yang justru jatuhnya malah mengkriminalisasi perempuan, dan mengkhianati kebhinekaan Indonesia.
Peran yang harusnya diemban oleh para anggota DPR dan Pemerintah, sebagai legislator di Indonesia ternyata justru diabaikan. Hingga tahun ini Indonesia masih belum memiliki satu aturan hukum pun mengenai penghapusan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat-aparat negara dalam proses penegakan hukum. Hal ini membuat para korban penyiksaan tidak pernah mendapatkan pemulihan hak, dan para pelaku lepas tak terhukum. Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan yang dijadwalkan akan diratifikasi pada tahun ini ternyata masih belum terealisasi, menciptakan peluang pencegahan penyiksaan semakin kecil.
Sederet permasalahan hak asasi manusia tersebut terancam tidak akan pernah menyentuh akar persoalan dan tidak akan diselesaikan secara tuntas dalam waktu dekat ini, mengingat 2009 akan menjadi tahun politik. Tahun dimana para wakil rakyat justru berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya seolah-olah mereka berpihak pada rakyat kecil dan berpihak pada kemanusiaan, padahal ini semua dilakukan demi mendapat kursi kekuasaan.
Sejalan dengan tema peringatan 60 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun ini yaitu “Martabat dan Keadilan Untuk Semua”, dan menyambut Pemilu 2009, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mendesak kalangan partai politik maupun pelaku politik lainnya untuk mendepankan kemanusiaan dalam menjalankan kekuasaan, demi mencapai keadilan untuk semua. DUHAM telah mencatat bahwa tindakan mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia. Tentu, kita semua tidak menghendaki adanya kebengisan dan kemarahan hati nurani manusia terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesia pernah mengalami masa-masa kelam kemanusiaan. Dan, saatnya sekarang untuk memulihkan kekelaman yang pernah terjadi dan mencegah kebengisan baru terjadi di masa yang akan datang.
LBH Masyarakat memandang bahwa mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan menyediakan pemulihan hak bagi para korban adalah kunci untuk melenyapkan impunitas di Indonesia. Pengadilan dan pertanggungjawaban dari para pelaku akan membuat setiap fakta dan kejadian akan terungkap secara gamblang dan transparan, serta menjadi pelajaran bagi kita semua untuk menghindari kekejaman serupa di masa mendatang.
LBH Masyarakat lebih jauh lagi menilai bahwa partisipasi masyarakat dalam setiap kebijakan publik adalah faktor penting untuk menghindari adanya pelaksanaan kebijakan publik yang menimbulkan kerugian terhadap kemanusiaan. Jika korban penggusuran dapat diajak berdialog dan difasilitasi untuk mendapatkan solusi pasca penggusuran, tentu tidak akan terjadi penggusuran paksa yang menimbulkan jatuhnya korban. Jika suara masyarakat diperhatikan dalam proses legislasi dan para wakil rakyat tidak elitis, niscaya produk legislatif yang dihasilkan akan berpihak pada kemanusiaan.
Jakarta, 10 Desember 2008
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Ricky Gunawan Direktur Program | Dhoho Ali Sastro Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat dan Penanganan Kasus | Andri G. Wibisana Direktur Penelitian dan Pengembangan |