Telah menjadi dogma di kalangan pemerhati hak perempuan bahwa budaya patriarki yang kuat akan melahirkan relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan. “Dalam lingkungan yang dihegemoni oleh lelaki, perempuan begitu rentan mendapat perlakuan diskriminatif dan terlanggar haknya. Pemenuhan hak perempuan akhirnya sulit tercapai mengingat lelaki akan mengekang perempuan untuk menjalani fungsi tradisionil jendernya yaitu menjadi ibu rumah tangga. Dalam hal seorang perempuan juga membawa identitas lain yang kontroversial di mata mayoritas masyarakat, perempuan tersebut akan mengalami diskriminasi berlapis,” tegas Ricky Gunawan, Direktur Program LBH Masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Ricky di acara pemutaran film pendek dokumenter berjudul Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi, sampai HIV, hari Jumat, 13 Agustus 2010 di Pusat Kebudayaan Italia, Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) bekerjasama dengan Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC) dan Women’s International Shared (WISE) Project.
Lebih lanjut Ricky mengungkapkan bahwa seorang perempuan pemakai narkotika akan mengalami stigma dan penolakan dari keluarga, sementara lelaki pemakai narkotika akan dimaklumi oleh keluarga sebagai kenakalan khas lelaki. Seorang perempuan pekerja seks akan dipandang manusia rendahan, tidak beragama – menafikan kenyataan bahwa eksistensi mereka tidak terlepas dari lelaki hidung belang pemburu seks. Seorang lelaki yang transjender – memilih jender perempuan sebagai jalan hidup – akan diusir dari keluarga. Seorang perempuan yang transjender – memilih jender lelaki – juga akan mengalami pemaksaan identitas sebagai tetap “perempuan”. Dan, seorang perempuan dengan HIV positif akan mendapat citra sebagai perempuan yang “gemar seks bebas” dan amoral.
Berangkat dari situasi tersebut di ataslah pelatihan pembuatan film sebagai perangkat advokasi bagi perempuan pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan perempuan dengan HIV positif diselenggarakan. LBH Masyarakat, AHRC/ALRC dan WISE hendak meletakkan konteks persoalan di atas dalam kerangka advokasi hak asasi manusia dengan menggunakan medium video. WISE sendiri adalah sebuah program yang diinisiasi oleh AHRC/ALRC dan mengambil skala Asia sebagai wilayah kerjanya. WISE telah melakukan pelatihan bagi perempuan tertindas dan hidup dalam kemiskinan di Pakistan. Setelah Indonesia, WISE akan melanjutkan kegiatan ini ke Thailand dan Sri Lanka. “WISE bertujuan untuk memberi pelatihan bagi perempuan untuk produksi video dan penggunaan internet sebagai media komunikasi dan mendorong mereka untuk melanjutkan kegiatan serupa sekalipun program telah usai,” ungkap Danielle Spencer, Koordinator Program WISE.
Danielle mengutip survey global Bank Dunia tahun 1999 terhadap 60.000 orang yang berpenghasilan kurang dari satu dollar sehari (kurang lebih sepuluh ribu rupiah). Ketika ditanyakan apa yang dapat memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap hidup mereka, sebagai jawaban nomor satu, bahkan di atas kebutuhan pangan dan tempat tinggal adalah akses untuk menyuarakan aspirasi mereka. “Di titik inilah WISE meletakkan konteksnya untuk membuka celah advokasi bagi mereka yang suaranya tidak pernah terdengar,” tambahnya.
Di Indonesia, sepuluh perempuan yang berasal dari latar belakang mantan pemakai narkotika, pekerja seks, waria dan perempuan dengan HIV positif dikumpulkan untuk mengikuti pelatihan intensif selama 9 (sembilan) hari mulai dari Senin, 2 Agustus 2010 sampai Kamis, 12 Agustus 2010. Kesepuluh perempuan ini belum pernah menggunakan video-kamera dan perangkat pembuatan film lainnya. Selama pelatihan para perempuan tersebut diminta untuk menyuarakan aspirasi, kepentingan dan pandangan mereka mengenai problematika menjadi seorang perempuan di Indonesia pada umumnya dan Jakarta pada khususnya, dalam medium sebuah film berdasarkan pengalaman dan perspektif mereka, dengan memperhatikan segala persoalan kontekstual sosial, ekonomi dan budaya. Film ini, sederhananya, adalah interpretasi para perempuan tersebut terhadap persoalan yang muncul di hadapan mereka. Film ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadi salah satu perangkat advokasi dan kampanye hak asasi manusia yang dapat mereka dan komunitas mereka manfaatkan. Film tersebut diberi judul, Menyangkal Tangis: Dari Kemiskinan, Narkotika, Prostitusi, dan HIV.
Jakarta, 13 Agustus 2010
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat)
Asian Human Rights Commission (AHRC)/Asian Legal Resource Center (ALRC)
Women’s International Shared (WISE) Project
Tentang LBH Masyarakat:
Organisasi non-pemerintah nirlaba yang memfokuskan program kerja utamanya pada: penyediaan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan terpinggirkan; pemberdayaan hukum masyarakat di tingkat akar rumput melalui pendidikan hukum dan HAM; advokasi kebijakan; dan kampanye HAM di tingkat nasional dan internasional.
Contact person:
Ricky Gunawan
Direktur Program
rgunawan@lbhmasyarakat.org
+62 812 10 677 657
Tentang AHRC:
Organisasi non-pemerintah regional yang melakukan pemantauan dan lobi-lobi untuk isu HAM di Asia. AHRC berdiri pada tahun 1984.
Tentang ALRC:
Organisasi non-pemerintah regional yang memegang status konsultasi untuk Sidang Ekonomi dan Sosial PBB. ALRC bertujuan untuk memperkuat dan mendorong langkah positif dalam hal persoalan hukum dan HAM di tingkat nasional di negara-negara Asia.
Tentang WISE:
Sebuah program yang bertujuan untuk memberdayakan perempuan tertindas dan terpinggirkan agar mampu menyuarakan aspirasi dan pandangan mereka mengenai persoalan yang mereka alami. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pembuatan film dan penggunaan teknologi internet sebagai alat advokasi.
Contact person:
Danielle Spencer
Koordinator Program
danielle.spencer@ahrc.asia
http://www.wisevoicesthroughvideo.org