Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan moratorium hukuman mati terhadap enam terpidana mati yang putusan pengadilannya sudah berkekuatan hukum tetap. Lebih jauh lagi, LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung untuk melakukan moratorium hukuman mati terhadap semua terpidana mati.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya bahwa Kejaksaan Agung akan melakukan eksekusi hukuman mati terhadap enam terpidana mati. Adapun keenam terpidana mati yang siap dieksekusi tersebut yaitu: Meirika Franola (perkara narkotika), Gunawan Santosa alias Acin (perkara narkotika), Bahar bin Matsar (perkara pembunuhan), Jurit bin Abdullah (perkara pembunuhan), Ibrahim bin Ujang (perkara pembunuhan) dan Suryadi Swhabuana (perkara pembunuhan). Pelaksanaan hukuman mati hanya akan memperpanjang rantai pembalasan dan melegalisasi pembunuhan atas nama keadilan.
Konstitusi Indonesia Pasal 28A juncto Pasal 28I menyebutkan dengan tegas bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan hak tersebut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Oleh karenanya, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran fundamental terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang inheren melekat pada diri setiap manusia yang tidak hanya diakui dalam Konstitusi Indonesia tetapi juga beragam aturan hukum internasional.
LBH Masyarakat memandang bahwa hukuman mati merupakan bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia karena:
- Hukuman tersebut sampai mencabut nyawa manusia, dan proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman mati tersebut menempatkan terpidana dalam suasana ketidakpastian sehingga menambah kekejaman dari sebuah hukuman mati (death row phenomenon).
- Hukuman mati adalah bentuk pengingkaran kemanusiaan yang hakikatnya adalah kehidupan.
- Hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat yang dimiliki terpidana, dan ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.
LBH Masyarakat percaya bahwa setiap kejahatan berat harus dihukum berat. Namun hukuman terberat tidak boleh sampai merenggut hidup seseorang. Pidana terberat yang dapat dijadikan sebagai alternatif solusi pemidanaan adalah penjara seumur hidup tanpa remisi (life imprisonment without parole). Hukuman seumur hidup lebih layak sebagai hukuman terberat yang lebih banyak memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.
LBH Masyarakat juga menegaskan kembali bahwa penerapan hukuman mati sebagai efek jera adalah alasan klasik yang sudah usang dan tidak pernah terbukti penjeraannya. Data dan fakta yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati tidak banyak memberikan kontribusi dalam mengurangi angka kejahatan karena sesungguhnya terdapat banyak faktor yang memberikan kontribusi atas tinggi rendahnya kejahatan. Bukan seberapa kejam hukumanlah yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur dan transparan.
LBH Masyarakat melihat bahwa pelaksanaan hukuman mati hanya akan melanggengkan lingkar balas dendam (cycle of vengeance). Ketika kita mengutuk keras kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh? Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong agar kita semua selalu mempergunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan.
Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental, melekat dan berlaku bagi semua manusia, tanpa terkecuali. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, termasuk juga bagi manusia yang melakukan kejahatan.
Jakarta, 28 Januari 2010
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat
Ricky Gunawan
Direktur Program