Keputusan PN Tangerang yang menyatakan 10 anak penyemir sepatu bersalah telah berjudi mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Mereka menilai, keputusan itu tak memunculkan efek jera, tetapi justru memunculkan masalah baru berupa masa depan suram bagi anak-anak itu.
Reaksi berupa pernyataan tersebut datang dari anggota Komisi III DPR Nursyahbani Katjasungkana dan Gayus Lumbuun, Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arits Merdeka Sirait, serta ahli hukum pidana Rudi Satrio Lelono.
Mereka sepakat, seharusnya penegak hukum, dalam hal ini polisi, jaksa, dan pengadilan, tak perlu meneruskan perkara main tebak gambar yang dimainkan anak-anak itu ke persidangan.
”Toh, keputusan pengadilan, ternyata mereka dikembalikan kepada orangtuanya untuk dibina. Polisi seharusnya menggunakan kewenangan deskresinya untuk menghentikan perkara tersebut, lalu memanggil orangtua anak-anak itu agar mereka tak lagi mengulangi perbuatannya,” kata Rudi Satrio Lelono, Selasa (28/7) di Jakarta.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang dipimpin Retno Pudyaningtyas, dengan anggota Perdana Ginting dan Ismail, Senin, memutuskan, ke-10 anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta itu bersalah telah berjudi dengan permainan tebak gambar mata uang koin. Alasan majelis, para terdakwa yang masih berada di bawah umur tersebut melanggar Pasal 303 bis KUHP mengenai perjudian.
Vonis bersalah tersebut, kata Arist Merdeka Sirait dan Gayus Lumbuun, akan memberi cap narapidana kepada ke-10 anak tersebut.
”Jelas vonis itu akan menyulitkan mereka kelak saat butuh surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian guna mendapat pekerjaan atau keperluan lain,” kata Gayus Lumbuun yang dihubungi secara terpisah.
Tidak Mendidik
Nursyahbani yang dihubungi melalui telepon mengatakan, dirinya meyakini penghukuman berupa vonis bersalah atas anak- anak penyemir sepatu, lalu mengembalikan mereka kepada orangtua mereka untuk dibina di bawah pengawasan Departemen Sosial tak akan memberikan efek dan pelajaran apa pun bagi anak-anak tersebut.
Gayus Lumbuun, Rudi Satrio Lelono dan Nursyahbani sama- sama menyatakan, permainan tebak gambar yang dilakukan anak- anak itu tidak bisa dikategorikan judi. Alasannya, mereka hanya bermain dan tidak menjadikan permainan itu sebagai mata pencarian.
Lagi pula, lanjut Gayus Lumbuun, dalam ilmu hukum ada pemidanaan dan pidana. Dalam menjatuhkan putusan, seharusnya majelis hakim mempertimbangkan sisi pemidanaan, yakni aspek di luar yuridis.
”Majelis telah mengabaikan dogmatika hukum. Anak-anak itu hanya butuh rehabilitasi, bukan penghukuman balas dendam seperti kepada terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah,” kata Gayus.
Introspeksi
Pada bagian lain, Nursyahbani, Rudi Satrio, dan Gayus Lumbuun meminta agar aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun pengadilan, melakukan introspeksi. Dalam arti, apakah benar mereka juga telah memberantas segala bentuk perjudian secara sungguh-sungguh dan memberikan penghukuman yang layak.
”Sudah menjadi kebiasaan kita, pada awal pencanangan program, semua bentuk judi dari besar sampai kecil diberantas. Namun, lama-lama menjadi suam- suam saja,” kata Rudi.
Adapun Nursyahbani mengingatkan, banyak terjadi pembiaran kasus perjudian dan penjudinya, apalagi bila melibatkan aparat sendiri sebagai backing.
Gayus Lumbuun menyoroti tingginya ancaman hukuman yang diberikan penegak hukum bagi anak-anak di bawah umur yang menjadi terdakwa perjudian itu.
”Masak iya ancaman hukuman bagi anak-anak itu 10 tahun penjara, tetapi dalam kasus perjudian sesungguhnya malah yang diadili hanya penjudinya. Bandar judinya mana,” katanya.
Sementara itu, Christine Tambunan dan Ricky Gunawan dari LBH Masyarakat yang menjadi penasihat hukum ke-10 anak itu menyatakan secepatnya menyerahkan memori banding. Keduanya menyoroti fakta di persidangan, seperti tiadanya barang bukti uang koin untuk permainan tebak gambar yang tak dicermati hakim. ”Menurut anak- anak, polisi meminjam uang koin dari pengojek,” kata Ricky. (TRI)
Sumber: Kompas
Jakarta, 29 Juli 2009