Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mengecam pernyataan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang secara sepihak menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan ketentuan mengenai pembatasan waktu pengajuan grasi adalah tidak berlaku surut.[i] Dengan penafsiran sepihak yang keliru ini, Pemerintah melalui Jaksa Agung, berpotensi mengulang pelanggaran hukum yang sama yang pernah dilakukan pada eksekusi mati gelombang ketiga (Juli 2016), yaitu mengeksekusi terpidana mati yang masih memiliki hak, atau tengah, mengajukan permohonan grasi. Jaksa Agung sendiri bahkan belum pernah secara resmi menjelaskan alasan yuridis dan non-yuridis yang menjadi dasar penundaan eksekusi 10 terpidana mati pada gelombang ketiga tersebut, sehingga menimbulkan tanda tanya di tengah masyarakat.[ii]
Putusan MK Nomor 107/PUU-XIII/2015 tertanggal 15 Juni 2016 menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[iii] Dengan demikian, semua terpidana, termasuk terpidana mati, yang belum mengajukan grasi masih memiliki hak untuk mengajukan grasi kapan pun tanpa dibatasi waktu. Terkait dengan dibatalkannya pembatasan waktu tersebut, Pasal 3[iv] dan Pasal 13[v] UU Grasi telah menjamin bahwa dalam hal pidana mati, permohonan grasi dapat menunda pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi).[vi]
Jaksa Agung berasumsi bahwa Putusan MK tersebut di atas tidak berlaku surut, seakan-akan terpidana mati yang putusannya sudah berkekuatan hukum tetap dan melewati jangka waktu 1 tahun sebelum Putusan MK dibacakan, sudah gugur hak mengajukan grasinya oleh karena keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi. Padahal, pernyataan ini tidak memiliki dasar yang kuat dan berpotensi melanggar hak hukum terpidana mati untuk mengajukan grasi.
Asumsi tersebut juga bertentangan dengan fakta dikabulkannya permohonan grasi Antasari Azhar. Putusan pidana Antasari Azhar telah berkekuatan hukum tetap sejak permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 21 September 2010. Sehingga, jika mengikuti logika berpikir Jaksa Agung, seharusnya hak mengajukan grasi Antasari sudah gugur pada tanggal 21 September 2011 oleh keberlakuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi.
Namun, oleh karena Putusan MK membatalkan pasal tersebut di atas, Antasari dapat mengajukan grasi kepada Presiden pada tanggal 8 Agustus 2016.[vii] Terhadap pengajuan grasi ini, Presiden bukan saja menerima permohonan grasi tersebut secara prosedural, namun juga mengabulkannya, sebagaimana termuat dalam Keputusan Presiden Nomor I/G/2017. Hal ini menunjukkan bahwa Jaksa Agung telah salah menafsirkan Putusan MK di atas. Kesalahan tersebut jika dikaitkan dengan eksekusi gelombang ketiga, tidak hanya memperlihatkan bahwa Jaksa Agung telah mengangkangi kewenangan konstitusional Presiden untuk mengabulkan permohonan grasi, tetapi juga melakukan pelanggaran hukum yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. LBH Masyarakat menilai potensi terulangnya pelanggaran hukum oleh Jaksa Agung tersebut sangat besar.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden Republik Indonesia untuk:
- Menghentikan segala bentuk persiapan eksekusi mati dalam rangka mengeliminasi kemungkinan pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum;
- Membentuk tim independen untuk melakukan investigasi terhadap indikasi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Jaksa Agung dalam eksekusi mati yang telah dilaksanakan; dan juga meninjau kembali kasus-kasus terpidana mati yang belum dieksekusi;
- Segera menjelaskan ke publik alasan yuridis dan non-yuridis penundaan eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati pada eksekusi Juli 2016 lalu;
- Mencopot Muhammad Prasetyo dari posisi Jaksa Agung dan secara cermat memilih Jaksa Agung yang berkompeten dalam bidang konstitusi, hukum, dan hak asasi manusia;
- Mematuhi dan melaksanakan Putusan MK yang membatalkan batasan waktu pengajuan grasi serta menghormati hak para terpidana mati untuk mengajukan upaya hukum;
Jakarta, 23 Februari 2017
—
Narahubung:
Ricky Gunawan
Direktur LBH Masyarakat
[i] Kejagung Tengah Persiapkan Eksekusi Mati Jilid IV, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/22/15530571/kejagung.tengah.persiapkan.eksekusi.mati.jilid.iv, diakses 22 Februari 2017.
[ii] Pasca eksekusi gelombang ketiga, Jaksa Agung, menyatakan bahwa penundaan eksekusi terhadap 10 orang terpidana mati telah melalui pertimbangan yuridis dan non-yuridis, namun sampai sekarang tidak pernah menjelaskan apa saja pertimbangan tersebut.
Lihat Eksekusi 10 terpidana mati ‘akan ditentukan kemudian,’ BBC.com, http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160728_indonesia_penangguhan_eksekusi_kejagung, diakses 22 Februari 2017.
[iii] Putusan dapat diunduh melalui http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/107_PUU-XIII_2015.pdf. Pasal tersebut sebelumnya mengatur bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
[iv] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 3, menyebutkan: “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan utusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.”
[v] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Pasal 13, menyebutkan: “bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.”
[vi] Jaksa Agung pada eksekusi gelombang ketiga telah melakukan pelanggaran hukum dengan mengeksekusi mati Humphrey Ejike, Seck Osmane, dan Freddy Budiman yang pada saat itu masih dalam proses mengajukan permohonan grasi. Terhadap pelanggaran ini LBH Masyarakat bersama Koalisi Hapus Hukuman Mati telah melaporkan Jaksa Agung ke Ombudsman dan Komisi Kejaksaan.
Lihat, misalnya, Jaksa Agung Diduga Lakukan Maladministrasi Eksekusi Mati, CNNIndonesia.com, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808161735-12-149951/jaksa-agung-diduga-lakukan-maladministrasi-eksekusi-mati/, diakses 22 Februari 2017; dan, Koalisi Masyarakat Sipil Laporkan Jaksa Agung Prasetyo ke Komisi Kejaksaan RI, Kompas.com, http://nasional.kompas.com/read/2016/08/10/14002601/koalisi.masyarakat.sipil.laporkan.jaksa.agung.prasetyo.ke.komisi.kejaksaan.ri, diakses 22 Februari 2017.
[vii] Alasan Pengacara Antasari Azhar Sambangi Setneg Hari Ini, Liputan6.com, http://news.liputan6.com/read/2660314/alasan-pengacara-antasari-azhar-sambangi-setneg-hari-ini, diakses 22 Februari 2017.
Maaf, mohon pencerahan-nya di kasus sy ini. Masalah kredit kendaraan yg terlambat 3 bln. Pihak leasing Tafs tidak mau menerima niat baik saya untuk membayar cicilan 1bln + denda terlebih dahulu. Dan pihak leasing sdh mengunakan dept collector, dan hanya menambah di beban tagihan saya. Dan saya di harus kan membayar 3bln + denda + Jasa penagihan (2,5Jt). Saya sdh ke cabang Tafs mana saja yg di suruh dept collector, dan hasilnya hanya menghabiskan waktu + menambah panjang hitungan hari keterlambatan. Mohon pencerahan nya. Terima kasih,
Agar dapat berkonsultasi dengan lebih jelas, silakan hubungi kami melalui telepon di (021)-837 897 66 atau datang langsung ke kantor kami di Tebet Timur Dalam VI E No.3, Tebet, Jakarta Selatan. Terima kasih.