Rilis Pers LBH Masyarakat terhadap Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta yang Menghukum Mati Baekhuni alias Babe

Dec 19, 2015 Siaran Pers

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) menolak vonis Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap Baekhuni alias Babe dalam kasus mutilasi. Hukuman mati adalah bentuk pelanggaran terhadap hak untuk hidup, sebagaimana dijamin dalam Konstitusi dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hak yang melekat secara inheren pada diri setiap manusia dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun juga. Kehidupan seorang manusia tidak diberikan oleh negara, dan oleh karenanya negara tidak memiliki hak apapun untuk mencabutnya. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental dari seluruh hak asasi manusia. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakukan baik, dan juga bagi manusia yang melakukan kejahatan, tanpa terkecuali.

Hukuman mati juga merupakan bentuk penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Kejam karena hukuman tersebut sampai-sampai mencabut nyawa manusia. Jika kita mengatakan pembunuhan berencana itu kejam, berarti mempersiapkan regu tembak untuk menghabisi nyawa seseorang dalam hal ini Babe adalah juga kejam.  Hukuman mati juga tidak manusiawi karena ia mengingkari hakikat kemanusiaan yakni kehidupan. Ia juga merendahkan martabat manusia karena memperlakukan manusia sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara. Melihat karakternya yang eliminatif, hukuman mati tidak dapat ditarik kembali (irrevocable). Bukan tidak mungkin nyawa tidak bersalah melayang mengingat sistem pemidanaan dijalankan oleh manusia dan menjadikannya rentan karena kesalahan.

LBH Masyarakat memandang bahwa bukanlah kekejaman hukuman yang dapat menimbulkan efek jera; melainkan adanya kepastian hukum bahwa pelaku tindak pidana pasti dihukum setelah sebelumnya melalui proses peradilan yang jujur dan transparan. Seberat apapun kejahatan yang telah dilakukan, hukuman yang dijatuhkan tidaklah boleh sampai mencabut nyawa, karena hukuman mati justru menegasikan fungsi penologis sebuah lembaga pemasyarakatan. Alternatif pidana terberat yang bisa diterapkan adalah pidana penjara seumur hidup tanpa remisi (life sentence without parole). Hukuman seumur hidup akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi pelaku untuk memperbaiki keadaan, sesuai dengan filosofi pemidanaan modern yakni restoratif bukan retributif.

LBH Masyarakat menyadari bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Babe adalah kejahatan yang kejam dan tidak dapat diterima akal sehat. Namun, atas kejahatan yang telah dilakukan oleh Babe seharusnya tidak dibalas dengan tindakan yang mencabut nyawanya. Penolakan LBH Masyarakat atas vonis hukuman mati terhadap Babe hendaknya tidak dilihat sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap keluarga korban. Penolakan terhadap hukuman mati tersebut bukanlah berarti mengesampingkan rasa kehilangan para korban yang ditinggalkan. Rasa kehilangan orang yang dicintai tentu dapat dipahami, namun, haruskah nyawa yang hilang dibalas dengan menghilangkan nyawa pelaku? Ketika kita mengutuk keras tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pelaku, mengapa kemudian kita juga melakukan hal yang sama dengan pelaku yakni membunuh?

LBH Masyarakat menilai bahwa mendorong keadilan restoratif yakni memulihkan keadaan korban dan bukannya melestarikan keadilan retributif yang didasarkan pada balas dendam jauh lebih penting. Mempromosikan hukuman mati sebagai alasan keadilan berarti mendorong kita menggunakan alasan dendam untuk memperoleh keadilan. Padahal, keadilan bukanlah berarti mengambil apa yang telah diambil oleh pelaku kejahatan. Keadilan bukan bicara mengenai melakukan hal yang sama dengan apa yang si pelaku telah lakukan terhadap korban.

 

Jakarta, 22 Desember 2010

Hormat kami,

 

Ricky Gunawan
Direktur Program

 

Contact person:
Ricky Gunawan
0812 10 677 657

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content