Rilis Pers – Presiden Jokowi, Tarik RKUHP!

Mar 29, 2018 Siaran Pers

LBH Masyarakat mengecam percepatan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan Pemerintah. Hingga saat ini, RKUHP menyisakan persoalan mendasar yakni minimnya pelibatan para pihak yang terkena dampak atas adanya rumusan pasal dalam RKUHP. Hal ini juga diperparah oleh tidak adanya basis data dalam penyusunan rumusan pasal dan penentuan jenis hukuman serta besar dan ringannya hukuman terhadap suatu perbuatan yang dikategorikan tindak pidana. Masalah-masalah ini tercermin pada:

  1. Masih hidupnya rumusan pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dihidupkannya kembali rumusan pasal ini bukan saja tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi dapat dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi;
  2. Adanya dualisme hukum yang berlaku tentang narkotika jika RKUHP diberlakukan yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU 35/2009) dan rumusan pidana narkotika dalam RKUHP itu sendiri. Dualisme regulasi ini dapat melahirkan ketidakpastian hukum dalam mengatur persoalan pengguna narkotika. Padahal dalam UU 35/2009, pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika dijamin. Hal ini disebutkan dalam tujuan dibentuknya UU 35/2009. Kendati UU 35/2009 masih keras dan dominan dalam memilih penjara sebagai jenis hukuman bagi pengguna narkotika tapi masih terdapat jaminan pengguna narkotika mendapatkan pemenuhan hak atas kesehatan melalui rehabilitasi. RKUHP akan membutuhkan banyak waktu dan anggaran untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pengguna narkotika karena perlunya dibentuk aturan turunan. Akibatnya, RKUHP malah semakin melanggengkan penjara sebagai hukuman yang harus diterima oleh pengguna narkotika. Tidak diperhatikannya soal ini menimbulkan persoalan yaitu penghuni penjara yang makin didominasi oleh pengguna narkotika. Masuknya narkotika ke RKUHP ini menunjukan tidak terencananya legislasi, baik di Pemerintah dan DPR, karena di saat yang sama ada juga rencana melakukan revisi UU 35/2009;
  3. Kriminalisasi terhadap pengguna narkotika berdampak juga terhadap laju epidemi HIV yang semakin tidak terkendali. Jauh sebelum adanya RKUHP ini, telah muncul hambatan dalam menekan penanggulangan HIV di kalangan pengguna narkotika. Kriminalisasi pengguna narkotika membuat pengguna narkotika enggan untuk mengakses layanan kesehatan, layanan jarum suntik steril misalnya, karena khawatir dirinya ditangkap karena sekedar membawa jarum suntik. Meski saat ini tren penggunaan narkotika beralih dari heroin ke sabu (metamfetamina), masih ditemukan kasus di mana sabu disuntikan serta meningkatnya hubungan seks berisiko yang memiliki keterkaitan dengan penggunaan sabu;
  4. Pasal lain dari RKUHP yang bermasalah yaitu pelarangan demontrasi alat kontrasepsi. Pelarangan ini merupakan bentuk kemunduran karena secara historis pelarangan demontrasi alat konstrasepsi sudah dicabut. Selain itu, pelarangan ini seakan menempatkan penekanan epidemi HIV yang menjadi tujuan Kementerian Kesehatan tidak diperhatikan. Di luar negeri, Indonesia aktif mempromosikan Sustainable Development Goals (SDGs) yang di dalamnya termaktub program penanggulangan HIV. Maka mengkriminalisasi demonstrasi kondom jelas tidak selaras dengan program Kementerian Kesehatan dan juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas);
  5. Terkait pasal-pasal kesusilaan, Mahkamah Konstitusi juga telah menolak perluasan delik zina dan hubungan seksual konsensual di luar pernikahan. Artinya, tidak ada legitimasi hukum untuk memasukan kembali delik-delik tersebut ke dalam RKUHP. Dirumuskannya delik-delik ini dapat mengkriminalisasi banyak pihak, termasuk orang-orang yang berada di dalam perkawinan yang tidak dicatat karena dianggap zina. Padahal persoalan administrasi perkawinan masih banyak ditemukan, terutama terjadi di masyarakat adat. Melarangan hubungan seksual konsensual di luar pernikahan juga merupakan bentuk overkriminalisasi. Hal ini amat mengkhawatirkan karena infrastruktur peradilan nampak tidak siap untuk menghentikan masifnya persekusi, stigma dan diskriminasi. Potensi buruk ini harusnya bisa diantisipasi oleh pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi main hakim sendiri di tengah masyarakat.

Mengingat hal-hal di atas, LBH Masyarakat meminta pada Presiden Joko Widodo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menarik RKUHP dari Parlemen untuk dibahas lebih mendalam lagi. Hukum pidana adalah sistem yang dibangung untuk melindungi publik. Rancangan yang beredar saat ini justru sebaliknya, ia mengancam demokrasi, privasi, juga kesehatan publik. Presiden Joko Widodo punya wewenang yang cukup untuk melakukan ini. Presiden sudah sepatutnya jadi pahlawan bagi rakyat dan kali ini Presiden Joko Widodo punya panggung yang tepat untuk itu: #TarikRKUHPNgawur.

 

Jakarta, 28 Maret 2018

Afif Abdul Qoyim (Koordinator Advokasi Kasus LBH Masyarakat)

 

 

Rilis ini telah kami sampaikan dalam acara “Konferensi Pers: Semrawut RKUHP” yang dilaksanakan di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, pada Rabu, 28 Maret 2018. Lembaga-lembaga yang menjadi pembicara pada acara tersebut adalah LBH Masyarakat, PKBI, JATAM, ICW, dan PKNI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content