Rilis Pers – Segera Hentikan Kebijakan Tembak di Tempat untuk Kasus Narkotika!

Mar 6, 2018 Siaran Pers

LBH Masyarakat mendesak keras Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan pendekatan tembak di tempat untuk penanganan kasus narkotika. Pemantauan yang LBH Masyarakat lakukan melalui media daring menunjukan bahwa setidaknya ada 215 insiden penembakan dalam penegakan hukum narkotika sepanjang 2017. Dari 215 kasus tersebut, 116 orang luka-luka dan 99 lainnya meninggal dunia.

Hal ini bukanlah sesuatu yang patut diremehkan mengingat pembunuhan ekstra-yudisial merupakan sesuatu yang amat disorot saat ini dalam skala global. Sejak Presiden Rodrigo Duterte menerapkan operasi tok hang di Filipina dan telah mengambil puluhan ribu nyawa, telah muncul beberapa peringatan bahwa fenomena seperti ini akan rawan menciptakan copycat atau peniru. Indonesia nampaknya, meski belum sedemikian parah, sedang meniru pendekatan yang dilakukan oleh Filipina.

Pemimpin-pemimpin negara ini: Presiden Joko Widodo, Kapolri Tito Karnavian, dan Mantan Kepala BNN Budi Waseso pernah memberikan komentar yang seakan mendukung situasi ini juga. Meski hanya dalam taraf komentar, hal ini dapat diinterpretasi oleh penegak hukum sebagai sebuah perintah, atau setidaknya ” lampu hijau” , untuk menggunakan pendekatan yang lebih keras dan keluar dari rel prosedur saat melaksanaan tugas di lapangan. Dalam skala nasional, tidak ada bulan tanpa insiden kematian dalam penegakan hukum narkotika. Paling rendah ada di November 2017 dengan 4 kematian dan paling tinggi ada pada Agustus dengan catatan 13 kematian.

Diperlukan adanya pemantauan khusus pada Polda dan BNNP daerah-daerah tertentu yang memiliki catatan masif dalam persoalan kematian dalam penegakan hukum narkotika ini. Daerah-daerah tersebut antara lain: Sumatera Utara (30 kematian), DKI Jakarta (22 kematian), Lampung (11 kematian), Jawa Timur (8 kematian), dan Kalimantan Barat (7 kematian).

Ada beberapa alasan mengapa praktik tembak di tempat seperti ini harus dihentikan:

  1. Tembak mati di tempat tidak menolong situasi supply reduction Indonesia. Hal ini disebabkan karena terputusnya rantai informasi yang penting mengenai mafia peredaran gelap yang lebih besar.
  2. Tembak mati di tempat menjadi alasan penting tidak stabilnya pemerintahan, seperti Presiden Rodrigo Duterte di Filipina saat ini. Presiden Joko Widodo tidak perlu mengalami lebih banyak lagi kritik internasional untuk persoalan HAM dan narkotika. Daripada merepotkan rekan-rekan Kementerian Luar Negeri lebih jauh untuk melegitimasi kinerja pemerintah di mata internasional, lebih baik praktik ini dihentikan.
  3. Kebijakan ini tidak efektif. Sebuah hal yang jelas terlihat dari laporan BNN dari tahun ke tahun yang justru memperlihatkan angka kejahatan narkotika terus meningkat. Ini menunjukkan ada masalah lain yang lebih mendasar yang tidak pernah pemerintah sasar dan selesaikan.
  4. Kebijakan ini rawan menimbulkan insiden salah tembak. Meski kebijakan tembak di tempat ini seakan ditujukan untuk pengedar gelap narkotika, perlu diingat bahwa pemakai narkotika masih dipidana di Indonesia. Di saat angka pemakai narkotika bisa menyentuh 10 juta orang dan amat wajar seorang pemakai narkotika bertemu dengan pengedar gelap narkotika untuk membeli narkotika, kita bisa saja melihat Jakarta menjadi Manila apabila kebijakan ini tidak dihentikan.
  5. Hal ini juga berpotensi memancing pertempuran terbuka antara pemerintah dengan mafia peredaran gelap – sebuah hal yang nampaknya tidak perlu kita impor dari Amerika Latin ke negara ini. Hal semacam ini terbukti hanya menimbulkan dan mereproduksi lingkaran kekerasan, penderitaan dan dendam tanpa henti dari generasi ke generasi yang sulit untuk dipulihkan. Pada konteks ini, warga sipil yang tidak tahu apa-apa akan jadi pihak pertama yang jadi korban – semata karena ada di tempat dan waktu yang salah.
  6. Tensi keamanan yang meningkat juga akan meningkatkan harga narkotika ilegal. Hal ini akan mengeksploitasi rekan-rekan pemakai narkotika secara ekonomi. Situasi ini akan mendorong rekan-rekan pemakai narkotika untuk membeli dan mengonsumsi narkotika yang lebih murah namun dengan kualitas lebih rendah. Hal ini akan berdampak pada situasi kesehatan, termasuk meningkatnya angka kematian (termasuk overdosis) pemakai narkotika – sesuatu yang justru menjadi alasan Pemerintah memulai narasi perang ini.
  7. Tembak mati di tempat juga adalah pelanggaran HAM terang-terangan terutama untuk aspek hak untuk hidup dan hak atas peradilan yang jujur dan adil. Bagaimana pun kesalahan seseorang, ia harus dihadapkan dengan pengadilan agar ada ruang baginya untuk membela diri. Penegakan hukum dilakukan oleh manusia dan manusia kerap keliru dalam memutuskan segala sesuatu.
  8. Tembak mati di tempat jelas adalah pengkhianatan terhadap Konstitusi yang secara gamblang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rule of law). Negara hukum yang baik memiliki prosedur dalam penegakan hukum dan penegak hukumnya juga dengan baik mematuhi prosedur itu. Maka pertanyaannya: Indonesia ini sebenarnya negara hukum yang seperti apa?
  9. Lebih dari itu, kebijakan tembak di tempat ini dilakukan dalam konteks narkotika –  sesuatu yang dianggap sebagai musuh negara. Jika ” musuh negara” menjadi justifikasi bagi penegak hukum diperbolehkan untuk melanggar prosedur, hal ini ke depan akan mengancam demokrasi kita. Ideologi, pilihan politik, serta perspektif yang berbeda mungkin bisa jadi alasan di kemudian hari bagi penegak hukum melancarkan kebijakan tembak di tempat. Potensi yang sungguh berbahaya mengingat 2019 yang sensitif.

 

Sehubungan dengan uraian di atas, dengan ini LBH Masyarakat hendak menyampaikan beberapa tuntutan:

  1. Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Polri dan BNN untuk segera menghentikan praktik tembak mati di tempat;
  2. Meminta Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, juga Komisi III DPR RI untuk memanggil dan memeriksa Pemerintah terutama elemen penegak hukum yang terlibat dalam kebijakan ini untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya;
  3. Mendesak Polri dan BNN untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang akuntabel dan terbuka bagi publik terhadap insiden-insiden kematian untuk menghindari terjadinya abuse of power; dan
  4. Mendorong Polri dan BNN untuk melakukan investasi pada teknologi. Misalnya, dengan mencoba teknologi body camera di Polres atau BNNK tertentu. Selain meningkatkan akuntabilitas, hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada penegak hukum.

 

Semoga pada akhirnya Indonesia akan menemukan nalar dan hatinya dalam membentuk kebijakan narkotika yang humanis, efektif, dan berbasis bukti.

 

 

Jakarta, 5 Maret 2018

Ajeng Larasati (Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat)

 

Rilis pers ini dibuat untuk konferensi pers mengenai “Tembak di Tempat Kasus Narkotika: Hentikan Sekarang Juga ” yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat di kantor LBH Masyarakat pada 5 Maret 2018. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Ma\’ruf Bajammal (Pengacara Publik LBH Masyarakat), Ajeng Larasati (Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat), Bramantya Basuki (Peneliti Amnesty International Indonesia), dan Arief Nur Fikri (Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content