Terdakwa tindak pidana korupsi dalam perkara ASABRI dituntut dengan pidana mati oleh Kejaksaan Agung. Ia diduga menikmati hasil kejahatan sebesar Rp 12,6 triliun dari total kerugian keuangan negara sebanyak Rp 22,7 triliun. Dari segi jumlah korupsi, perkara ini memang terbilang cukup besar, namun permasalahannya: apakah hukuman mati efektif untuk memberikan efek jera kepada pelaku?
Penerapan tuntutan pidana mati dalam perkara korupsi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Jauh sebelum ini, tepatnya pada tahun 2006, Korps Adhyaksa juga pernah menuntut mati terdakwa pembobol Bank BNI, Dicky Iskandar Dinata. Saat itu, majelis hakim menolak tuntutan tersebut dengan alasan pasal yang digunakan jaksa penuntut umum tidak ada dalam dakwaan. Sebab, secara hukum, majelis hakim bukan berpegang pada tuntutan, akan tetapi pasal-pasal yang tertera dalam surat dakwaan.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam perkara ini sangat terlihat masih berorientasi pada pelaku semata. Padahal, esensi pemidanaan modern harus turut mempertimbangkan keadilan bagi korban kejahatan. Maka dari itu, tuntutan pidana mati ini menihilkan kerugian korban untuk mendapatkan pemulihan, baik melalui mekanisme ganti rugi atau pengembalian uang atas perkara korupsi di ASABRI.
Skema pemulihan kerugian korban sangat panjang, berliku dan banyak hambatan. Hal ini bisa dipengaruhi karena minimnya regulasi, rendahnya kapasitas aparat penegak hukum, dan skema pengembalian aset yang juga tidak transparan. Di tengah sengkarut dan ketidakmampuan untuk memaksimalkan upaya restorative jutice / pemulihan korban, Kejaksaan justru menyuguhkan tuntutan pidana mati dalam perkara ASABRI sebagai pencapaian agenda pemberantasan korupsi yang diklaim berpihak pada korban. Faktanya, korban tindak pidana korupsi hanya dijadikan bantalan dalam melegitimasi tuntutan pidana mati yang belum tentu dapat menimbulkan efek jera kepada pelaku dan tidak berperspektif pada pemulihan korban.
Sudah sepatutnya Kejaksaan Agung memaksimalkan upaya pemulihan dalam bentuk pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi. Sebab, jika dilihat dari data tren vonis korupsi yang dilansir oleh ICW, pada tahun 2020 Kejaksaan menyidangkan perkara korupsi dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 56,7 triliun, akan tetapi uang pengganti yang dikabulkan oleh majelis hakim hanya berkisar Rp 19,6 triliun. Dengan sederhana masyarakat dapat memahami bahwa pemulihan kerugian keuangan negara belum tuntas dikerjakan oleh Kejaksaan Agung.
Atas uraian di atas, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak agar:
- Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memeriksa dan mengadili kasus ASABRI, menolak tuntutan pidana mati yang diajukan tim Kejaksaan dan memberikan vonis maksimal seumur hidup kepada terdakwa;
- Kejaksaan Agung memaksimalkan upaya perampasan aset dari perkara tindak pidana korupsi ASABRI;
- Kejaksaan Agung melakukan pemulihan terhadap korban tindak pidana korupsi dalam perkara ASABRI.
RIlis pers bersama LBHM & ICW