Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

Nov 28, 2024 Siaran Pers

*Brutalitas Polisi Terus Makan Korban, Dari Warga hingga Pelajar SMK Ditembak Mati, Polri Harus Segera Direformasi!*

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) mengutuk keras kasus tembak mati (extrajudicial killing) yang melibatkan aparat kepolisian di sejumlah wilayah dalam beberapa hari terakhir. Minggu, 24 November 2024, anggota kepolisian Polres Semarang menembak mati seorang anak, Gamma Rizkynata Oktafandy (16), pelajar SMKN 4 Semarang yang juga melukai salah seorang rekannya. Di hari yang sama, warga Desa Tunggang, Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka, Beni (45) meninggal akibat tembakan anggota Brimob Polda Bangka Belitung setelah dituduh mencuri buah sawit di area perkebunan PT. BPL.

Padahal beberapa hari sebelumnya (Jumat, 22/11/2024), telah ramai diberitakan peristiwa polisi tembak polisi berujung kematian, yang dilakukan Kabag Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar terhadap Kasat Reskrim Polres Solok Selatan, AKP Ryanto Ulil Anshar. Kejadian ini juga dikabarkan terkait dengan praktik beking tambang ilegal yang melibatkan aparat kepolisian.

Koalisi mendesak Kapolri dan Kompolnas untuk menindak tegas para pelaku,  mengusut tuntas kasus ini serta memastikan tidak ada yang ditutup-tutupi. Presiden dan DPR RI juga tidak boleh tutup mata dan harus segera bertindak. Evaluasi menyeluruh terhadap kepolisian mesti dilakukan agar korban tidak terus berjatuhan.

Di kasus kematian Gamma, Kapolrestabes Semarang memunculkan versi berbeda.  Penembakan merupakan bagian dari penanganan tawuran dan meminta masyarakat memahami tindakan kepolisian tersebut. Polisi menyebut bahwa korban merupakan anggota geng Tanggul Pojok yang sedang melakukan tawuran di Semarang Barat.

Tuduhan Polisi ini dibantah oleh kesaksian keluarga, guru, teman, warga sekitar dan Satpam perumahan tempat kejadian. Informasi media seperti Tempo dan Tribunjateng dan media lain menyebutkan bahwa menurut keluarga, guru dan teman korban. Korban adalah murid baik dan berprestasi dan tergabung dalam paskibraka, sehingga tidak mungkin melakukan tawuran. Selain itu, Satpam dan warga sekitar juga mengatakan bahwa hari itu tidak ada tawuran di daerah tersebut. Kejanggalan pun muncul, CCTV di sekitar kejadian mendadak “hilang” disita Polisi. Pola yang relatif mirip di kasus “Sambo”, Alm. Afif Maulana, KM 50, dan lainnya.

Koalisi RFP menilai tuduhan Polisi kepada korban adalah upaya institusi kepolisian untuk menutupi kasus dan menjaga citranya yang terus tercoreng. Koalisi mencatat pola yang serupa, dalam berbagai kasus. Muncul stigma buruk yang ditujukan kepada korban penembakan polisi untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Belajar dari kasus Ferdy Sambo, mulanya polisi menyatakan bahwa penembakan diawali oleh Brigadir Josua menembak Fredy Sambo, namun dalam investigasi ternyata sebaliknya. Respon kepolisian dengan pola pembelaan ini menutup ruang investigasi dan menghambat penegakan hukum, di tengah rendahnya komitmen polisi dalam memproses penegakan hukum terhadap polisi yang melakukan penembakan.

Koalisi RFP memandang kasus penembakan yang berujung kematian ini menunjukan masih kuatnya arogansi, brutalitas, watak militeristik, dan kesewenang-wenangan anggota Polri terhadap masyarakat, bahkan terhadap korban yang masih berstatus anak. Alih-alih menjalankan tugas dan fungsinya untuk mengayomi dan melindungi masyarakat, kasus ini justru kian memperkuat potret kegagalan sistemik institusi kepolisian yang kian menempati posisi sebagai aktor pemegang monopoli kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Pasal 6 ayat (1) ICCPR yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menjamin “Setiap manusia memiliki hak untuk hidup.” Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun diperbolehkan untuk secara sewenang-wenang”. Sebagai ketentuan fundamental, hak ini kemudian ditegaskan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Sehingga, penembakan secara langsung atau penembakan atas dasar untuk mendapatkan pengakuan hingga berujung kematian merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius. Tidak terkecuali terhadap pelanggaran atas asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) yang menjadi prinsip utama dalam sistem peradilan dan Negara Hukum.

Di kasus Gamma di Semarang, kepolisian harus mengusut secara cepat dan tuntas sebagaimana diatur Pasal 59A Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Atas sederet tragedi penembakan berujung kematian tersebut, para pelaku harus diperiksa secara mendalam dan sungguh-sungguh terkait adanya pelanggaran sejumlah ketentuan seperti Perkap Nomor 1 Tahun 2022 tentang mekanisme Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, termasuk Prinsip-Prinsip Dasar PBB Tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (BPUFF) dan Kode Etik Aparat Penegak Hukum (CCLEO).

Namun tidak cukup melakukan pemeriksaan dan menghukum berat pelaku, kejadian ini harus dipandang sebagai kegagalan reformasi kepolisian yang menyebabkan kultur brutalitas yang masih terus mengakar di institusi Polri, tidak terkecuali untuk kembali mengevaluasi relevansi penggunaan senjata api di kepolisian yang notabene bertugas melakukan penegakan hukum dan menjaga keamanan dalam negeri yang kerap berhadapan dengan warga negara sendiri.

Mengacu data yang dihimpun KontraS dalam rentang 2020 – 2024 praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020 – Juni 2021 setidaknya telah terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

YLBHI mencatat sepanjang 2019 terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI menghimpun setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Koalisi RFP mendesak agar:

  1. Kapolri segera memerintahkan jajarannya untuk melakukan penegakan hukum secara objektif dan profesional dengan mengusut tuntas dugaan pembunuhan dan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polres Semarang tersebut, serta memastikan akuntabilitas dan penghukuman tegas bagi pelaku ;
  2. Kapolri melakukan evaluasi ketat terhadap penggunaan senjata api di lingkungan kepolisian, bahkan perlu meniadakan penggunaan senjata api di institusi kepolisian, dengan mengganti dengan penggunaan senjata yang tidak mematikan, karena hanya akan menimbulkan korban-korban nyawa warga negara di kemudian hari;
  3. Kapolri segera memberhentikan polisi terduga pelaku penembakan dan pembunuhan tersebut;
  4. Presiden dan DPR RI segera menindaklanjuti seluruh persoalan yang menyangkut Polri belakangan ini dengan menjalankan agenda konkret reformasi kepolisian berkelanjutan secara struktural, instrumental, dan kultural demi memastikan polisi dan pemolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel;
  5. Kompolnas untuk menjalankan peran pengawasannya secara efektif dan memastikan agenda reformasi kepolisian dapat sepenuhnya dijalankan;
  6. Komnas HAM agar melakukan pemantauan, penyelidikan, dan melakukan audit institusi Polri terhadap kewenangan polisi menggunakan senjata api;
  7. Ombudsman, LPSK, dan KPAI dan lembaga terkait lainnya untuk aktif memantau dan memastikan proses hukum berjalan secara objektif, transparan, dan profesional;
  8. Mendesak DPR RI, khususnya Komisi III untuk segera memanggil Kapolri pada rapat kerja untuk memberikan pertanggungjawaban atas seluruh kejadian tembak mati, khususnya yang terjadi di Semarang, Bangka Belitung, dan Solok Selatan serta memastikan Reformasi Polri untuk menjamin ketidakberulangan tindak kekerasan yang dilakukan jajaran kepolisian.

 

Jakarta, 26 November 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian

Arif (+62 817-256-167)

Paul (+62 822-9790-8465)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Skip to content