Dampak keluarnya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus lumpur Lapindo dari Kepolisian Daerah Jawa Timur, kini mulai terindikasi penghindaran ganti rugi dari PT. Minarak Lapindo Brantas.
“Ini terjadi di lapangan, Minarak menunda pembayaran karena alasan keluar SP3,” ungkap Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maemunah dalam konferensi pers di kantor Wahanan Lingkungan HIdup (Walhi) Jakarta, Kamis (13/8)
Surat tersebut, kata Maemunah, ditengarai menjadi alat Minarak untuk menuntaskan pembayaran ganti rugi. Masalahnya, keluarnya surat putusan penghentian, tidak diikuti dengan kewajiban penuntasan ganti rugi oleh Minarak Lapindo.
Ketua Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengendus itikad buruk Minarak Lapindo ini sejak awal. “Tidak ada surat putusan saja seret, apalagi ada putusan yang mendukung mereka,” ucapnya dalam kesempatan yang sama
Presiden Komunikasi dan Sosial Lapindo Brantas Yuniwati Terryana menyebutkan, sudah ada 11.120 berkas dari 12.886 berkas yang sudah diproses, untuk pembayaran yang 20 persen. “Bahkan 3.400-nya sudah lunas, begitu pula dengan yang pembayaran 80 persen tetap dilakukan, meskipun dengan cara bertahap,” kata Yuniwati, Jumat
(7/8)
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Berry Nahdian Furqon mengkhawatirkan putusan ini jadi preseden buruk bagi kasus lingkungan hidup yang bersifat masif. “Terutama menyangkut korporasi yang bergerak di industri ekstraktif,” imbuhnya
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Taufik Basari menduga kepolisian Jawa timur berencana mencegah proses pidana dilanjutkan. “Polisi dan kejaksaan disetir oleh pemilik modal,” imbuhnya. Indikasi ini terlihat dari alasan penghentian yang mengada-ada seperti kurangnya saksi, ahli dan bukti. Padahal pihaknya sudah menawarkan penyedian kelengkapan tersebut, termasuk ahli independen dari luar negeri. “Tapi polisi tak melirik sedikit pun, tawaran kami,” ucapnya.
Ditulis oleh: Dianing Sari
Sumber: Tempo Interaktif
Jakarta, 13 Agustus 1009