James, Telanlah Omong Kosong Wajib Lapor!
“Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa tersebut selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan karena Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika).”
Lantang Penuntut Umum membacakan tuntutannya pada James – bukan nama sebenarnya – yang didakwa atas perbuatan menggunakan 0,135 gram sabu-sabu.
Pada September 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai menyidangkan kasus James. Mudahnya seseorang terjerat kasus narkotika membuat fase pembuktian pada perkara narkotika seakan tidak penting. Majelis Hakim dan Penuntut Umum kerap tidak mempertimbangkan motif pun situasi seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. James tahu betul kalau mengonsumsi narkotika dapat membuatnya berurusan dengan aparat penegak hukum – sebuah implikasi yang mestinya tidak perlu ada. James pasti punya alasan dan latar belakang yang membuat bayang-bayang berurusan dengan aparat penegak hukum dapat ia kesampingkan sementara.
Berangkat.
Cerita ini berawal pada Juli 2017. James memperoleh sabu dari seorang teman untuk dikonsumsi sendiri. Setelah serah terima, James pulang ke rumah untuk segera memakainya. Setelah merasa cukup, James memutuskan untuk berjalan-jalan dengan sepeda motor.
James kemudian, secara brutal, dihentikan oleh 3 orang anggota polisi dari Polsek Mampang. Ketika itu, James sedang membawa tas yang berisi sisa sabu yang habis ia pakai. Proses penangkapan yang mengandung tindak kekerasan dari aparat penegak hukum tersebut pun harus disaksikan oleh putra James – sebuah hal yang semestinya dihindari penegak hukum karena menciptakan trauma bagi anak.
Setelah ditangkap, James langsung dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Di sana, James menjelaskan bahwa dirinya membutuhkan sabu agar terasa segar dan semangat untuk bekerja. James adalah seorang driver ojek online yang kerap bekerja seharian untuk mencari penumpang. James juga mengatakan bahwa badannya akan lemas jika ia tidak mengonsumsi sabu.
James juga menjelaskan bahwa, sejak tengah 2011, ia adalah seorang pengguna aktif heroin (putaw). Dari akhir 2011 hingga saat itu, James pun sedang menjalani terapi rumatan metadon[1] di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. James juga menunjukan adanya kartu Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)[2] atas nama dirinya.
Keterangan-keterangan ini menunjukan bahwa James adalah seseorang yang produktif. Ia seharusnya diberikan intervensi kesehatan agar dapat terus berkontribusi pada masyarakat. Negara semestinya tidak memisahkan James dari sang putra yang masih membutuhkannya. Namun, proses peradilan bagi James nampaknya tidak mempertimbangkan hal ini.
Tak sampai 90 hari dari penangkapan, James pun menempati kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seperti umumnya kasus narkotika, saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum ialah saksi dari penyidik – dua orang dari Polsek Mampang. Kedua saksi ini menjelaskan bahwa James memperoleh narkotika jenis sabu tersebut dari seorang teman untuk digunakan sendiri. Selanjutnya, saksi juga menjelaskan bahwa dalam proses penangkapan juga ditemukan barang bukti selain sabu yaitu bong (alat hisap sabu). Saksi pun menerangkan bahwa James betul mengonsumsi sabu yang ia miliki dengan bong yang ditemukan.
Seminggu setelah penangkapan, James dibawa ke Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Jakarta Selatan guna dilakukan asesmen.[3] Fakta medis dari hasil asesmen tersebut menyatakan bahwa James adalah seorang pengguna narkotika multiple (sabu dengan pola penggunaan rekreasional dan ketergantungan opioid dalam Program Terapi Rumatan Metadon). Selain itu, dalam fakta hukum menyatakan bahwa James tidak ada indikasi keterlibatan dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Dari hal-hal di atas, tim asesmen di BNN Kota Jakarta Selatan menyimpulkan bahwa James dapat memperoleh pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi.
Sangat disayangkan di awal bulan November, 2107, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada James berupa penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan karena terbukti menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Pidana 1 (satu) tahun yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penutut Umum diterima oleh James. James mungkin merasa putusan ini tidak adil bagi seorang pecandu dan pengguna seperti dirinya, namun buramnya hukum di Indonesia membuatnya untuk tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya.
Berputar.
Pemenjaraan, sayangnya, masih dikedepankan bagi pengguna narkotika. Konsekuensi dari pemenjaraan bagi para pecandu dan pengguna narkotika adalah overcapacity di tiap-tiap Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia.[4]
Belum lagi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah dalam konteks perang terhadap narkotika, seperti hukuman mati dan tembak di tempat. Semua ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa ada puluhan orang mati setiap hari karena narkotika dan juga data yang menyebutkan bahwa narkotika telah memakan 15 ribu korban jiwa[5] – data-data yang ternyata punya banyak kelemahan mendasar.[6] Pun bila memang dampak narkotika sebesar itu – negara semestinya melakukan intervensi kesehatan untuk menghentikan kematian-kematian tersebut, bukannya melampiaskan dendam melalui tembak mati ataupun hukuman mati.
Jika mau berpikir liar, coba kita bandingkan dengan bagaimana negara mengintervensi fenomena kesehatan lainnya. Berdasarkan data WHO, penyakit pembunuh nomor 1 di dunia adalah penyakit Kardiovaskular. Penyakit tersebut berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah dan biasa disebut sebagai serangan jantung. Penyakit ini telah mengambil nyawa lebih dari 17 juta manusia di dunia. Di Indonesia sendiri, penyakit ini menjadi penyebab dari 26,4 persen kematian.[7] Secara umum, penyakit ini diakibatkan tekanan darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi, rokok, dan konsumsi alkohol secara berlebihan.
Makanan, minuman, dan produk lain yang menyebabkan penyakit kardiovaskular di atas dapat diperoleh dengan bebas di negara ini. Diabetes, misalnya, juga disebabkan oleh pola makan dengan kadar gula yang tinggi. Nasi, yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia, adalah makanan dengan kadar gula yang tinggi. Lalu, haruskah mengonsumsi nasi menjadi sebuah tindak pidana?
Perlukah ada slogan “perang terhadap nasi” atau “stop nasi”? Haruskah ada tembak di tempat atau hukuman mati bagi mereka yang memasukkan nasi ke dalam Indonesia? Apa mereka yang memiliki sawah harus ikut bertanggung jawab? Bagaimana dengan para petani? Haruskah kita penjarakan rekan-rekan kita di warung nasi terdekat? Juga mereka yang menjual beras literan di toko sebelah? Ketika banyak orang yang selalu membutuhkan nasi untuk merasa kenyang, haruskah mereka juga kita hukum dan penjarakan?
Mungkin, negara justru harus mulai bicara jujur tentang nasi dan beras: membuat beras bisa diakses di seluruh wilayah sesuai kebutuhan, memastikan ketersediaan beras dengan baik secara nasional, membicarakan potensi buruk dalam jangka panjang yang mungkin muncul jika mengonsumsi nasi dalam skala besar dan jangka panjang, serta menawarkan upaya-upaya untuk mengurangi risiko tersebut. Edukasi, bukan diskriminasi. Dukungan, bukan penghukuman.
Berharap.
James sudah mengikuti program IPWL. BNNK Jakarta Selatan juga merekomendasikan agar ia direhabilitasi. Semua itu ternyata tiada arti dihadapan Majelis Hakim – cermin gagalnya kebijakan narkotika Indonesia.
Di saat Indonesia masih berjuang menemukan nalarnya dalam merumuskan kebijakan narkotikanya, James saat ini menanggung sepi dalam penjara. Ia direnggut dari pekerjaannya. Ia diambil dari keluarganya. Semua karena kebijakan yang dibangun dengan suasana hati, bukannya dengan bukti. Butuh pembelajaran, riset dan analisa yang tepat untuk memastikan berbagai aspek teratur dan harmonis, bukannya berlandas pada pandangan moral atau ketidaksukaan belaka.
Semoga jatah air dalam penjara dapat menggantikan metadon James untuk sementara. Semoga negara pada akhirnya memenuhi hak atas kesehatan pengguna narkotika. Dan, semoga Indonesia lekas menyadari bahwa #PenjaraBukanSolusi.
Penulis: Yosua Octavian
Editor: Yohan Misero
[1] Terapi rumatan metadon ialah terapi yang diberikan pada orang yang memiliki masalah adiksi dengan heroin, terutama dengan penggunaan dengan cara suntik. Metadon dikonsumsi secara oral sehingga mengurangi dampak buruk yang mungkin muncul, seperti penyebaran HIV, Hepatitis C, maupun kerusakan pada pembuluh darah. Metadon diberikan pada dosis besar terlebih dahulu dan perlahan-lahan diturunkan hingga klien siap untuk selesai dengan terapinya.
[2] Wajib lapor adalah sebuah sistem yang dibangun oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 55 (2) UU Narkotika menyatakan bahwa orang yang memiliki masalah adiksi harus melaporkan dirinya pada negara. Lembaga yang menerima warga negara melakukan wajib lapor ini disebut Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Pemenuhan Pasal 55 ini kemudian menjadi hal yang penting bagi Majelis Hakim untuk memutus rehabiltasi berdasarkan Pasal 127 (2) UU Narkotika. Sistem ini memaksa warga negara untuk wajib melakukan rehabilitasi (mandatory) bukannya berdasarkan kesukarelaan (voluntary) – sebuah hal yang lama menjadi kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil.
[3] Mengingat masifnya kriminalisasi pada pengguna narkotika – pada tahun 2017, 7 Kementerian/Lembaga (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, dan Kementeran Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama. Pada peraturan tersebut diatur sebuah sistem yang disebut tim asesmen terpadu. Tim ini akan menilai situasi adiksi seseorang dan keterlibatannya peredaran narkotika. Hasilnya kemudian diberikan pada penegak hukum dengan harapan untuk mengurangi pemenjaraan pada pengguna narkotika.
[4] Kompas.com, “Kapasitas Lapas Berlebih, Pengguna Narkoba Disarankan Tak Masuk Bui”, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/23/13145881/kapasitas.lapas.berlebih.pengguna.narkoba.disarankan.tak.masuk.bui
[5] Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat Internasional, 26 Juni 2016. 26 Juni sering sekali dimaknai sebagai Hari Anti Narkoba Internasional, yang mana merupakan translasi yang salah kaprah. Lihat: Rappler.com, “Jokowi: 15 Ribu Anak Muda Mati Karena Narkoba, Berapa Pengedar yang Mati?”, https://www.rappler.com/indonesia/berita/154689-jokowi-15-ribu-muda-mati-narkoba
[6] Irwanto, et. al., “Evidence-informed Response to Illicit Drugs in Indonesia”, The Lancet Journal Volume 385 (2015) hal. 2249-2250, http://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-6736(15)61058-3.pdf
[7] Tirto.id, “Penyakit Kardiovaskular, Pembunuh Nomor Satu”, https://tirto.id/penyakit-kardiovaskular-pembunuh-nomor-satu-ckvS