Bebaskan Mary Jane Veloso, Merry Utami dan Tutik Dari Hukuman Mati, Selamatkan WNI dari Hukuman Mati
Marry Jane Veloso (MJV) adalah seorang Pekerja Migran asal Filipina, seorang ibu dari dua
anak. MJV berasal dari keluarga miskin untuk menghidupi keluarganya dia bekerja di Dubai,
namun dia menerima percobaan pemerkosaan oleh majikannya kemudian MJV pulang. Pada
18 April 2010 MJV ditawari oleh tetangganya Cristina Serio bekerja sebagai pekerja rumah
tangga di Malaysia. MJV membayar 20.000 Peso untuk biaya keberangkatannya. Pada
tanggal 22 April 2010, MJV berangkat bersama Cristina Serio ke Malaysia. Selama 3 hari
tinggal di Malaysia, MJV dibelikan baju dan berbagai barang. Setelah itu Cristina Serio
menyampaikan pekerjaanya di Malaysia susah tidak tersedia dan berjanji akan mencarikan
pekerjaan dan meminta MJV menunggu di Indonesia.
Pada 25 April 2010, Cristina Serio meminta MJV mengemas barangnya dan dia diberi koper
kosong dan sejumlah uang. Setibanya di Bandara Yogyakarta di Indonesia, MJV ditangkap
karena di bagian lapisan dalam koper yang diberikan Cristina terdapat heroin seberat 2,6
kilogram. Pada 11 Oktober 2010, Mary Jane dijatuhi hukuman mati di Pengadilan Negeri
Sleman. MJV baru mendapat pengacara dari Pemerintah Filipina setelah dia divonis hukuman
mati. Berbagai upaya mulai dari banding, kasasi, grasi dan PK sudah dilakukan namun semua
ditolak. Pada 29 April 2015, MJV masuk daftar terpidana mati yang akan dieksekusi mati dan
menghuni sel isolasi di Lapas di Nusakambangan. Tapi menjelang eksekusi mati, MJV
diberikan penangguhan eksekusi mati. Penangguhan ini meskipun tidak jelas sampai kapan
tapi diberikan atas desakan dan aksi di berbagai negara dan di Indonesia bahwa MJV adalah
korban dan dibuktikan dengan Cristina Serio sekarang diputus seumur hidup atas kasus
perekrutan illegal. Sementara sidang kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) masih
berlangsung di Filipina dan MJV diputuskan memberikan kesaksian sejak 2019. Namun
sampai saat ini MJV masih belum diberi kepastian kapan akan diminta kesaksiannya.
Kasus yang serupa juga dialami oleh pekerja migran Indonesia yang bernama Tutik. Dia
dijanjikan akan dipekerjakan di pabrik elektronik dengan gaji yang lebih besar. Ketika dia
masih bekerja di Malaysia. Kemudian Tutik pulang untuk kepengurusan kerjanya di Malaysia
seperti yang dijanjikan, namun setelah sampai di Malaysia Tutik dipaksa menjadi kurir
narkoba dengan dipaksa menelan sejumlah pil kedalam tubuhnya. Tutik dikirim ke China,
dan sesampainya di bandara dia sakit dan menyerahkan diri.
Setali tiga uang, buruh migran Indonesia yang terjebak dan di eksploitasi sindikat peredaran
gelap narkotika dialami Merri Utami. Pada tahun 2001, Merri Utami diserahkan ke Polisi
setelah pihak bandara memeriksa tas tangan yang dibawa dari Nepal berisi heroin sebanyak 1
kilogram. Padahal tas tersebut merupakan tas yang dipaksa dititipkan kepada Merri Utami
oleh teman pacarnya yang selama di Nepal, pacarnya justru meninggalkan Merri Utami
sendiri. Rantai kekerasan yang dialami oleh Merri Utami tidak berhenti di situ. Akar
kekerasan yang dialami Merri Utami berasal dari perlakuan suaminya. Atas kekerasan
tersebut Merri Utami dipaksa bekerja sebagai buruh migran, terlebih kondisi finansial
keluarga Merri Utami mengalami kesulitan. Namun selama di persidangan rantai kekerasan
ini tidak sama sekali digali dan dipertimbangkan. Pengadilan malah jadi ajang memutus dan
menghukum. Lebih mendasar dari itu, pemenjaraan yang dijalani Merri Utami saat ini telah
mencapai 20 tahun. Durasi pemenjaraan yang melewati ketentuan yang telah ditentukan.
Sehingga patut dipertanyakan, penghukuman apa yang sedang dijalani oleh Merri Utami saat
ini. Tragisnya, di awal 2016, Merri Utami masuk sel isolasi untuk menghadapi eksekusi mati.
Tapi beberapa saat kemudian, Jaksa Agung Pidana Umum menyampaikan bahwa Merri
Utami ditunda eksekusi matinya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kondisi ini
menimbulkan problem psikologis yang tidak sama sekali diakomodasi oleh sistem hukum.
Padahal hukuman yang timbul ini merupakan bentuk hukuman yang merendahkan martabat
manusia dan bagian dari penyiksaan.
Pada sisi lain, Merri Utami saat ini berharap pada grasi Presiden Jokowi. Tapi sejak 2016
diajukan, permohonan grasi tidak pernah ada kabar. Padahal dalam aturan tentang grasi,
Presiden memutuskan grasi terikat waktu. Namun waktu yang diberikan aturan sudah
melewati batas waktu yang ditentukan.
Berdasarkan hal di atas, Mary Jane, Merri Utami dan Tutik mereka adalah perempuan pekerja
migran yang menjadi korban sindikat international peredaran gelap narkotika yang
memanfaatkan kelemahan perempuan pekerja migran dengan menawarkan lowongan
pekerjaan dan iming-iming gaji serta pendekatan relasi kuasa yang tidak seimbang. Mereka
ditipu daya, dipaksa dan diintimidasi oleh sindikat perdagangan manusia dan narkotika.
Tepat pada tanggal 4 sampai 6 September 2022, Indonesia yang diwakili oleh Presiden
Jokowi menerima tamu kehormatan dari Filipina, yaitu kedatangan Presiden Ferdinand
Macos Jr atau Bong Bong yang akan membicarakan beberapa kesepakatan negara dalam
bidang kerjasama-kerjasama ekonomi, militer dan politik.
Namun, kami dari Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) ingin mengingatkan kepada Presiden
Joko Widodo, agar di dalam pertemuan juga melakukan pembahasan terkait memberikan
perlindungan sejati kepada warga negaranya yang menjadi pekerja migran di luar negeri.
Terlebih Indonesia dan Filipina merupakan negara pengirim tenaga kerja ke luar negeri.
Pertemuan kali ini kami harapkan sebagai pertemuan untuk membahas pembebasan Mary
Jane Veloso juga membahas mekanisme dan waktu pemberian kesaksian Mary Jane Veloso
dalam memberikan kesaksian atas sidang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang
sedang berlangsung di Filipina.
Kami juga meminta kepada Presiden Joko Widodo memberikan ampunan kepada Marry Jane,
Meri Utami dan membebaskan Buruh Migran Indonesia yang sedang menghadapi hukuman
mati di berbagai negara tujuan penempatan, termasuk juga Tutik seorang buruh migran asal
Indonesia. Terlebih Mary Jane merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang yang
seharusnya korban tidak bisa dipidana.
Pembebasan Marry Jane khususnya akan menjadi nilai diplomatik yang tinggi bagi politik
bargaining Indonesia dalam meningkatkan kerjasama khususnya dengan Filipina dan upaya
perlindungan dan dukungan pembebasan ratusan Warga Negara Indonesia yang mayoritas
pekerja migran yang kini sedang menghadapi hukuman mati di berbagai Negara. Namun
upaya ini perlu dibarengi juga dengan penghapusan hukuman mati dalam sistem hukum
pidana nasional sebagai legitimasi dalam mengupayakan politik diplomasi dalam
membebaskan buruh migran yang menghadapi hukuman mati atau menunggu eksekusi mati.
Bebaskan Mary Jane Veloso !!!
Bebaskan Merry Utami !!!
Bebaskan Tutik !!!
Hapus Hukuman Mati !!!
Jakarta, 6 September 2022
Hormat kami
Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI)
Narahubung
Wiwin Warsiating: 0812 8338 0486
Nixon Randy Sinaga: 0822 4114 8034