Skip to content

Tag: RisetGanja

LBHM Dukung Riset Ganja untuk Medis Selama Masih Partisipatoris

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) turut mengapresiasi pernyataan komitmen Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk melakukan riset ganja medis. Apresiasi ini kami sampaikan sebagai salah satu lembaga yang selama ini mendukung adanya riset tentang pemanfaatan narkotika yang partisipatif, akademik, dan sesuai dengan standar-standar internasional.

Pada hari Senin, 5 Mei 2025, Badan Narkotika Nasional melakukan Rapat Bersama dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-RI). Dalam kesempatan tersebut, Hinca Panjaitan dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan kembali anggota parlemen dan BNN tentang Pika yang meninggal dunia sembari menunggu hasil riset ganja medis. Hinca Panjaitan kemudian bertanya, “Sejauh mana komunikasi BNN dengan Kementerian Kesehatan terkait dengan rencana penelitian ganja medis ini?”

Martinus Hukom, Kepala BNN, pun menjawab,“Kami akan melakukan penelitian dan menjadi kebetulan kami punya laboratorium forensik sendiri dan cukup terbaik di Asia Tenggara. Jadi kami akan melakukan itu sebagai kewajiban konstitusional.” Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan kesediaan BNN untuk bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan. 

Atas pernyataan BNN berikut, LBHM turut mendukung dilakukannya riset pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis. Namun, ada beberapa poin yang menjadi perhatian dan rekomendasi kami untuk memastikan bahwa riset ini betul-betul membawa kejernihan dalam memandang ganja dan narkotika lainnya.

Pertama, riset medis tidak boleh terjebak hanya mengukur kadar toksisitas dari kandungan ganja tetapi kegunaan ganja baik untuk mengobati penyakit dan meredakan rasa sakit. Uji materi terhadap ganja medis yang dilayangkan koalisi pada tahun 2022 silam berargumen bahwa ganja dapat membantu orang dengan cerebral palsy untuk meredakan sakit kronis yang dialaminya, meskipun bukan menghilangkan penyebab utama dari gangguan kesehatan tersebut.

Efek ganja yang bersifat analgesik ini menunjukkan bahwa meskipun ganja bukanlah peluru perak untuk mengobati suatu penyakit, ganja memiliki potensi untuk meredakan gejala yang menyulitkan seseorang hidup sehari-hari. Karena pengurangan penderitaan ini, pengobatan menggunakan ganja membantu seseorang untuk hidup secara bermartabat sebab ia bisa menjalankan aktivitasnya tanpa rasa sakit. 

Dengan melihat dampak ganja secara menyeluruh ini dan bukan hanya terjebak dalam melihat toksisitas ganja, masyarakat akan terinformasi secara berimbang tentang apa manfaat medis penggunaan ganja dan bukan mengerti bahwa ganja bisa berpotensi menyembuhkan atau menjadi anestesi yang bisa dimanfaatkan perseorangan dalam meredakan gejalanya.

Kedua, pemerintah harus membuka keterlibatan publik yang bermakna dalam riset ini. Bukan hanya BRIN dan Kementerian Kesehatan yang memiliki kompetensi dalam menjalankan riset ini, melainkan juga masyarakat sipil, khususnya akademisi di bidang medis dan farmakologi yang selama ini memang sudah lama menaruh perhatian pada isu-isu narkotika.

Selain itu, penelitian ini juga perlu untuk melibatkan orang-orang yang selama ini sudah terdampak dari kebijakan pelarangan ganja untuk kepentingan medis, bahkan sampai harus dipenjara karena ingin menjadi sehat. Kita tentu berbicara tentang keluarga almarhum Pika dan Fidelis Arie yang dipenjara karena menanam ganja untuk menyembuhkan penyakit Syringomyelia istrinya.

Orang-orang ini adalah pejuang hak atas kesehatan yang mengorbankan hidup mereka untuk mendukung adanya kebijakan kesehatan yang berbasis rasionalitas bukan ketakutan. Mengingat kesulitan dan penderitaan yang sudah mereka rasakan, hanya akan menjadi adil jika perspektif dan pengalaman mereka turut menjadi data bagi penelitian ini.

Ketiga, penelitian juga harus mencangkup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat. Bagaimanapun ganja adalah tanaman yang sudah tumbuh ratusan tahun di Indonesia. Sebagian masyarakat asli Indonesia sudah lama memanfaatkan ganja bagi kepentingan komunitasnya. Sebut saja masyarakat Aceh yang menggunakan ganja untuk kepentingan ritual, pengobatan dan makanan.

Penelitian ini harus bisa menangkap kekhususan masyarakat adat ini dalam mengelola ganja sebagaimana tercantum dalam Universal Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP). Pasal 3 UNDRIP menyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan sendiri cara mereka untuk berkembang secara ekonomi, sosial, dan kultural.

Riset ini bisa mengambil pelajaran dari bagaimana pemerintah Bolivia melakukan riset untuk pemanfaatan daun koka. Pada tahun 2023, Pemerintah Bolivia menuntut dilakukannya asesmen kritis atas penggolongan daun koka ke Golongan I narkotika dengan mengedepankan perspektif masyarakat adat yang tinggal di kawasan Andean-Amazonian.

Keempat, pemerintah perlu memberikan transparansi dalam pelaksanaan riset ini. Transparansi ini mencangkup tenggat waktu, rencana kerja, metode penelitian, tim peneliti, dan lain-lain. Dengan transparansi ini, masyarakat sipil dapat memastikan padanan dan arah riset dijalankan dengan sesuai dengan standar-standar akademik yang ada.

Sebagai contoh, pemerintah perlu memberikan kejelasan soal timeline riset ini. Pada saat rapat bersama kemarin, Martinus Hukom hanya mengatakan, “Kami memohon waktu untuk melakukan penelitian. Karena masalah ganja ini masalah yang lagi diperbincangkan apakah bisa dilegalkan untuk masalah kesehatan, kami butuh hasil riset yang lebih akurat.”

Adanya waktu yang cukup memang penting dalam sebuah riset. Namun, pemerintah perlu memberikan tanggal atas pencapaian-pencapaian ini supaya masyarakat, terutama yang membutuhkan, tidak mencurigai bahwa ini adalah upaya mengulur-ulur waktu. Kecurigaan ini wajar saja sebab Mahkamah Konstitusi sudah memandatkan penelitian ganja medis nyaris tiga tahun silam. Selama itu, belum ada kejelasan tentang apakah penelitiannya sudah dilakukan atau belum.

Kelima, jika BNN dan pemerintah sungguh-sungguh ingin membuka ruang penelitian ganja medis, maka langkah pertama yang harus mereka dorong secara aktif adalah pembuatan regulasi transisi: semacam peraturan pemerintah atau peraturan setingkat menteri yang memungkinkan kegiatan riset dilakukan secara legal, transparan, dan akuntabel. 

Pemerintah dan DPR perlu segera merevisi UU Narkotika yang berlaku saat ini dengan menambahkan pengecualian untuk kepentingan medis yang berbasis bukti. Kepastian hukum ini akan membuka peluang yang positif bagi beberapa pihak seperti lembaga riset dan universitas, tenaga medis, dan pasien untuk juga berkontribusi dalam proses penelitian tanpa ketakutan akan dipidana.

Secara keseluruhan, LBHM menyambut perkembangan riset ganja medis dalam Rapat Komisi III dan BNN kemarin dengan catatan-catatan kritis.

Albert Wirya, Direktur LBHM, menyampaikan, “Dalam Rapat Bersama kemarin, Hinca Panjaitan menyitir pernyataan Nelson Mandela bahwa, “Sebuah bangsa tidak seharusnya diukur dari bagaimana ia memperlakukan warganya yang paling kuat tetapi dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah.” Pernyataan ini sungguh tepat untuk memastikan sikap pemerintah dalam penelitian ganja medis. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang miskin, mereka yang sakit, masyarakat adat, dengan memastikan riset tersebut bersifat komprehensif, partisipatif, akademis, dan transparan.”

Jakarta, 6 Mei 2025

Narahubung

Albert (085939676720)


Referensi:

  1. Raja Eben Lumbanrau, “Sejarah dan budaya ganja di Nusantara: Ritual, pengobatan, dan bumbu rempah makanan,” BBC Indonesia, 10 Februari 2020, diakses di https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/indonesia/indonesia-51441909.amp
  2.  IDPC, “Righting a historical wrong: The UN review of the international status of the coca leaf – Version 2,” diakses di file:///C:/Users/cleoi/Downloads/Coca%20review%20advocacy%20note_EN_REV%20Feb%202025.pdf