Month: July 2024

Laporan Dokumentasi Implementasi Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan

Sistem Dukungan Pengambilan Keputusan (SDPK) adalah istilah yang berasal dari konsep supported decision-making yang penjelasannya tercantum dalam Komentar Umum Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pasal 12 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Konsep SDPK merupakan mekanisme alternatif bagi Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP) untuk menggantikan konsep substitute decision-making yang sarat diskriminasi.

Secara konseptual, SDPK menghormati otonomi, keinginan, dan preferensi individu, sebagaimana tertuang dalam dokumen komentar umum yang sama poin ke-24. Selain itu, SDPK juga merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat orang dengan disabilitas sebagai penentu utama keputusan.

Konsep SDPK menempatkan individu sebagai subjek yang menentukan pengambilan keputusan meski terdapat orang lain yang membantunya, sehingga berdampak positif pada kemandirian dan produktivitas individu tersebut.

Meskipun SDPK memiliki penjelasan terperinci dan berkaitan erat dengan persoalan kapasitas hukum, CRPD tidak memberi aturan baku implementasi SDPK. Begitupun dengan Indonesia, sebagai salah satu negara pihak dalam CRPD, belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, termasuk aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, secara formal, Indonesia masih belum mampu menghapus pengampuan yang berkiblat pada paradigma substitute decision-making.

Sayangnya, Indonesia belum memiliki kaidah formal implementasi SDPK, maupun aturan hukum yang mengikat pada persoalan ini. Saat ini, Indonesia masih belum mampu menghapus sistem pengampuan yang berhaluan SSPK, sebuah sistem yang menjadi antitesa SDPK.

Namun, penerapan SDPK di Indonesia tidaklah mustahil, sebab pengakuan hak-hak dasar orang dengan disabilitas telah tercantum dalam berbagai peraturan, termasuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 yang mengatur hak-hak orang dengan disabilitas beserta beberapa peraturan turunannya.

Beberapa peraturan tersebut mengandung unsur-unsur yang memuat hak-hak dasar, termasuk yang berkaitan dengan SDPK. Ditambah lagi, meski belum spesifik membahas SDPK, Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RANPD) yang dikelola oleh beberapa pemangku kepentingan di pemerintahan, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

Gagasan SDPK bersifat multidimensional dan bentuk implementasinya beragam. Ragam implementasi itu tercantum dalam penelitian LBHM (2021) yang membandingkan praktik SDPK di berbagai negara yang menegaskan bahwa ada dugaan kuat bahwa praktik-praktik yang mengusung prinsip SDPK sejatinya sudah terlaksana di Indonesia, meskipun sifatnya informal.

Salah satu contohnya adalah kelompok dukungan sebaya atau peer-support group yang telah dipraktikkan oleh organisasi masyarakat sipil. Contoh lainnya adalah peer counseling dimana konseling dilakukan oleh sebaya, bukan oleh profesional. Konsep peer counseling sendiri muncul dari kebutuhan menghilangkan jarak antara konselor dengan yang berkonsultasi, agar hubungannya lebih setara. Selain itu, terdapat pula konsep group activity atau aktivitas kelompok yang dalam pelaksanaannya menerapkan prinsip dalam SDPK.

Unduh laporan dokumentasi untuk mengetahui bagaimana praktik SDPK ini dilakukan di Indonesia oleh KPSI (Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia) dan REMISI (Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia):

Versi Bahasa Indonesia

Versi Bahasa Inggris

MAJELIS HAKIM PENGADILAN NEGERI STABAT MENCEDERAI PRINSIP KEMANUSIAAN

Hari Senin tanggal 8 Juli 2024 menjadi momentum kelam dalam sejarah kemanusiaan pasca vonis bebas yang diberikan kepada mantan Bupati Kabupaten Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin (TRP). Melalui putusan nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.SBT, TRP dinyatakan tidak bersalah atas dugaan tindak pidana perdagangan orang yang ditemukan pada awal tahun 2022 lalu.

Sebelumnya, pada 18 September 2023, Penuntut Umum mendakwa TRP dengan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO). Pasca pembuktian yang melibatkan lebih dari 50 orang saksi, Penuntut Umum menuntut TRP dengan pidana penjara selama 14 tahun dan 6 bulan. Selain pidana penjara, TRP juga diminta untuk membayar restitusi sejumlah Rp 2.377.805.493 (dua milyar tiga ratus tujuh puluh tujuh juta delapan ratus lima ribu empat ratus sembilan puluh tiga rupiah) kepada para korban atau ahli waris dari korban.

Vonis bebas yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Andriyansyah, Dicki Irvandi, dan Cakra Tona Parhusip patut untuk dipertanyakan. Pasalnya, 4 orang yang juga diperiksa dalam kasus serupa, telah lebih dulu divonis bersalah melakukan tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam dakwaan alternatif pertama Penuntut Umum, yakni Pasal 7 ayat (2) UU TPPO Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun perkara 4 orang tersebut telah berkekuatan hukum tetap dengan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sebesar Rp200.000.0000, subsider 2 bulan kurungan (vide putusan nomor: 469/PID.SUS/2022/PN.STB jo. Putusan Nomor: 1820/PID.SUS/2022/PT.MDN jo. Putusan Nomor: 3775 K/PID.SUS/2023). Disparitas penjatuhan putusan dalam perkara TRP dengan 4 orang lainnya ini patut diduga sebagai bentuk kelalaian majelis hakim dalam memeriksa kedua perkara tersebut. Mengingat susunan anggota majelis hakim di tingkat pertama yang serupa.

Penuntut Umum dalam dakwaannya telah menyebutkan secara tegas tentang kronologi dan keterlibatan TRP sebagai pendiri dari kerangkeng manusia yang digunakan sebagai tempat rehabilitasi. Sejak pendiriannya pada tahun 2010 sampai dengan Januari 2022, ‘penjara’ ini sudah menerima setidaknya 665 orang untuk menjalani aktivitas yang konon diklaim merupakan rehabilitasi narkotika. Empat orang di antaranya meninggal dunia setelah menerima tindakan penyiksaan yang dilakukan selama berada di dalam kerangkeng milik TRP tersebut. Klaim TRP yang menyebutkan bahwa kerangkeng ini ditujukan untuk rehabilitasi jelas mengusik logika dan akal sehat. Selain tindakan penyiksaan yang merenggut nyawa, tempat ini bahkan tidak mengantongi izin sebagai lembaga rehabilitasi dari institusi yang berwenang. Secara khusus dalam konteks ketergantungan narkotika, tidak ada program dan fasilitas yang relevan sebagai upaya untuk menjawab persoalan adiksi serta pengurangan dampak buruk bagi orang-orang yang berada di dalamnya.

LBHM menekankan perhatian pada suburnya stigma dan pendekatan punitif terhadap setiap orang yang terlibat kasus narkotika, khususnya pengguna narkotika, yang hanya akan menciptakan praktik penyiksaan dan koruptif, tak terkecuali pada proses rehabilitasi. Tidak sedikit pengguna narkotika yang diserahkan begitu saja pada tempat-tempat rehabilitasi tanpa asesmen mengenai adiksinya. Beberapa orang yang tertangkap tanpa barang bukti, tetap dipaksa direhabilitasi hanya karena memiliki urine positif, serta kerap dimintai sejumlah uang. Padahal secara medis tidak semua pengguna narkotika perlu direhabilitasi. Hal ini jelas menggambarkan masifnya praktik penahanan sewenang-wenang dengan kedok rehabilitasi. Dewan HAM PBB melalui Kelompok Kerja Penahanan Sewenang-wenang (Working Group on Arbitrary Detention) juga telah memberikan rekomendasi tegas agar negara-negara anggotanya menutup lembaga-lembaga rehabilitasi wajib, baik yang berada di bawah pengelolaan negara maupun swasta, yang melakukan penahanan di luar kehendak para pengguna narkotika.

Di sisi lain, vonis bebas dalam kasus perdagangan orang yang dilakukan oleh TRP ini melahirkan pertanyaan besar terhadap Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang sejatinya sudah dibentuk sejak tahun 2008. Setidaknya terdapat 24 kementerian dan lembaga yang tergabung dalam gugus tugas ini. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2021, Gugus Tugas yang terbentuk pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota memiliki peran untuk memantau sampai dengan mengadvokasi kasus-kasus perdagangan orang. Namun sayangnya, keberadaan satgas tersebut juga tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban dan ahli waris korban yang telah mengalami berbagai bentuk tindakan perendahan martabat manusia dalam peristiwa kerangkeng manusia di Kabupaten Langkat.

Vonis bebas dalam kasus TRP justru menunjukan kegagalan aparat penegak hukum dalam melihat perkara ini secara struktural. Kasus ini seharusnya mampu memberikan pesan kepada publik bahwa praktik perdagangan orang juga bisa timbul akibat stigma terhadap pengguna narkotika dan kukuhnya pendirian bahwa semua pengguna narkotika harus direhabilitasi, sekalipun itu merenggut kebebasannya. Kasus ini sepatutnya juga bisa menjadi pukulan keras bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menindak tempat-tempat penahanan berkedok rehabilitasi. Oleh karena itu, LBHM memberikan perhatian dan desakan sebagai berikut:

  • Meminta Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO untuk melakukan evaluasi terhadap penyelesaian kasus TPPO di dalam dan luar Indonesia yang melibatkan warga negara Indonesia;
  • Meminta Penuntut Umum untuk segera menyatakan kasasi dan memberikan memori kasasi sebagaimana aturan hukum acara pidana yang berlaku;
  • Meminta Hakim Agung di tingkat kasasi untuk dapat memeriksa dan memutus perkara ini dengan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan dan keadilan, mengingat banyaknya korban terhadap tindak ‘perbudakan’ yang dilakukan oleh TRP, bahkan sampai merenggut nyawa. Termasuk juga memperhatikan disparitas putusan yang terjadi pada Terdakwa lainnya;
  • Meminta Badan Pengawasan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk segera memeriksa Andriyansyah, Dicki Irvandi dan Cakra Tona Parhusip, selaku Majelis Hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara nomor: 555/PID.SUS/2023/PN.STB;
  • Meminta Polri untuk segera menutup seluruh tempat-tempat yang seolah-olah dijadikan kedok sebagai tempat rehabilitasi narkotika atau panti sosial, namun melakukan tindakan pemerasan, penyiksaan, dan/atau perbudakan.

Narahubung:

LBHM: 0898-437-0066 (Yosua Octavian)
Skip to content