Rilis Pers – Segera Hentikan Kebijakan Tembak di Tempat untuk Kasus Narkotika!

LBH Masyarakat mendesak keras Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan pendekatan tembak di tempat untuk penanganan kasus narkotika. Pemantauan yang LBH Masyarakat lakukan melalui media daring menunjukan bahwa setidaknya ada 215 insiden penembakan dalam penegakan hukum narkotika sepanjang 2017. Dari 215 kasus tersebut, 116 orang luka-luka dan 99 lainnya meninggal dunia.

Hal ini bukanlah sesuatu yang patut diremehkan mengingat pembunuhan ekstra-yudisial merupakan sesuatu yang amat disorot saat ini dalam skala global. Sejak Presiden Rodrigo Duterte menerapkan operasi tok hang di Filipina dan telah mengambil puluhan ribu nyawa, telah muncul beberapa peringatan bahwa fenomena seperti ini akan rawan menciptakan copycat atau peniru. Indonesia nampaknya, meski belum sedemikian parah, sedang meniru pendekatan yang dilakukan oleh Filipina.

Pemimpin-pemimpin negara ini: Presiden Joko Widodo, Kapolri Tito Karnavian, dan Mantan Kepala BNN Budi Waseso pernah memberikan komentar yang seakan mendukung situasi ini juga. Meski hanya dalam taraf komentar, hal ini dapat diinterpretasi oleh penegak hukum sebagai sebuah perintah, atau setidaknya ” lampu hijau” , untuk menggunakan pendekatan yang lebih keras dan keluar dari rel prosedur saat melaksanaan tugas di lapangan. Dalam skala nasional, tidak ada bulan tanpa insiden kematian dalam penegakan hukum narkotika. Paling rendah ada di November 2017 dengan 4 kematian dan paling tinggi ada pada Agustus dengan catatan 13 kematian.

Diperlukan adanya pemantauan khusus pada Polda dan BNNP daerah-daerah tertentu yang memiliki catatan masif dalam persoalan kematian dalam penegakan hukum narkotika ini. Daerah-daerah tersebut antara lain: Sumatera Utara (30 kematian), DKI Jakarta (22 kematian), Lampung (11 kematian), Jawa Timur (8 kematian), dan Kalimantan Barat (7 kematian).

Ada beberapa alasan mengapa praktik tembak di tempat seperti ini harus dihentikan:

  1. Tembak mati di tempat tidak menolong situasi supply reduction Indonesia. Hal ini disebabkan karena terputusnya rantai informasi yang penting mengenai mafia peredaran gelap yang lebih besar.
  2. Tembak mati di tempat menjadi alasan penting tidak stabilnya pemerintahan, seperti Presiden Rodrigo Duterte di Filipina saat ini. Presiden Joko Widodo tidak perlu mengalami lebih banyak lagi kritik internasional untuk persoalan HAM dan narkotika. Daripada merepotkan rekan-rekan Kementerian Luar Negeri lebih jauh untuk melegitimasi kinerja pemerintah di mata internasional, lebih baik praktik ini dihentikan.
  3. Kebijakan ini tidak efektif. Sebuah hal yang jelas terlihat dari laporan BNN dari tahun ke tahun yang justru memperlihatkan angka kejahatan narkotika terus meningkat. Ini menunjukkan ada masalah lain yang lebih mendasar yang tidak pernah pemerintah sasar dan selesaikan.
  4. Kebijakan ini rawan menimbulkan insiden salah tembak. Meski kebijakan tembak di tempat ini seakan ditujukan untuk pengedar gelap narkotika, perlu diingat bahwa pemakai narkotika masih dipidana di Indonesia. Di saat angka pemakai narkotika bisa menyentuh 10 juta orang dan amat wajar seorang pemakai narkotika bertemu dengan pengedar gelap narkotika untuk membeli narkotika, kita bisa saja melihat Jakarta menjadi Manila apabila kebijakan ini tidak dihentikan.
  5. Hal ini juga berpotensi memancing pertempuran terbuka antara pemerintah dengan mafia peredaran gelap – sebuah hal yang nampaknya tidak perlu kita impor dari Amerika Latin ke negara ini. Hal semacam ini terbukti hanya menimbulkan dan mereproduksi lingkaran kekerasan, penderitaan dan dendam tanpa henti dari generasi ke generasi yang sulit untuk dipulihkan. Pada konteks ini, warga sipil yang tidak tahu apa-apa akan jadi pihak pertama yang jadi korban – semata karena ada di tempat dan waktu yang salah.
  6. Tensi keamanan yang meningkat juga akan meningkatkan harga narkotika ilegal. Hal ini akan mengeksploitasi rekan-rekan pemakai narkotika secara ekonomi. Situasi ini akan mendorong rekan-rekan pemakai narkotika untuk membeli dan mengonsumsi narkotika yang lebih murah namun dengan kualitas lebih rendah. Hal ini akan berdampak pada situasi kesehatan, termasuk meningkatnya angka kematian (termasuk overdosis) pemakai narkotika – sesuatu yang justru menjadi alasan Pemerintah memulai narasi perang ini.
  7. Tembak mati di tempat juga adalah pelanggaran HAM terang-terangan terutama untuk aspek hak untuk hidup dan hak atas peradilan yang jujur dan adil. Bagaimana pun kesalahan seseorang, ia harus dihadapkan dengan pengadilan agar ada ruang baginya untuk membela diri. Penegakan hukum dilakukan oleh manusia dan manusia kerap keliru dalam memutuskan segala sesuatu.
  8. Tembak mati di tempat jelas adalah pengkhianatan terhadap Konstitusi yang secara gamblang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rule of law). Negara hukum yang baik memiliki prosedur dalam penegakan hukum dan penegak hukumnya juga dengan baik mematuhi prosedur itu. Maka pertanyaannya: Indonesia ini sebenarnya negara hukum yang seperti apa?
  9. Lebih dari itu, kebijakan tembak di tempat ini dilakukan dalam konteks narkotika –  sesuatu yang dianggap sebagai musuh negara. Jika ” musuh negara” menjadi justifikasi bagi penegak hukum diperbolehkan untuk melanggar prosedur, hal ini ke depan akan mengancam demokrasi kita. Ideologi, pilihan politik, serta perspektif yang berbeda mungkin bisa jadi alasan di kemudian hari bagi penegak hukum melancarkan kebijakan tembak di tempat. Potensi yang sungguh berbahaya mengingat 2019 yang sensitif.

 

Sehubungan dengan uraian di atas, dengan ini LBH Masyarakat hendak menyampaikan beberapa tuntutan:

  1. Mendesak Presiden Joko Widodo memerintahkan Polri dan BNN untuk segera menghentikan praktik tembak mati di tempat;
  2. Meminta Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, juga Komisi III DPR RI untuk memanggil dan memeriksa Pemerintah terutama elemen penegak hukum yang terlibat dalam kebijakan ini untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakannya;
  3. Mendesak Polri dan BNN untuk menciptakan mekanisme pengawasan yang akuntabel dan terbuka bagi publik terhadap insiden-insiden kematian untuk menghindari terjadinya abuse of power; dan
  4. Mendorong Polri dan BNN untuk melakukan investasi pada teknologi. Misalnya, dengan mencoba teknologi body camera di Polres atau BNNK tertentu. Selain meningkatkan akuntabilitas, hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada penegak hukum.

 

Semoga pada akhirnya Indonesia akan menemukan nalar dan hatinya dalam membentuk kebijakan narkotika yang humanis, efektif, dan berbasis bukti.

 

 

Jakarta, 5 Maret 2018

Ajeng Larasati (Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat)

 

Rilis pers ini dibuat untuk konferensi pers mengenai “Tembak di Tempat Kasus Narkotika: Hentikan Sekarang Juga ” yang diselenggarakan oleh LBH Masyarakat di kantor LBH Masyarakat pada 5 Maret 2018. Yang menjadi pembicara pada konferensi pers ini ialah Ma\’ruf Bajammal (Pengacara Publik LBH Masyarakat), Ajeng Larasati (Koordinator Riset dan Kebijakan LBH Masyarakat), Bramantya Basuki (Peneliti Amnesty International Indonesia), dan Arief Nur Fikri (Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS).

Rilis Pers – Banyak PR Menanti Heru Winarko!

LBH Masyarakat mengucapkan selamat atas pelantikan Komjen Heru Winarko sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional pada minggu lalu dan berharap proses serah terima jabatan esok hari dengan Komjen Budi Waseso juga lancar tanpa halangan berarti. Di sisi lain, LBH Masyarakat juga hendak mengingatkan beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Heru Winarko dalam masa jabatannya.

Pertama, menghentikan penggunaan hukuman mati dan tembak di tembak sebagai simbolisme keberhasilan kebijakan narkotika di Indonesia. Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, 18 terpidana kasus narkotika telah dihukum mati. Akhir tahun lalu, BNN memproklamirkan bahwa 79 orang yang tersangkut kasus narkotika telah ditembak mati tanpa proses peradilan dan menggaungkannya seakan-akan hal tersebut adalah sebuah keberhasilan.

Data BNN sendiri memperlihatkan bahwa angka peredaran gelap narkotika selalu naik dari tahun ke tahun. Oleh karenanya, pendekatan represif yang menyalahi prosedur seperti tembak mati di tempat dan hukuman mati yang jelas-jelas adalah sebuah pelanggaran HAM haruslah dihentikan. Selain tidak efektif, pendekatan semacam ini juga hanya merepotkan rekan-rekan di Kementerian Luar Negeri yang harus mempertanggungjawabkan komitmen Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia

Kedua, merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. UU Narkotika yang saat ini berlaku di Indonesia memiliki beberapa kelemahan mendasar: masih mengkriminalisasi penggunaan narkotika, masih mengkriminalisasi penguasaan dan pembelian narkotika bahkan dalam jumlah kecil yang mana sangat wajar dilakukan oleh pengguna narkotika, BNN yang tidak diberikan wewenang rehabilitasi sehingga kewenangannya harus diselundupkan via Perpres, dan tidak dapat digunakannya narkotika golongan 1 untuk kesehatan. Hal ini sepatutnya jadi perhatian Kepala BNN baru untuk ikut mereformasi kebijakan narkotika Indonesia.

Ketiga, memberikan pernyataan publik selaku Kepala BNN untuk menolak masuknya pasal-pasal narkotika dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di tengah terburu-burunya DPR mengesahkan RKUHP, di dalamnya masih tercantum pasal-pasal yang hanya salin tempel dari UU Narkotika yang sekarang. Niat baik untuk menyatukan ketentuan pidana dalam satu UU dapat berujung pada hilangnya hak rehabiltiasi bagi pengguna narkotika dan juga mengancam wewenang BNN dalam melakukan upaya pemberantasan. Kepala BNN baru perlu bersuara di publik mengenai hal ini agar publik juga melihat betapa berbahayanya RKUHP bagi situasi narkotika di Indonesia.

Yang keempat, mengoptimalkan pencucian uang sebagai metode untuk membuka jaringan peredaran gelap narkotika yang lebih luas. Heru Winarko yang memiliki pengalaman bekerja di Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Polri dan juga KPK yang membuatnya ia semestinya sangat paham bagaimana bisnis ilegal memutar keuangannya agar terlihat sah. Reputasi Heru Winarko di bidang ini diharapkan dapat membuat aspek penegakan hukum narkotika Indonesia lebih kreatif – tidak hanya represif namun juga melalui kanal-kanal tindak pidan pencucian uang.

Yang kelima, mempergunakan pengalaman Heru Winarko untuk memberantas praktik-praktik korupsi dalam penanganan narkotika. Bisnis ilegal tidak pernah berdiri sendiri. Ia butuh pelindung dan para pelindung biasanya memiliki jabatan dan wewenang resmi. Hal inilah yang perlu diawasi dengan ketat oleh Heru Winarko. Perlu adanya kerjasama dengan KPK untuk membersihkan oknum-oknum korup dari lembaga-lembaga yang sering terlibat dalam penegakan hukum narkotika: BNN, Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, juga militer dan bea cukai. Heru Winarko yang pernah bekerja di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Polri dan bertindak sebagai Deputi Penindakan KPK semestinya punya kemampuan yang lebih dari cukup untuk ini. Jangan sampai pelaku-pelaku korupsi di penegakan hukum narkotika tidak tersentuh.

Mata Heru Winarko dalam memandang isu korupsi juga semestinya menjadi alasan yang cukup baginya untuk mendorong dekriminalisasi untuk penggunaan, penguasaan, dan pembelian narkotika dalam jumlah terbatas. Setiap kriminalisasi menghadirkan wewenang dan pengawasan terhadap wewenang penegakan hukum narkotika sangat sulit diawasi sehingga menghasilkan fenomena korupsi yang masif. Dekriminalisasi bisa jadi jawaban untuk masalah itu.

Tidak mudah memang tantangan Heru Winarko selaku Kepala BNN ke depan. Dan Heru Winarko punya pilihan: mau tampil keras tanpa arti atau berhasil dengan inovasi.

 

 

Jakarta, 4 Maret 2018

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Volunteer\’s Story: Isobel Blomfield

Isobel Blomfield, a student from University of New South Wales, volunteered at LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to February 2018. She volunteered here by joining ACICIS program. She helps us create a great advocacy video for the criminal law revision – and many more. She writes her experience in Jakarta through a heart-warming journal. We thank Isobel for her amazing work and dedication and wish her well for the future. Isobel, thank you for becoming a wonderful volunteer friend!

You can read her journal here.

Volunteer\’s Story: Isobel Blomfield

Isobel Blomfield, a student from University of New South Wales, volunteered at LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to February 2018. She volunteered here by joining ACICIS program. She helps us create a great advocacy video for the criminal law revision – and many more. She writes her experience in Jakarta through a heart-warming journal. We thank Isobel for her amazing work and dedication and wish her well for the future. Isobel, thank you for becoming a wonderful volunteer friend!

You can read her journal here.

Volunteer\’s Story: Isobel Blomfield

Isobel Blomfield, a student from University of New South Wales, volunteered at LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to February 2018. She volunteered here by joining ACICIS program. She helps us create a great advocacy video for the criminal law revision – and many more. She writes her experience in Jakarta through a heart-warming journal. We thank Isobel for her amazing work and dedication and wish her well for the future. Isobel, thank you for becoming a wonderful volunteer friend!You can read her journal here.

Rodrigo Gularte: A Dream at the End of a Rifle

As the government incessantly declares war on drugs, choosing to proceed with the executions of foreign prisoners amidst protests from the leaders of those inmates’ countries, the BNN (National Narcotics Agency) and police succeeded in breaking an illegal drug ring controlled from inside prison – by a death row inmate. This development is very baffling. How can a person condemned to die and confined by the thickness of prison walls still control an illegal drug ring? This revelation has outraged many people, who consider this individual to be utterly undeserving of clemency. But many of us have forgotten to also turn the gaze of our criticism towards a government which has failed to prevent such an occurrence. The irony that in the very place which should be free of such crime, the state is unable to control the actions of a person completely under their surveillance has left us scratching our heads. Why hasn’t a death sentence cowed him from continuing to flout the law? Is capital punishment therefore completely pointless?

Aside from the pros and contras of capital punishment, amid public blasphemy of Anggun C Sasmi’s open letter and the carrying out of the second round of executions during the Jokowi-JK era, lies a story which has escaped the attention of both us and the media. The tale of Rodrigo Gularte, a Brazilian national and schizophrenic, one of the 10 prisoners scheduled for imminent execution. At the age of 10, Rodrigo was diagnosed as suffering from a brain disorder called cerebral dysrhythmia by Professor Eresto Chicon, a neurologist at the Federal University of Parana, Brazil. This condition meant Rodrigo would lose control of himself and his capacity to make decisions, rendering him unable to consider the potential consequences of his actions. After 14 years of medical and psychiatric care, doctors discovered Rodrigo also suffers from bipolar affective disorder, passed down genetically from his mother and grandfather. His older brother and sister also suffer from mental illnesses.

Rodrigo was different. Despite growing up with a psychiatric condition which made him a target of bullies, Rodrigo grew up to be a good person. He has no prior criminal record. However, extremely vulnerable as a result of his conditions, Rodrigo became easy prey for an international Mafia-run drug ring. Like in many other cases involving drug mules, the Mafia – with all its trickery – successfully manipulated Rodrigo, inviting him to holiday in Indonesia with two others. Without his knowledge, the surfboards he brought with him were filled with drugs. Rodrigo was caught and for some reason, his two companions were released. Rodrigo appeared the hero by taking full responsibility.

Rodrigo has been incarcerated for 10 years awaiting execution. He has learned Indonesian, although he still speaks haltingly and sometimes struggles to find the right words. He told his legal team capital punishment will soon be abolished by the “kingdom”, saying he heard this on the radio. According to Rodrigo, the executions everyone’s talking about are merely a fabrication. He thinks this lie is told by the “king” in an attempt to intimidate the people. He feels peace is coming and the people, described by Rodrigo as possessing strange heads the size of a mosque’s dome, will welcome this joyous news. His team of lawyers can’t seem to convince him that these are hallucinations. How can Indonesia be a kingdom, they implore, and how can a human have a huge head and stomach with a small chest and small legs?

So where does this leave us? Will we stand up and defend Rodrigo Gularte, or be silent and let bullets rake his body? Despite knowing our justice system is corrupt, riddled with mafia, an administrative mess; a far cry from perfect. While at the same moment, on an isolated island Rodrigo Gularte is awaiting death – a death he believes is not coming because the “king” will soon abolish capital punishment, so the people can rejoice and be happy.

Written by Naila Rizki Zaqiah, public defender at Community Legal Aid Institute, with help from Albert Wirya, a researcher at the same organization. This piece has been uploaded with the permission of Naila & Albert with finishing touches from Yohan Misero (drug policy analyst at Community Legal Aid Institute). Iven Manning provided a translation from Indonesia to English.

This writing was first published in Yohan\’s Indonesiana account (April 24th, 2015) and then was republished in LBH Masyarakat\’s blog (December 17th, 2015). Both are published in Indonesia.

Rilis Pers – Hentikan Rencana Eksekusi Mati Jilid Empat!

Memperhatikan pernyataan-pernyataan Jaksa Agung M. Prasetyo baru-baru ini yang seperti mengindikasikan akan dilaksanakannya eksekusi mati jilid empat di 2018, LBH Masyarakat dengan ini mendesak Jaksa Agung untuk menghentikan segala rencana mengadakan eksekusi mati tersebut.

Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan menilai bahwa “Pernyataan-pernyataan yang Jaksa Agung sampaikan ke media seminggu belakangan tidak lebih sebagai upaya untuk mencari perhatian publik di panggung hukum nasional.” “Jika dibandingkan dengan institusi penegakan hukum lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung dan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia jelas paling tertinggal dan kering prestasi,” lanjutnya.

Sejak dilantik sebagai Jaksa Agung pada November 2014, M. Prasetyo tidak kunjung menghasilkan prestasi yang membanggakan. “Oleh karena itulah, eksekusi mati jelas menjadi jalan pintas bagi Jaksa Agung untuk menunjukkan kepada publik bahwa seolah-olah institusi Kejaksaan Agung telah bekerja dengan baik,” jelas Ricky. Padahal pada Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia telah menyatakan bahwa eksekusi mati jilid tiga yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada Juli 2016 mengandung maladministrasi dan Kejaksaan Agung harus membenahi dirinya.

Rencana Kejaksaan Agung yang ingin melaksanakan eksekusi mati jilid 4 juga sesungguhnya kontra-produktif dengan diplomasi Indonesia di arena politik internasional. Indonesia baru saja menerima kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB pada Februari 2018, dan mengincar posisi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020, serta tengah gencar menyelamatkan ratusan buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Ricky menambahkan, “Eksekusi mati justru akan mencoreng citra Indonesia di hadapan komunitas internasional.” Daripada menyiapkan rencana eksekusi mati, lebih baik Kejaksaan Agung mempercepat reformasi birokrasi di dalam tubuh kejaksaan serta menyelesaikan segala perkara korupsi besar dan pelanggaran HAM masa lalu yang belum juga tuntas.

LBH Masyarakat mendukung upaya pemerintah Indonesia menangani persoalan narkotika, tetapi upaya tersebut harus sejalan dengan hak asasi manusia dan berbasis bukti ilmiah. “Maraknya peredaran gelap narkotika sekalipun Indonesia telah melakukan tiga kali eksekusi mati memperlihatkan bahwa eksekusi mati tidak memberikan efek jera sebagaimana juga telah dibuktikan melalui banyak penelitian di banyak negara,” terang Ricky.

 

 

Jakarta, 3 Maret 2018

Ricky Gunawan (Direktur LBH Masyarakat)

Laporan Tahunan 2017

Tidak terasa perjalanan LBH Masyarakat telah menginjak usia ke-10 tanggal 8 Desember 2017 kemarin. Dalam 10 tahun itu, LBH Masyarakat aktif di banyak isu hukum dan hak asasi manusia (HAM), dan kemudian menjadi pionir gerakan HAM untuk isu narkotika dan HIV yang sepuluh tahun lalu masih menjadi isu pinggiran di antara organisasi hukum dan HAM.

Tentu saja, tantangan dan pekerjaan rumah LBH Masyarakat masih banyak. Ketidakadilan masih mendominasi wajah hukum Indonesia. Tapi LBH Masyarakat percaya bahwa kita harus terus bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan dan merawat nilai-nilai kemanusiaan.

Di 2017, banyak juga pencapaian dan juga tantangan yang harus LBH Masyarakat hadapi dalam bekerja. Kisah-kisah tersebut dapat kawan-kawan lihat pada Laporan Tahunan 2017 LBH Masyarakat yang dapat teman-teman akses dengan klik tautan ini.

Selamat membaca!

James, Telanlah Omong Kosong Wajib Lapor!

“Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa tersebut selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan karena Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika).”

Lantang Penuntut Umum membacakan tuntutannya pada James – bukan nama sebenarnya – yang didakwa atas perbuatan menggunakan 0,135 gram sabu-sabu.

Pada September 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai menyidangkan kasus James. Mudahnya seseorang terjerat kasus narkotika membuat fase pembuktian pada perkara narkotika seakan tidak penting. Majelis Hakim dan Penuntut Umum kerap tidak mempertimbangkan motif pun situasi seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. James tahu betul kalau mengonsumsi narkotika dapat membuatnya berurusan dengan aparat penegak hukum – sebuah implikasi yang mestinya tidak perlu ada. James pasti punya alasan dan latar belakang yang membuat bayang-bayang berurusan dengan aparat penegak hukum dapat ia kesampingkan sementara.

Berangkat.

Cerita ini berawal pada Juli 2017. James memperoleh sabu dari seorang teman untuk dikonsumsi sendiri. Setelah serah terima, James pulang ke rumah untuk segera memakainya. Setelah merasa cukup, James memutuskan untuk berjalan-jalan dengan sepeda motor.

James kemudian, secara brutal, dihentikan oleh 3 orang anggota polisi dari Polsek Mampang. Ketika itu, James sedang membawa tas yang berisi sisa sabu yang habis ia pakai. Proses penangkapan yang mengandung tindak kekerasan dari aparat penegak hukum tersebut pun harus disaksikan oleh putra James – sebuah hal yang semestinya dihindari penegak hukum karena menciptakan trauma bagi anak.

Setelah ditangkap, James langsung dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Di sana, James menjelaskan bahwa dirinya membutuhkan sabu agar terasa segar dan semangat untuk bekerja. James adalah seorang driver ojek online yang kerap bekerja seharian untuk mencari penumpang. James juga mengatakan bahwa badannya akan lemas jika ia tidak mengonsumsi sabu.

James juga menjelaskan bahwa, sejak tengah 2011, ia adalah seorang pengguna aktif heroin (putaw). Dari akhir 2011 hingga saat itu, James pun sedang menjalani terapi rumatan metadon[1] di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. James juga menunjukan adanya kartu Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)[2] atas nama dirinya.

Keterangan-keterangan ini menunjukan bahwa James adalah seseorang yang produktif. Ia seharusnya diberikan intervensi kesehatan agar dapat terus berkontribusi pada masyarakat. Negara semestinya tidak memisahkan James dari sang putra yang masih membutuhkannya. Namun, proses peradilan bagi James nampaknya tidak mempertimbangkan hal ini.

Tak sampai 90 hari dari penangkapan, James pun menempati kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seperti umumnya kasus narkotika, saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum ialah saksi dari penyidik – dua orang dari Polsek Mampang. Kedua saksi ini menjelaskan bahwa James memperoleh narkotika jenis sabu tersebut dari seorang teman untuk digunakan sendiri. Selanjutnya, saksi juga menjelaskan bahwa dalam proses penangkapan juga ditemukan barang bukti selain sabu yaitu bong (alat hisap sabu). Saksi pun menerangkan bahwa James betul mengonsumsi sabu yang ia miliki dengan bong yang ditemukan.

Seminggu setelah penangkapan, James dibawa ke Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Jakarta Selatan guna dilakukan asesmen.[3] Fakta medis dari hasil asesmen tersebut menyatakan bahwa James adalah seorang pengguna narkotika multiple (sabu dengan pola penggunaan rekreasional dan ketergantungan opioid dalam Program Terapi Rumatan Metadon). Selain itu, dalam fakta hukum menyatakan bahwa James tidak ada indikasi keterlibatan dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Dari hal-hal di atas, tim asesmen di BNN Kota Jakarta Selatan menyimpulkan bahwa James dapat memperoleh pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi.

Sangat disayangkan di awal bulan November, 2107, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada James berupa penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan karena terbukti menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Pidana 1 (satu) tahun yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penutut Umum diterima oleh James. James mungkin merasa putusan ini tidak adil bagi seorang pecandu dan pengguna seperti dirinya, namun buramnya hukum di Indonesia membuatnya untuk tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya.

Berputar.

Pemenjaraan, sayangnya, masih dikedepankan bagi pengguna narkotika. Konsekuensi dari pemenjaraan bagi para pecandu dan pengguna narkotika adalah overcapacity di tiap-tiap Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia.[4]

Belum lagi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah dalam konteks perang terhadap narkotika, seperti hukuman mati dan tembak di tempat. Semua ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa ada puluhan orang mati setiap hari karena narkotika dan juga data yang menyebutkan bahwa narkotika telah memakan 15 ribu korban jiwa[5] – data-data yang ternyata punya banyak kelemahan mendasar.[6] Pun bila memang dampak narkotika sebesar itu – negara semestinya melakukan intervensi kesehatan untuk menghentikan kematian-kematian tersebut, bukannya melampiaskan dendam melalui tembak mati ataupun hukuman mati.

Jika mau berpikir liar, coba kita bandingkan dengan bagaimana negara mengintervensi fenomena kesehatan lainnya. Berdasarkan data WHO, penyakit pembunuh nomor 1 di dunia adalah penyakit Kardiovaskular. Penyakit tersebut berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah dan biasa disebut sebagai serangan jantung. Penyakit ini telah mengambil nyawa lebih dari 17 juta manusia di dunia. Di Indonesia sendiri, penyakit ini menjadi penyebab dari 26,4 persen kematian.[7] Secara umum, penyakit ini diakibatkan tekanan darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi, rokok, dan konsumsi alkohol secara berlebihan.

Makanan, minuman, dan produk lain yang menyebabkan penyakit kardiovaskular di atas dapat diperoleh dengan bebas di negara ini. Diabetes, misalnya, juga disebabkan oleh pola makan dengan kadar gula yang tinggi. Nasi, yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia, adalah makanan dengan kadar gula yang tinggi. Lalu, haruskah mengonsumsi nasi menjadi sebuah tindak pidana?

Perlukah ada slogan “perang terhadap nasi” atau “stop nasi”? Haruskah ada tembak di tempat atau hukuman mati bagi mereka yang memasukkan nasi ke dalam Indonesia? Apa mereka yang memiliki sawah harus ikut bertanggung jawab? Bagaimana dengan para petani? Haruskah kita penjarakan rekan-rekan kita di warung nasi terdekat? Juga mereka yang menjual beras literan di toko sebelah? Ketika banyak orang yang selalu membutuhkan nasi untuk merasa kenyang, haruskah mereka juga kita hukum dan penjarakan?

Mungkin, negara justru harus mulai bicara jujur tentang nasi dan beras: membuat beras bisa diakses di seluruh wilayah sesuai kebutuhan, memastikan ketersediaan beras dengan baik secara nasional, membicarakan potensi buruk dalam jangka panjang yang mungkin muncul jika mengonsumsi nasi dalam skala besar dan jangka panjang, serta menawarkan upaya-upaya untuk mengurangi risiko tersebut. Edukasi, bukan diskriminasi. Dukungan, bukan penghukuman.

Berharap.

James sudah mengikuti program IPWL. BNNK Jakarta Selatan juga merekomendasikan agar ia direhabilitasi. Semua itu ternyata tiada arti dihadapan Majelis Hakim – cermin gagalnya kebijakan narkotika Indonesia.

Di saat Indonesia masih berjuang menemukan nalarnya dalam merumuskan kebijakan narkotikanya, James saat ini menanggung sepi dalam penjara. Ia direnggut dari pekerjaannya. Ia diambil dari keluarganya. Semua karena kebijakan yang dibangun dengan suasana hati, bukannya dengan bukti. Butuh pembelajaran, riset dan analisa yang tepat untuk memastikan berbagai aspek teratur dan harmonis, bukannya berlandas pada pandangan moral atau ketidaksukaan belaka.

Semoga jatah air dalam penjara dapat menggantikan metadon James untuk sementara. Semoga negara pada akhirnya memenuhi hak atas kesehatan pengguna narkotika. Dan, semoga Indonesia lekas menyadari bahwa #PenjaraBukanSolusi.

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

[1] Terapi rumatan metadon ialah terapi yang diberikan pada orang yang memiliki masalah adiksi dengan heroin, terutama dengan penggunaan dengan cara suntik. Metadon dikonsumsi secara oral sehingga mengurangi dampak buruk yang mungkin muncul, seperti penyebaran HIV, Hepatitis C, maupun kerusakan pada pembuluh darah. Metadon diberikan pada dosis besar terlebih dahulu dan perlahan-lahan diturunkan hingga klien siap untuk selesai dengan terapinya.

[2] Wajib lapor adalah sebuah sistem yang dibangun oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 55 (2) UU Narkotika menyatakan bahwa orang yang memiliki masalah adiksi harus melaporkan dirinya pada negara. Lembaga yang menerima warga negara melakukan wajib lapor ini disebut Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Pemenuhan Pasal 55 ini kemudian menjadi hal yang penting bagi Majelis Hakim untuk memutus rehabiltasi berdasarkan Pasal 127 (2) UU Narkotika. Sistem ini memaksa warga negara untuk wajib melakukan rehabilitasi (mandatory) bukannya berdasarkan kesukarelaan (voluntary) – sebuah hal yang lama menjadi kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil.

[3] Mengingat masifnya kriminalisasi pada pengguna narkotika – pada tahun 2017, 7 Kementerian/Lembaga (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, dan Kementeran Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama. Pada peraturan tersebut diatur sebuah sistem yang disebut tim asesmen terpadu. Tim ini akan menilai situasi adiksi seseorang dan keterlibatannya peredaran narkotika. Hasilnya kemudian diberikan pada penegak hukum dengan harapan untuk mengurangi pemenjaraan pada pengguna narkotika.

[4] Kompas.com, “Kapasitas Lapas Berlebih, Pengguna Narkoba Disarankan Tak Masuk Bui”, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/23/13145881/kapasitas.lapas.berlebih.pengguna.narkoba.disarankan.tak.masuk.bui

[5] Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat Internasional, 26 Juni 2016. 26 Juni sering sekali dimaknai sebagai Hari Anti Narkoba Internasional, yang mana merupakan translasi yang salah kaprah. Lihat: Rappler.com, “Jokowi: 15 Ribu Anak Muda Mati Karena Narkoba, Berapa Pengedar yang Mati?”, https://www.rappler.com/indonesia/berita/154689-jokowi-15-ribu-muda-mati-narkoba

[6] Irwanto, et. al., “Evidence-informed Response to Illicit Drugs in Indonesia”, The Lancet Journal Volume 385 (2015) hal. 2249-2250, http://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-6736(15)61058-3.pdf

[7] Tirto.id, “Penyakit Kardiovaskular, Pembunuh Nomor Satu”, https://tirto.id/penyakit-kardiovaskular-pembunuh-nomor-satu-ckvS

Yali Terkurung, Yali Bertarung

Ditinggal sang ayah sejak bayi, Yali – bukan nama sebenarnya – hanya bisa melihat lebar senyum ayahnya dari selembar foto – yang kerap jadi imaji dalam benaknya. Hidup bersama sang ibu di sebuah rumah petak, Yali putus sekolah sejak sekolah menengah pertama dan menyadari betul bahwa ia harus ikut membantu ibunya, seorang tukang kopi keliling, untuk memperoleh penghidupan. Di tengah segala keterbatasan, hadirlah sebuah pekerjaan yang tulus ia jalani: juru parkir.

17 tahun umurnya kini. Ia, sayangnya, tak seberuntung anak-anak 17 tahun lain yang mungkin saat ini sedang berbelanja di mall, hang out di sebuah coffee shop, atau berlibur di Lombok. Yali harus bangun pagi-pagi untuk mengurus sepetak tempat parkir di depan Gedung Chandra, area Pancoran. Jasanya menjaga keamanan motor-motor yang sedang parkir sedikit banyak membantu ekonomi keluarganya.

17 Januari 2018 menjadi hari yang berbeda dengan biasanya karena seorang supir ojek online menghalangi petak parkir yang Yali jaga – hal yang selama ini menjadi satu-satunya sumber penghidupan baginya. Yali pun menegur sang supir. Bukannya pindah, supir itu justru memarahi Yali. Adu mulut antar keduanya tidak terelakan. Tak selang berapa lama, supir itu pergi dan kembali dengan dua temannya. Merasa terancam, Yali pun membela diri. Dua orang teman supir tadi kabur. Emosi Yali sudah tak terkendali dan ia pun memukul kepala supir tadi dengan balok. Perkelahian pun usai.

Sesampainya di rumah, ada dua pria berpakaian polisi datang ke rumah Yali. Sang ibu yang baru pulang dari berjualan kopi sontak kaget dan takut akan hadirnya kedua pria tersebut. Benar saja, polisi menangkap Yali atas tindakannya memukul si supir tadi siang. Ia pun diamankan ke Polsek Taman Sari, Jakarta Barat. Terburu-buru, sang ibu langsung mengabarkan kejadian ini kepada salah satu Pengacara Publik LBH Masyarakat, Riki Efendi.

Riki langsung datang ke Polsek Taman Sari. Di sana, Riki menemukan puluhan supir ojek online berkerumun. Riki masuk ke dalam Polsek dan bertemu dengan Yali yang saat itu tidak didampingi oleh pengacara. Riki juga bertemu dengan korban, si supir ojek online. Korban membawa alat bukti hasil visum dan bukti memar di bagian kepala dan tangan. Korban pun menuntut Yali agar masuk bui.

Meski Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak berhadapan dengan hukum sebaiknya tidak ditangkap maupun ditahan, pada kasus ini pihak kepolisian malah menahan Yali di Polsek Taman Sari untuk proses penyidikan.

LBH Masyarakat mengajukan upaya diversi mengenai kasus Yali.[1] Awalnya, pihak kepolisian dan korban meminta ‘uang perdamaian’ sebesar 5 juta rupiah. Namun, kami berusaha meyakinkan kepolisian dan korban bahwa diversi adalah hak bagi anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk untuk Yali. Terlebih, jika melihat latar belakang keluarganya, 5 juta rupiah merupakan angka yang sungguh besar.

LBH Masyarakat kemudian mempertemukan Ibu Yali dan sejumlah tokoh masyarakat di lingkungan rumah Yali dengan korban guna mencari jalan kekeluargaan dalam menyelesaikan kasus ini. Setelah berdialog cukup lama, beberapa hari kemudian mereka mendapat kesepakatan dan memilih jalan damai. Korban meminta ganti rugi atas biaya pengobatan dan kerusakan barang miliknya. Keluarga korban pun menyanggupi dengan biaya yang sudah disepakati dan berdasarkan kuitansi bukti pengobatan.

31 Januari 2018, Yali akhirnya pulang ke rumah bersama ibunya – hal yang tentu patut disyukuri. Namun, 31 Januari 2018 juga jadi penanda bagi seorang anak berumur 17 tahun: berakhirnya pedih keterasingan sekaligus dimulainya lagi letih mencari penghidupan.

Penulis: Astried Permata dan Riki Efendi

Editor: Yohan Misero

[1] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana menyebutkan dalam kasus anak berhadapan hukum wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.