Skip to content

Anak Indonesia Belum Terlindungi

Hari Anak Nasional 23 Juli sudah diperingati berulang kali. Namun, nasib anak Indonesia masih belum juga membaik karena anak-anak Indonesia belum terlindungi. Masih banyak kasus kekerasan yang mendera anak-anak Indonesia. Hal itu dikemukakan oleh Direktur Pemberdayaan Hukum dan Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Dhoho Ali Sastro di Jakarta, Rabu (22/7).

Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan dan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Kalaupun harus menghadapi penangkapan, penahanan, atau pemidanaan penjara, kesemuanya itu harus ditempuh sebagai upaya yang paling akhir.

Terhadap anak-anak yang dirampas kebebasannya, mereka berhak untuk mendapatkan perlakukan secara manusiawi dan ditempatkan secara terpisah dari orang dewasa. Mereka berhak membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

“Pada kasus 10 anak bandara yang didakwa bermain judi, apakah pantas mereka disidangkan? Mereka itu hanya bermain-main. Pada kasus ini polisi menerapkan kewenangan yang dimilikinya tanpa belas kasihan. Hati polisi betul-betul dingin ketika mereka menangkap dan menahan anak-anak ini tanpa pernah sedikit pun memiliki kepedulian bahwa penahanan yang dilakukan oleh anak-anak ini adalah sesuatu yang eksesif dan tidak perlu,” kata Dhoho.

Pelaksanaan kewenangan tanpa perspektif perlindungan anak juga terjadi pada kasus GA. GA adalah seorang bocah perempuan berusia 14 tahun yang diperkosa hingga hamil dan melahirkan, sedangkan pemerkosanya bebas tidak ditahan. Dalam kasus GA, polisi tidak melakukan tindakan apa pun selain melakukan tugasnya secara formal prosedural, memanggil saksi, memeriksa saksi, dan mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan.

“Polisi gagal dalam menyentuh aspek substansial dalam suatu proses hukum yang mereka jalankan. Upaya pencarian pelaku yang sebenarnya menjadi urusan polisi tidak dilakukan sama sekali,” kata Dhoho.

 
 
 

Sumber: Kompas

Jakarta, 22 Juli 2009

Jaksa Tak Siap, Sidang Sepuluh Anak Penyemir Berlarut-larut

Persidangan 10 anak penyemir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta berlarut-larut. Mestinya hari ini Selasa, (21/7) jaksa penuntut umum Rezki Diniarti membacakan tuntutan. Namun dengan alasan sedang berkonsentrasi dengan ulangtahun kejaksaan maka amar tuntunan belum disusun.

Sidang dipimpin ketua majelis Retno Pudyaningtyas dan dua hakim anggota tidak mengenakan toga dengan persidangan tertutup. Anak-anak, Saf, Ifa dan teman-temanya sudah tak mengenakan seragam sekolah. Mereka ijin tidak mengikuti pelajaran. Sebelum masuk ruang sidang, bocah-bocah ini juga mengenakan topeng penutup wajah.

Sidang juga dihadiri Komisi nasional Anak yang diwakili Sekjen Arist Merdeka Sirait. Sayangnya sidang tidak dihadiri Badan pemasyarakatan (Bapas) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang sedianya akan mengawasi jalannya persidangan.

Menurut pembela anak dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Christine Tambunan persidangan kali ini mengecewakan. Sebab jaksa tidak siap membacakan tuntutan.

“Harusnya hari ini anak-anak dibebaskan, dan kami berharap mereka bebas murni bukan bebas karena bersalah dan diserahkan kepada orangtuanya,” kata Christine.

Karena jaksa belum siap membacakan tuntutan, agenda persidangan hanya mendengarkan keterangan terdakwa. “Hakim bertanya apa yang mereka alami, motivasi mereka bermain, latar belakang yang mereka lakukan,” kata Christine.

Para anak kata Christine juga menjawab satu persatu pertanyaan hakim tentang keinginan bersekolah dan komitemen mereka. Persidangan ini masih akan digelar pekan depan.

Berlarut-larutnya persidangan tak hanya membuat LBH Masyarakat kecewa, Komnas Anak juga mengecam jaksa yang tidak konsisten untuk membacakan tuntutan. “Kami menilai jaksa main-main terhadap persidangan ini. Oleh karenanya kami akan melaporkan ke Kejaksaan Agung,” kata Arist.

Jaksa Rezki usai persidangan menyatakan baru mau menyusun amar tuntutan. “Saya yakin sidang ini akan diteruskan,” kata Rezki. Sebelumnya 10 anak didakwa melakukan perjudian. Jaksa menjerat dengan pasal 303 kitab undang-undang hukum pidana dengan ancaman 10 tahun penjara. Ancaman perjudian itu juga dikecam KPAI. Ketuanya, Hadi Supeno menyatakan bahwa jaksa tidak mempertimbangkan UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 1997.

 
 
 

Ditulis oleh: Ayu Cipta

Sumber: Tempo Interaktif

Jakarta, 21 Juli 2009

Pengadilan Sidang 10 Anak di Bawah Umur

Sepuluh anak di bawah umur yang ditangkap sedang bermain judi sejenis koin putar di areal Bandara Internasional Soekarno–Hatta kemarin disidangkan secara tertutup di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang. Selain tertutup untuk umum, bocah yang mengenakan seragam Sekolah Dasar (SD) Negeri Rengas yang berusia 8–11 tahun itu pun mengenakan topeng sehingga menarik perhatian.

Berdasarkan pantauan Seputar Indonesia sebelum memasuki ruang sidang, bocah-bocah yang mengenakan seragam SD itu sempat melakukan doa bersama. Setelah itu, satu persatu masuk ke ruang sidang didampingi orangtua masing-masing dan kuasa hukum mereka Chirstine Tambunan dan Ricky Gunawan.

Sidang yang berlangsung tertutup untuk umum itu dipimpin oleh hakim Retno Puding Tyas dan jaksa penuntut umum Rezki Diniarti. Dalam sidang tersebut, terlihat dua anggota Polres Bandara Soekarno -Hatta sebagai saksi. Namun, mereka tidak bersedia memberikan keterangan saat dicegat wartawan usai keluar dari ruang persidangan.

Menurut JPU Rezki Diniarti,sidang dakwaan sepuluh anak ini memang dilangsungkan secara tertutup sesuai dengan Undang- Undang No. 3/ 1997 tentang Peradilan Anak. “Para terdakwa dijerat dengan Pasal 303 tentang perjudian,“ ujar Rezki Diniarti. Salah seorang anak menyatakan trauma saat mengikuti persidangan tersebut.

“Saya takut dan ngeri karena majelis hakim menanyakan kami satu persatu dalam kasus tersebut, “ujar anak yang mengenakan topeng itu sambil berlalu. Menyikapi sidang tersebut, kuasa hukum para terdakwa Chistine Tambunan menyatakan, dakwaan yang dikenakan kepada anak di bawah umur itu sama dengan orang dewasa yaitu dikenakan Pasal 303 tentang perjudian.

“Pengenaan pasal terhadap mereka dinilai tidak tepat karena masih di bawah umur. Selain itu,mereka bukan bermain judi seperti apa yang dituduhkan, “ kata Christine. Para terdakwa adalah pelajar yang sehari-hari juga bekerja sebagai pedagang asongan dan tukang semir sepatu itu ditangkap petugas keamanan Bandara Soekarno-Hatta saat bermain koin Rp500 di parkiran terminal I Bandara. Saat ditangkap sepuluh bocah itu masih mengenakan seragam sekolah dan saat itu juga kesepuluh langsung dijebloskan ke LP anak awal bulan Juni lalu.

 
 
 

Ditulis oleh: Denny Irawan

Sumber: Seputar Indonesia

Jakarta, 14 Juli 2009

Prit! Jangan Main Gebuk!

Amnesty International melaporkan perilaku buruk polisi. Main gebuk, bentak, dan intimidasi.

Peristiwa itu masih menghantui Hartoyo, 33 tahun. Kadang ia terjaga tengah malam dan mengingat kembali kejadian dua tahun lalu. Kalau sudah begitu, ia tak kuasa menahan air mata. Sejumlah psikiater yang didatangi belum mampu menyembuhkan traumanya. ”Sampai sekarang, saya suka takut kalau ada yang ngetuk pintu,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Trauma Hartoyo berawal di Banda Aceh. Toyo—begitu panggilannya—ketika itu bekerja di Yayasan Matahari, sebuah lembaga swadaya masyarakat. Ia digerebek massa karena bermesraan dengan kekasih lelakinya di dalam kamar. Ia kemudian dibawa ke Kepolisian Sektor Bandar Raya. Bukannya memberikan perlindungan, polisi malah menyiksa pasangan homoseksual ini. Toyo dan pasangannya menjadi bulan-bulanan aparat.

Pengalaman Toyo menjadi bahan bagi Amnesty International yang melakukan riset tentang kekerasan oleh polisi. Dalam laporan 24 Juni lalu, lembaga hak asasi internasional ini menemukan banyak kasus penyiksaan oleh polisi. Lembaga ini juga menilai akuntabilitas, berupa mekanisme pelaporan internal atau eksternal, masih rendah. Amnesty menyebutnya ”urusan yang belum selesai”.

Amnesty melakukan penelitian dalam dua kesempatan: Juni-Agustus 2008 dan April 2009. Mereka mewawancarai 160 korban kekerasan yang berada di dalam dan luar penjara. Lembaga ini mengunjungi sejumlah lembaga pemasyarakatan, di Tangerang, Salemba, Cipinang, dan Pondok Bambu. Kebanyakan tahanan ditangkap dengan tuduhan pencurian atau kepemilikan narkotik dan obat-obatan terlarang. Para tersangka ini selalu menjadi sasaran penyiksaan selama penangkapan, interogasi, dan penahanan.

Lembaga ini juga menyoroti peristiwa salah tangkap Budi Harjono. Amnesty menggali cerita itu melalui wawancara dengan Budi pertengahan tahun lalu. Budi mendekam di penjara Bulak Kapal, Bekasi, selama enam bulan karena dituduh membunuh ayahnya, 17 November 2002. Empat tahun kemudian, akhir Juli 2006, polisi menangkap pembunuh yang sebenarnya. Ia adalah Marsin, pembantu di toko material milik korban.

Kepada Tempo, Budi menceritakan kembali kenangan pahit itu. Ia ditetapkan sebagai tersangka dua minggu setelah kejadian. Selama di Kantor Kepolisian Resor Bekasi, penyidik berulang kali menghajar dada dan kepala Budi. Polisi memaksa lelaki itu mengakui membunuh dengan menandatangani berita acara. Jika Budi menolak, polisi mengancam akan melarang Sri Eni, ibunya, dioperasi. Tulang pipi Sri patah karena dihantam si pembunuh dengan balok pada hari nahas itu. Rumah Sakit UKI Jakarta mewanti-wanti agar operasi segera dilaksanakan. Kalau terlambat, lukanya makin busuk dan si ibu akan tewas.

Pada 14 Agustus 2003, Budi bebas karena kurang bukti. Polisi menangkap pembunuh yang sebenarnya pada Juli 2006. Setelah itu, polisi diam seribu bahasa. ”Memohon maaf pun tidak,” ujar Budi.

Kekerasan terhadap Hartoyo dan Budi Harjono itu dialami juga sejumlah responden Amnesty yang berada di penjara. Misalnya penghuni Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Tangerang. Dari sepuluh perempuan yang diwawancarai, semua mengaku pernah dikerasi polisi saat diperiksa, ditangkap, dan ditahan. ”Mereka semua mengaku secara terbuka,” ujar Ricky Gunawan, Direktur Program Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, yang mendampingi Amnesty.

Namun responden yang disiksa polisi umumnya tak melapor. Ricky mengatakan sejumlah responden memberikan jawaban dengan alasan keamanan. Artinya, kalau mereka melaporkan pelanggaran polisi, statusnya di penjara makin tak jelas. ”Banyak juga yang menganggap kekerasan itu biasa karena mereka bersalah,” kata Ricky.

Berbeda dengan Hartoyo, yang melaporkan kasusnya hingga dibawa ke pengadilan. Pengadilan Banda Aceh menyidangkan kasus ini pada Oktober tahun lalu. Pengadilan menghukum empat polisi dengan pasal pidana ringan. Mereka dihukum penjara tiga bulan, percobaan enam bulan, dan denda Rp. 1.000.

Dari berbagai kasus itu, Amnesty menyusun laporan dengan pendekatan kualitatif. Hasil penggalian cerita korban kekerasan diramu dengan wawancara lembaga swadaya masyarakat, pengacara, wartawan, serta pemerintah dan polisi. Amnesty juga memantau berita polisi dari media massa dalam dua tahun terakhir. Kesimpulannya, akuntabilitas polisi di Indonesia masih rendah.

Amnesty tak memeringkat kinerja polisi dengan membandingkan antarnegara. Lembaga ini telah membuat laporan pelanggaran polisi di berbagai negara. Peneliti Amnesty, Isabelle Arradon, mengatakan laporan ini menggunakan standar umum yang berlaku secara internasional, misalnya kategori pelanggaran hak asasi atau kekerasan.

Kata Isabelle, reformasi dalam lembaga kepolisian di Indonesia mengalami kemajuan sejak memisahkan diri dari tentara. ”Tapi masih ada kekerasan terhadap tersangka,” katanya. ”Kekerasan polisi tak bisa ditoleransi.”

Penelitian tentang polisi juga pernah digelar Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, tahun lalu. Dengan pendekatan kuantitatif, lembaga ini melakukan survei terhadap 367 responden di rumah tahanan Pondok Bambu, Cipinang, Salemba, dan penjara pemuda di Tangerang. Hasilnya, 83,65 persen responden menyatakan dikerasi polisi saat ditangkap dan diperiksa. Mereka dipukul, dibentak, dan ditodong pistol.

Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengatakan kinerja polisi tak bisa dilihat hanya dari satu-dua kasus. Menurutnya, penelitian tersebut seharusnya dikonfirmasi ke kepolisian sehingga fakta itu bisa dipertanggungjawabkan. ”Polri tak marah dikritik lembaga seperti Amnesty,” katanya.

Menurut Bambang, polisi telah melakukan perbaikan struktural dan infrastruktur. Misalnya, polisi telah meluncurkan peraturan tentang implementasi prinsip serta standar hak asasi manusia dan penyelenggaraan tugas. Dalam pasal 11 peraturan itu, polisi jelas-jelas dilarang menyiksa, melecehkan, serta memperlakukan tak manusiawi tahanan atau orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.

Namun Bambang mengatakan langkah perbaikan itu belum diimbangi langkah kultural anggotanya, sehingga tuntutan masyarakat belum sepenuhnya dipatuhi. Menurutnya, Polri telah berupaya memperbaiki manajemen sumber daya, sistem perekrutan, serta penilaian. ”Karena itu, saya mohon maaf bila saat ini masih ada tindakan polisi yang mencederai masyarakat,” kata Bambang.

 
 
 

Ditulis oleh: Yandi M.R., Yophiandi Kurniawan, Cornila Desyana, Hamluddin

Sumber: Majalah TEMPO

Jakarta, 6 Juli 2009