Rilis Pers – Pembubaran Porseni Bissu/Waria: Pengingkaran terhadap Keberagaman Budaya dan Seksualitas
LBH Masyarakat mengecam pembubaran paksa Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Waria/Bissu se-Sulawesi Selatan di Soppeng yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Kamis, 19 Januari 2017. Polisi tidak hanya menggagalkan Porseni tetapi juga menciptakan terror dan rasa takut dengan memberikan tembakan peringatan untuk membubarkan peserta. Pembubaran paksa ini menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan terhadap kelompok LGBTIQ+ di Indonesia. Insiden ini mengonfirmasi laporan Human Rights Watch yang menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2016 terjadi peningkatan kekerasan dan ancaman kekerasan, seperti pembubaran pondok pesanteran Waria di Yogyakarta.[1]
Pembubaran ini bertentangan dengan jaminan kebebasan berserikat dan berkumpul yang secara tegas disebutkan dalam konstitusi Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yang juga dijamin dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Hak Sipil dan Politik pada Pasal 21. Pemerintah juga telah melanggar hak kelompok LGBTIQ+ untuk hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah telah dengan sadar mengingkari asas non-diskriminasi di mana perlindungan dari negara berhak diterima setiap warga negara termasuk mereka yang merupakan kelompok minoritas,
Insiden ini memperlihatkan bahwa Pemerintah justru menjadi pelaku dan pelindung pelaku kekerasan serta diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+. Seharusnya Pemerintah, dalam konteks ini Polda Sulawesi Selatan dan seluruh jajarannya, bertugas untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berserikat dari ancaman pemberangusan ilegal seperti ini, bukannya tunduk pada tekanan ormas.
Dalam budaya Bugis, Bissu merupakan pemimpin besar agama Bugis pra-Islam yang memiliki dua elemen gender perempuan dan laki-laki yang berperan sebagai penghubung inter-dimensional antara manusia dan Tuhan.[2] Tradisi ini telah hidup jauh sebelum bangsa ini berdiri.
Porseni tahunan Bissu dan Waria yang sejatinya akan dilaksanakan dari tanggal 19 – 21 Januari 2017 ini terpaksa dibubarkan oleh pihak kepolisian karena adanya ancaman demonstrasi dari 16 ormas Islam di Sulawesi Selatan.[3] Porseni yang telah diselenggarakan sebanyak 19 kali ini merupakan media bagi para Bissu dan Waria untuk mengapresiasi dan mengekspresikan kekayaan budaya serta keragaman seksualitas dan gender nusantara. Acara ini berlangsung damai dan oleh karena itu negara tidak memiliki landasan apa pun untuk menghentikannya. Pembubaran acara ini telah secara langsung menciderai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, mengingkari keragaman budaya dan seksualitas, serta melukai nafas kehidupan berdemokrasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:
- Memberikan sanksi yang tegas Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang telah membubarkan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
- Menyatakan permintaan maaf kepada seluruh elemen yang terlibat pada penyelenggaraan Porseni Bissu/Waria di Soppeng, Sulawesi Selatan;
- Menghormati keberagaman budaya dan seksualitas tradisi Bissu di Sulawesi Selatan;
- Menindak tegas kelompok-kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan serta diskriminasi kepada kelompok LGBTIQ+;
- Menjamin perlindungan dan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi kelompok LGBTIQ+ dan memastikan kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari.
Naila Rizqi – Pengacara Publik LBH Masyarakat
[1] Human Rights Watch, “ Permainan Politik ini Menghancurkan Hidup Kami” Komunitas LGBT Indonesia Dalam Ancaman. https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia0816bahasaindonesia_web_0.pdf
[2] http://ardhanaryinstitute.org/index.php/2016/04/09/eksistensi-calalai-dalam-budaya-sulawesi-selatan/
[3] Informasi mengenai kronologi kejadian dapat dilihat di http://aruspelangi.org/siaran-pers/bubar_porseni-waria-bissu-se-sulawesi-selatan/