Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat?
Publik sempat berekspektasi besar terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika ia menyerukan untuk merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun ekspektasi itu seolah pupus ketika bahasan Revisi UU ITE tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021.
Wakil Ketua Badan Legislatif DPR Willy Aditya, dalam pernyataannya di Cnnindonesia.com, menyebutkan bila Revisi UU ITE masih dikaji oleh pemerintah sehingga tidak masuk Prolegnas. Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, dalam pernyataannya di Tempo.com, menyebutkan bila RUU ITE masih dalam tahap dengar pendapat publik (public hearing). Yasonna juga mengungkapkan bila Revisi UU ITE bisa menyusul dalam daftar Prolenas Prioritas 2021.
Hasrat publik saat ini, pemerintah perlu segera merevisi UU ITE. Kondisi yang ada saat ini, UU ITE bisa dibilang menjadi simbol pengekangan kebebasan berpendapat. Bagaimana tidak, sejak disahkan pada tahun 2008, undang-undang tersebut telah mengirimkan sejumlah orang untuk merasakan dinginnya dinding penjara. Peristiwa paling anyar mungkin menimpa anggota band rock Superman Is Dead, yakni Jerinx. Lalu ada juga peristiwa penangkapan aktivis Ravio Patra. Selain itu, peristiwa yang cukup fenomenal terjadi kepada Baiq Nuril, mantan guru honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Banyaknya pasal “karet” di dalam UU ITE yang dapat mengkriminalisasi disinyalir menjadi biang keladinya. Menurut data SafeNet, setidaknya ada sembilan pasal karet yang membuat banyak orang harus terjerat pidana oleh UU ITE. Masih berdasarkan catatan SAFEnet, terdapat 381 korban dari UU ITE sejak pertama kali diundangkan pada tahun 2008 hingga tahun 2018. Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga melaporkan bahwa kasus-kasus yang dijerat dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, yakni mencapai 88 persen (676 perkara).
Tingginya tingkat penghukuman ini bisa berdampak kepada masalah lainnya, seperti overcrowding penjara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, angka keterisian penjara sudah mencapai 84% pada tahun 2020. Narapidana kasus Narkotika menjadi penyumbang terbesar dalam keterisian penjara itu.
Berdasarkan data-data di atas, maka pemerintah sudah sepatutnya segera melakukan revisi UU ITE. Pemerintah perlu memasukkanya ke dalam Prolegnas Prioritas. Selain itu, masukan dari masyarakat sipil selama ini terhadap UU ITE, mulai dari penghapusan pasal-pasal karet sampai masukan tentang peran pemerintah yang harus lebih mengedepankan pendekatan restoratif, perlu diakomodir.
Pengekangan Kebebasan Berpendapat
Hal terpenting adalah bahwa jangan sampai UU ITE menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah mencatat bahwa pada pemerintah Indonesia pernah memberlakukan kebijakan yang mengekang kebebasan berpendapat. Jadi UU, ITE bukanlah yang pertama.
Pada masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan pemberedelan terhadap beberapa surat kabar yakni Pedoman, Abadi dan Indonesia Raja. Soekarno pada saat itu beralasan jika media tersebut Kontrarevolusi. Indonesia pada saat itu memang sedang melakukan revolusi sosialisme.
Sejarah juga mencatat ketika Orde Baru berkuasa, negara membungkam suara-suara kritis. Banyak sekali aktivis-aktivis yang ‘vokal’ berakhir dipenjarakan atau diasingkan, bahkan ‘dihilangkan’ sampai saat ini dengan UU Anti Subversi (Perpres 11 Tahun 1963). Hal ini pada akhirnya membuat semua orang takut mengemukakan pendapatnya.
Tidak hanya aktvis, media pun tidak luput menjadi target dari pembungkaman yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Seperti kita tahu, surat kabar menjadi salah satu medium favorit yang dipakai untuk menyampaikan kritik atau pendapat. Nahasnya, setelah Soeharto setahun berkuasa, ia menerbitkan Undang-Undang Pers Baru yang membatasi kebebasan media cetak. Penerbit-penerbit yang memuat suara-suara sumbang terhadap pemerintah bisa dicabut izinnya. Hal ini terbukti dengan dicabutnya izin 46 penerbit surat kabar dari 163 penerbit surat kabar. Tempo menjadi salah satu media yang mendapat pembredelan pada tahun 1994.
Pengekangan Kebebasan 4.0?
Pasca reformasi, kebebasan pun mulai mendapat ruangnya kembali. Semua orang sudah berani menyuarakan hal yang di masa sebelumnya dianggap tabu. Namun, sebagaimana dijelaskan di atas, jika pada masa orde baru dan orde lama banyak pengekangan kebebasan berpendapat dibentuk dalam sebuah kebijakan (Perpres Anti Subversif, UU Pers Orde Baru) dan banyak diarahkan kepada medium surat kabar, maka di era pasca reformasi, UU ITE menjadi satu kebijakan yang cukup kontroversial karena bisa dikatakan membungkam kebebasan berekspresi.
UU ITE bisa dikatakan terbentuk karena adanya kekosongan hukum pada medium baru yang banyak digandrungi publik yakni medium digital (Internet). Ketiadaan produk hukum yang dapat menyentuh dan mengatur medium baru tersebut menjadi salah satu pendorong dibentuknya UU ITE.
UU ITE ini hadir dengan maksud baik yakni untuk melindungi masyarakat di medium digital, khususnya dalam hal bertransaksi elektronik. Hal ini bisa dilihat dalam Pasal 4 UU ITE yang menyebutkan tentang pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang bertujuan untuk “membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab”; dan “memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.”
Namun, realitas di lapangan berkata sebaliknya, UU ITE justru ramai digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang. UU ITE justru menampakkan pola yang sama dengan apa yang terjadi pada dua rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru), yakni memunculkan kembali pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah pun berulang kembali dalam pola yang sama, L’histoire se repete, namun dalam medium yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, jangan sampai UU ITE ini menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat 4.0 yang dikenang dalam buku sejarah kedepannya.
Tulisan ini merupakan respon dari gagalnya UU ITE masuk ke dalam agenda Prolegnas 2021. Tulisan ini ditulis oleh Tengku Raka – Communication Specialist, LBH Masyarakat (LBHM).
Tulisan ini sudah pernah dimuat di kanal Asumsi.co: Polemik UU ITE, Bukti Anti Kebebasan Berpendapat?