Pendahuluan
Keputusan untuk membatasi kebebasan seseorang sebagai respons terhadap perilaku kriminal memerlukan pertimbangan yang seksama, antara memprioritaskan keselamatan publik atau mengakui hak-hak dasar berkaitan dengan martabat pribadi yang melekat pada setiap manusia.1 Penjara dan lembaga pemasyarakatan di beberapa negara mengalami kekurangan dana, kekurangan staf, dan kepadatan yang ekstrem, seringkali menyebabkan situasi tidak manusiawi dan tidak layak bagi narapidana.2 Narapidana umumnya merupakan kelompok yang terpinggirkan dan suaranya diabaikan, berasal dari kelompok minoritas, berjuang melawan penyakit mental, atau berjuang melawan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.3 Mengingat kerentanan kelompok ini, sangat penting bagi kita untuk menganalisis lingkungan di dalam penjara dari perspektif hak asasi manusia.
Bisa dikatakan, tantangan paling utama yang dihadapi sistem penjara saat ini soal masalah kepadatan penjara, sebuah faktor penting yang menyebabkan kondisi penjara berada di bawah standar layak, yang terjadi di seluruh dunia dengan konsekuensi yang berpotensi mematikan para penghuninya.4
Indonesia menghadapi tantangan berat dalam sistem pemasyarakatan nya, dengan menampung 276.000 narapidana dan tahanan di fasilitas yang awalnya hanya dirancang untuk maksimum 132.107 orang pada tahun 2022, akibatnya menghasilkan lingkungan keras dan terkadang mengancam jiwa.5 Pada tahun 2021, lingkungan mematikan ini menjadi kenyataan tragis ketika 49 narapidana kehilangan nyawa dalam insiden kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tangerang.6 Artikel ini akan menganalisis kebakaran Lapas Tangerang dari perspektif hak asasi manusia, melihat potensi pelanggaran hak asasi manusia, dan membandingkan kondisi Lapas Tangerang dengan standar penjara internasional.
Latar Belakang
Pada 8 September 2021 pukul 01:45 WIB, api mulai menyala dan berkobar selama lebih dari satu jam.7 Kobaran api muncul ketika sebagian besar narapidana sedang tidur, dan dampak paling parah berada di Blok C. Hasil penyelidikan Kepolisian menetapkan terjadi kesalahan dalam pemasangan kabel listrik yang dirancang untuk merespons korsleting akibatnya memicu terjadinya kebakaran. Terlebih lagi, instalasi tersebut dilakukan oleh seorang narapidana yang tidak memiliki keahlian dalam hal kelistrikan.8
Kobaran api yang cepat menyebabkan penjaga tidak mengetahui api sudah menyebar luas. Sehingga petugas tidak memiliki waktu untuk membuka seluruh kunci sel tahanan dan menyebabkan secara tragis beberapa narapidana seolah sedang terjebak di neraka.9 Penjara Tangerang, yang awalnya dirancang untuk kapasitas 600 narapidana, menampung lebih dari 2.000 orang.10 Khususnya, Blok C, lokasi kebakaran, diperuntukkan bagi 38 narapidana, tetapi menampung hingga 122 orang pada saat kejadian.11 Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik kondisi overcrowded di Lapas Tangerang dan menyatakan bahwa kepadatan penghuni menyulitkan proses evakuasi yang cepat saat kebakaran itu terjadi.12
Pertentangan Antara Standar Hak Asasi Manusia terhadap Kepadatan Penjara
Tulisan ini akan membedah kasus kebakaran Lapas Tangerang melalui sudut pandang standar internasional tentang hak-hak tahanan, terutama berfokus pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Aturan Minimum Standar PBB untuk Perlakuan terhadap Tahanan, yang umumnya dikenal sebagai Aturan Nelson Mandela. Tulisan ini juga bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana standar internasional ditegakkan dan apakah kepadatan yang berlebihan itu berkontribusi nyata terhadap pelanggaran hak-hak narapidana.
Pasal 7 (ICCPR)
” Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.”
Kepadatan tahanan seringkali menjadi akar masalah yang dihadapi penjara saat ini, mengarah pada kondisi yang cukup buruk untuk dianggap sebagai perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, sehingga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 7 ICCPR.13 Pada Blok C, Lapas Tangerang, saat insiden tersebut terjadi, terdapat 122 narapidana yang seharusnya hanya diisi oleh kapasitas 38 narapidana. Dengan kepadatan yang tinggi, turut berkontribusi pada manajemen krisis yang buruk dan meningkatkan risiko bahaya. Selain itu, jatuhnya korban jiwa merupakan konsekuensi logis dari kelalaian petugas penjara yang bertanggung jawab atas listrik dan ketidakmampuan manajemen untuk membuka kunci sel tepat waktu.14 Kondisi di Lapas Tangerang bisa dibilang sudah memenuhi kriteria sebagai tempat yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat.
ICCPR membedakan antara penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia berdasarkan definisi. Namun demikian, beberapa ahli berpendapat, definisi penyiksaan yang sengaja dibuat samar-samar memungkinkan negara untuk dengan mudah menghindari tanggung jawab. Terlepas dari perbedaan definisi, penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, memiliki kesamaan operasional dan dapat mengakibatkan dampak yang sebanding terhadap korban.15
Pasal 10 (ICCPR)
” Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.”
Kantor PBB untuk Narkotika dan Kejahatan (UNODC) merujuk pada sel yang penuh sesak sebagai kondisi yang merendahkan martabat manusia, yang akan melanggar Pasal 10 (1). Kondisi lainnya yang digambarkan termasuk kebersihan yang tidak memadai, kondisi yang tidak sehat, dan potensi penyebaran penyakit menular, terutama ketika pihak berwenang tidak mengambil tindakan yang wajar untuk mencegah wabah tersebut. Keadaan itu seringkali merupakan konsekuensi yang dapat diprediksi dari kepadatan yang berlebih.16 Oleh karena itu, kondisi kepadatan di Lapas Tangerang dapat diartikan sebagai pelanggaran Pasal 10.
Standar dan norma Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pencegahan kejahatan dan peradilan pidana memberikan panduan untuk reformasi yang mempertimbangkan variasi dalam tradisi, sistem, dan struktur hukum di berbagai negara. Standar dan norma-norma tersebut mewakili ” praktik terbaik” yang dapat disesuaikan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan nasional mereka.17
Berikut ini adalah instrumen hak asasi manusia PBB yang menjelaskan prinsip-prinsip bagaimana seseorang yang berada dalam penahanan atau pemenjaraan harus diperlakukan.18 Aturan Minimum Standar, atau yang lebih umum dikenal sebagai Aturan Nelson Mandela, sering dianggap oleh negara-negara sebagai referensi utama untuk penilaian standar dalam penahanan dan digunakan oleh mekanisme pengawasan dan inspeksi untuk mengevaluasi perlakuan terhadap tahanan.19
Aturan 1
” Semua tahanan harus diperlakukan dengan hormat karena martabat dan nilai yang melekat pada mereka dan nilai yang melekat pada diri mereka sebagai manusia. Tidak ada tahanan yang boleh menjadi sasaran, dan semua tahanan harus dilindungi dari, penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman, yang tidak dapat dibenarkan oleh keadaan apa pun sebagai pembenaran. Keselamatan dan keamanan para tahanan, staf, penyedia layanan dan pengunjung harus dipastikan setiap saat.”
Di luar risiko yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu melanggar martabat yang melekat pada tahanan atau membuat mereka mengalami perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat mereka, ada juga kekhawatiran lainnya, yaitu kepadatan yang berlebihan merupakan ancaman besar bagi keselamatan dan keamanan tahanan dan staf, yang akan berakibat pada pelanggaran aturan 1.20
Selain itu, Nelson Mandela Rules menjelaskan kebutuhan esensial bagi para tahanan, termasuk akomodasi, penerangan, ventilasi, pengatur suhu, pakaian, tempat tidur, makanan, air minum, kebersihan pribadi, akses ke ruang terbuka, latihan fisik, dan layanan kesehatan. Namun, dalam kasus-kasus kepadatan penghuni di penjara, beberapa atau semua kebutuhan ini mungkin tidak dapat dipenuhi.21
Kesimpulan
Kondisi Lapas Tangerang yang sangat padat selama kebakaran dapat diartikan sebagai pelanggaran Pasal 7 dan Pasal 10 ICCPR, yang melanggar hak asasi manusia para narapidana. Kepadatan yang berlebihan menjadi penyebab utama dari berbagai masalah yang dihadapi oleh penjara, sehingga menimbulkan risiko bagi kesehatan dan keselamatan narapidana serta staf penjara. Kondisi di Lapas Tangerang terbukti melanggar standar dan norma Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengindikasikan kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip yang digariskan dalam instrumen hak asasi manusia. Insiden tragis di Lapas Tangerang dapat menjadi contoh tentang pentingnya mengatasi kepadatan di penjara. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia. [*]
Andreas Johansson
Berasal dari Gothenburg, Swedia. Saat ini sedang terdaftar di program Master Hak Asasi Manusia di Universitas Gothenburg, dan ia sangat tertarik untuk memajukan hak asasi manusia dan keadilan sosial.
Referensi: