Month: June 2024

25 TAHUN INDONESIA RATIFIKASI CAT: PRESIDEN JOKOWI DAN DPR RI GAGAL HENTIKAN  PRAKTIK PENYIKSAAN DI KEPOLISIAN, TNI, DAN LAPAS

Peringatan Hari Anti Penyiksaan  26 Juni 2024

Tanggal 26 Juni merupakan momentum penting bagi komunitas internasional dalam memperingati hari anti penyiksaan. Peringatan ini berawal dari terbentuknya Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture/CAT) yang mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987 bagi seluruh negara anggota. Berlakunya Konvensi CAT menjadi instrumen utama dalam perjuangan mencegah praktik penyiksaan dan penghormatan martabat manusia.

Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang telah meratifikasi Konvensi CAT melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, tepatnya 25 tahun lalu pada tanggal 28 September 1998. Namun, praktik penyiksaan dan penghukuman yang kejam tetap terjadi dalam siklus penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan hasil temuan YLBHI-LBH Jakarta, setidaknya sejak tahun  2013-2022 terdapat 58 (delapan puluh) orang korban penyiksaan oleh anggota Polisi, 25 (dua puluh lima) orang di antaranya  merupakan korban salah tangkap atau salah  hukum dan 6 (enam) orang Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH). Dari temuan tersebut semua aktor atau pelakunya adalah anggota Polisi. Di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 – 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor. Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian. Selain itu, dari dokumentasi yang LBHM lakukan di tiga Rumah Tahanan (Rutan) wilayah DKI Jakarta dalam periode Januari-Mei 2024, terdapat 35 (3 orang perempuan dan 32 orang laki-laki) dari total 204 tahanan yang mengaku mendapat penyiksaan. Sebanyak 15 dari 35 tahanan yang mengaku mengalami penyiksaan diduga terlibat dalam kasus narkotika, dan 20 sisanya diduga melakukan tindak pidana umum (sebagaimana diatur dalam KUHP). Adapun peristiwa penyiksaan tersebut terjadi dalam tahap pemeriksaan di kepolisian. Data tersebut merupakan bagian kecil dari gelapnya sistem peradilan pidana, khususnya di tingkat kepolisian, yang minim pengawasan dan intervensi dari masyarakat sipil.

Adapun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sepanjang periode Juni 2023 – Mei 2024 turut mendokumentasikan, setidaknya terdapat 60 peristiwa praktik penyiksaan dan penghukuman kejam yang tersebar di Indonesia. Dalam periode ini pula, KontraS kembali mencatat bahwa Kepolisian merupakan institusi yang konsisten menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan yang terjadi dengan 40 peristiwa; dilanjutkan dengan Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) sebanyak 14 peristiwa; dan Sipir atau Petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan 6 peristiwa. Meningkatnya jumlah peristiwa penyiksaan berdasarkan data pemantauan KontraS dari tahun sebelumnya menunjukkan bahwa kultur kekerasan di berbagai lembaga negara masih menjadi salah satu permasalahan yang sejatinya harus dituntaskan secara menyeluruh. Bahwa praktik yang masih terus berjalan ini diakibatkan oleh ketiadaan sistem hukum dan kultur hukum yang memadai untuk mencegah dan menghapuskan segala bentuk praktik penyiksaan.

Langkah pemerintah dalam meratifikasi Konvensi CAT tidak disertai dengan pembentukan regulasi yang mengatur lebih rigid di level nasional. Bahkan, sampai saat ini Indonesia belum juga meratifikasi Protokol Opsional dari Konvensi CAT (Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang justru menunjukan sikap kompromis dan pengabaian pemerintah terhadap tindakan penyiksaan itu sendiri. Di sisi lain, butuh lebih dari 20 tahun untuk mengakomodir tindakan penyiksaan sebagai tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Pasal 529 dan Pasal 530 sejatinya telah memuat unsur-unsur tindakan penyiksaan yang hampir serupa dengan Konvensi CAT. Namun, ancaman hukuman yang diberikan terhadap pejabat resmi yang melakukan tindakan penyiksaan tidak cukup rasional. Pasal 529 memuat ancaman hukuman penjara maksimal 4 tahun, sedangkan Pasal 530 paling lama 7 tahun. Hal ini jauh berbeda apabila dibandingkan dengan tindak pidana penganiayaan – yang mana tindakannya dilakukan oleh sesama masyarakat sipil biasa – dengan variasi pidana penjara dari 6 bulan sampai dengan 15 tahun, bahkan dapat diperberat dengan kualifikasi tindakan tertentu (Pasal 466 sampai dengan Pasal 471 KUHP Baru).

Selain itu, banyak juga praktik-praktik kekuasaan lain yang setara dengan penyiksaan tapi mungkin luput dari pasal-pasal penyiksaan ini. Salah satu contohnya adalah hukuman mati yang merupakan bagian dari jenis penghukuman yang merendahkan martabat manusia. Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), per tanggal 19 Oktober 2023 setidaknya terdapat 509 orang berada dalam deret tunggu pidana mati di Indonesia. Mayoritas kasus yang menduduki status terpidana mati adalah narkotika, yakni sebanyak 351 orang (69%). Selain jenis penghukuman yang merendahkan martabat manusia, fenomena deret tunggu ini juga merupakan bentuk penyiksaan yang menimbulkan penderitaan besar secara psikologis karena mereka terus hidup dalam teror tidak berkesudahan atas ancaman kematian yang bisa sewaktu-waktu terjadi.

Regulasi di Indonesia masih menyimpan sejumlah persoalan pada aspek formil atau hukum acara dalam sistem peradilan pidana, khususnya pada tingkat kepolisian. Keleluasaan melakukan penahanan selama 60 hari membuka ruang penyiksaan. Mekanisme uji penyiksaan baru dapat diajukan setelah tindakan upaya paksa dilakukan ketika seseorang telah berstatus sebagai tersangka atau terdakwa. Sebagai pintu awal dari berjalannya roda sistem peradilan pidana, kepolisian sejatinya mengantongi kewenangan yang besar dengan tanpa pengawasan yang optimal. Lembaga pengawas internal maupun eksternal (Propam dan Kompolnas) justru kerap kali menjadi alat impunitas bagi para pelaku berjargon presisi. Kondisi ini diperparah dengan wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri), yang substansinya justru memperluas kewenangan kepolisian dalam menginvasi hak asasi manusia tanpa kontrol dan pengawasan yang jelas. Penyiksaan dan penghukuman yang kejam sepatutnya tidak dipandang sebelah mata. Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk mencegah berulangnya tindak penyiksaan dan menciptakan iklim penegakan hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendorong agar pemerintah dan aparat penegak hukum untuk:

  1. Pemerintah dan DPR RI agar segera meratifikasi Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;
  2. Pemerintah dan DPR RI agar segera merevisi atau mengubah KUHAP, secara khusus terkait mekanisme kontrol dan pengujian atas kewenangan aparat penegak hukum, serta pemulihan bagi korban tindakan penyiksaan;
  3. Pemerintah  dan DPR RI harus segera menghentikan pembahasan RUU Polri yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Revisi UU Kepolisian Republik Indonesia seharusnya dilakukan secara komprehensif, tidak dilakukan secara tertutup dan mengabaikan partisipasi bermakna warga negara. RUU perlu harus diarahkan pada reformasi kelembagaan maupun sistem yang memastikan Polri menjadi lembaga yang profesional, transparan dan akuntabel melalui pendekatan yang humanis bukan justru memperkuat watak militerisme dengan kewenangan represi yang besar namun tanpa pengawasan;
  4. Dalam rangka pencegahan efektif terhadap praktik penyiksaan, institusi yang menjadi pelaku dominan seperti halnya Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan dan Sipir harus meningkatkan serta menyusun langkah preventif dan antisipatif dalam rangka menurunkan angka penyiksaan di lembaga masing-masing. Berbagai institusi tersebut dapat membangun kerjasama intensif dengan berbagai lembaga pengawas eksternal guna mendorong akuntabilitas publik.
  5. Harus ada perbaikan sistem pengawasan dan  penegakan hukum yang imparsial, transparan dan adil kepada  para pelaku penyiksaan baik di Polri, TNI, Lembaga Pemasyarakatan atau lembaga lainnya agar tidak ada impunitas kepada para pelaku dan  praktik penyiksaan tidak terus berulang;

Narahubung:

  1. Sekretariat RFP (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian)
  2. LBH Masyarakat (LBHM) –  0822-4114-8034
  3. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) – 0817-256-167
  4. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – 0812-5926-9754

World Drug Day: Lack of ASEAN Cooperation Fuels Exploitation ofLow-level Couriers by Drug Trafficking Syndicates

Today, the UN Office on Drugs and Crime (UNODC) marks the World Drug Day with a call to promote international cooperation in developing and implementing evidence-based strategies for combating drug trafficking and organised crime. It stresses collaboration among governments, organisations, and communities to achieve this.

It is therefore more crucial than ever to encourage strength within existing ASEAN mechanisms towards a harm reductionist and rights-based approach in combating drug trafficking and organised crime. This includes, among others, abolishing the death penalty for drug offences, promoting continuous regional dialogue between progressive ASEAN states and civil society, and empowering scrutiny on compliance of domestic drug policies to the international human rights standards, and their impact on economic, social, and cultural rights.

In particular, the use of the death penalty, and its execution, against low-level couriers who are often victims of drug syndicates on the grounds of deterrence or prevention of crime is an issue that should be addressed. This practice enables and empowers transnational drug syndicates as it effectively ends the possibility of tracing and combating transnational drug syndicates, while punishing those with the least agency or responsibility, rendering any deterrent effect completely null. Common understanding and cooperation regarding this impact can prevent rights violations experienced by many victims. For example, the case of Mary Jane Veloso, whose execution was halted due to cries from CSOs and the Philippines back in 2016, highlights the failure of protection against victims of human trafficking and the pressing need for a bilateral mechanism between Indonesia and the Philippines in this matter. Mary Jane’s experience could have been completely different and an injustice could have been avoided. ASEAN member states, all of which are parties to the UN Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC), have long had consensus on the need to combat transnational organised crimes1. States have also acknowledged the necessity to enhance regional cooperation as evidenced within the ASEAN Work Plan on Securing Communities Against Illicit Drugs2. One way to do this effectively would be to stop imposing death sentences on the victims of drug trafficking and to instead focus efforts on stopping these crimes before they happen. However, ASEAN’s core values of non-interference, along with authoritarian politics within the region, have hampered regional efforts to address the root causes of key issues.

Collaboration is essential for ASEAN nations to successfully combat exploitation and reduce drug trafficking. In recent years, Malaysian34 and Indonesian56 officials have respectively acknowledged the need for cross-country collaboration in reducing drug trafficking while showing willingness to adopt progressive considerations for exploited low-level couriers. Unfortunately, neighbouring countries, such as Singapore and the Philippines7, have not shown such willingness. Notably, Singapore has shown a predisposition to galvanise support for the death penalty for drug offences through UN mechanisms8 as opposed to working towards effective and progressive policies against drug trafficking with its neighbours. The lack of collaboration and synergy among ASEAN member states on drug trafficking has directly affected the effectiveness in combating it.

To support ASEAN states to collaborate effectively, the UNODC should ensure that it is consistent in its approach to calling for member states to abolish the death penalty for drug offences. As early as 2012, the agency stated that it “may have no choice but to employ a temporary freeze or withdrawal of support” for governments that are still executing persons for drug-related offences.9 The Office has also been vocal about the need for international cooperation in combating organised crime — as demonstrated in this year’s theme for the World Drug Day. This stance should be reflected in the multilateral cooperation programmes the agency has with retentionist ASEAN member states.101112

We the undersigned organisations call for:

I. ASEAN member states to take action towards the abolition of the death penalty for drug offences;

II. ASEAN member states to revisit existing mechanisms with a harm reductionist and rights based approach in combating transnational drug trafficking;

III. ASEAN member states to pursue intergovernmental collaboration that would foster the repatriation of low-level couriers or other individuals who were victimised or exploited by transnational crime organisations;

IV. The UNODC and its regional offices consistently stand against the use of the death penalty and torture for drug offences in Southeast Asia.


3 Purushotman (2024). ‘Concern over plight of drug mules held abroad’. Available at: https://thesun.my/local-news/concern-over-plight-of-drug-mules-held-abroad-DA11998496

4 Boo (2023). ‘Ramkarpal: Desperately Poor Drug Mules Inspired Malaysia’s Repeal Of Mandatory Death Penalty’. Available at: https://codeblue.galencentre.org/2023/04/18/ramkarpal-desperately-poor-drug-mules-inspired-malaysias-repeal-o f-mandatory-death-penalty/

5 Rahmani & Sulistiyandari (2024). ‘BNN arrests Asian network drug lord in the Philippines.’ Available at https://en.antaranews.com/news/313623/bnn-arrests-asian-network-drug-lord-in-the-philippines

6 Llewellyn (2022). ‘Indonesia mulls introduction of a ‘probationary’ death penalty’. Available at: https://www.aljazeera.com/news/2022/10/10/indonesia-considers-plans-for-a-probationary-death-penalty

7 Simons (2023). ‘The Philippines Is Losing Its “War on Drugs”’. Available at

8 The Advocates for Human Rights (2022). ‘One-pager on sovereignty amendment’. Available at: https://www.theadvocatesforhumanrights.org/Publications/sovereignty-amendment-response

9 UNODC, UNODC and the Promotion and Protection of Human Rights: Position Paper (2012) 10.

10In reference to the Malaysian National Anti-Drug Agency’s reports in 2021, https://www.adk.gov.my/en/drug-abuse-information-network-for-asia-and-the-pacific-dainap-focal-points-meetin g/ and 2022 https://www.adk.gov.my/kunjungan-hormat-daripada-united-nations-office-on-drugs-and-crime-unodc/.

11Institute for Criminal Justice Reform (2019). ‘Menyelisik Keadilan yang Rentan: Hukuman Mati dan Penerapan Fair Trial di Indonesia’. Available at https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2019/01/Menyelisik-Keadilan-Yang-Rentan.pdf

12 UNODC (2006). ‘Criminal justice assessment toolkit’. Available at https://www.unodc.org/lpomex/uploads/documents/Publicaciones/Prevencion-del-delito-y-justicia-penal/Criminal _ justice_assessment.pdf

Hasil Permohonan PK: Meneropong Implementasi KUHP Baru sebagai Kompas Pidana Mati

LBH Masyarakat (LBHM) mengapresiasi semangat reformasi hukum dalam KUHP 2023 yang mengubah pidana mati dari klasifikasi pidana pokok menjadi pidana alternatif. Pembaharuan hukum ini tentu menjadi kompas dan pengingat bagi para hakim pemeriksa untuk mewujudkan peradilan yang jujur dan adil, sekaligus menjadi pintu perbaikan terhadap orang-orang yang telah dijatuhi pidana mati kendati dengan pembuktian yang minim.

Pada 2023, LBHM mewakili lima orang terpidana mati mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui pengadilan pengaju di wilayah DKI Jakarta. Semua PK ini didasarkan pada argumentasi kekhilafan hakim karena penjatuhan pidana mati mengabaikan kurangnya alat bukti, peran terdakwa dengan terdakwa lain, dan terdakwa yang tidak didampingi pengacara. PK ini dilakukan sebagai kesempatan bagi Mahkamah Agung untuk melakukan koreksi dan menebus kesalahan atas unfair trial.

Majelis Hakim Agung telah mengeluarkan putusan atas dua dari lima pengajuan PK tersebut, dengan detail berikut:

  1. Pada 14 Mei 2024, Majelis Hakim Agung menolak permohonan pemohon PK yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melansir dari data kepaniteraan Mahkamah Agung, perkara ini diperiksa dalam waktu 16 hari. LBHM menilai ini adalah rentang waktu yang sangat singkat dan terburu-buru dalam mengkaji argumentasi-argumentasi pemohon PK. Tentu Mahkamah Agung kembali mengulang kesalahan fatal yang sama, mengingat banyak bukti yang dihadirkan tapi tetap saja diabaikan. Hal ini seperti: upaya paksa yang tidak sesuai prosedur, di antaranya karena melakukan penggeledahan tanpa adanya saksi; preseden mengenai tidak sahnya suatu putusan karena tidak adanya pengacara dalam kasus-kasus yang diancam di atas 5 tahun; termasuk penerjemah yang tidak sesuai dengan kemampuan bahasa pemohon PK.
  1. Pada 14 Juni 2024, Majelis Hakim Agung mengabulkan permohonan pemohon PK yang diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Putusan Mahkamah Agung ini mengubah pidana mati pemohon PK menjadi pidana seumur hidup. Waktu pemeriksaan perkara pun terbilang cukup ideal dalam menentukan putusan pidana seseorang, yakni 85 hari.

Dari dua kasus ini, selain hasil putusan, waktu pemeriksaan menjadi pembeda yang sangat signifikan. LBHM mengapresiasi Majelis Hakim Agung yang telah mempertimbangkan secara seksama atas alat bukti, argumentasi, dan kekhilafan hakim pemeriksa sebelumnya sehingga menghasilkan putusan yang bersifat perbaikan.

LBHM berharap Majelis Hakim Agung pemeriksa PK selanjutnya melakukan tindakan serupa, yakni putusan yang penuh dengan pertimbangan terhadap bukti-bukti, penghormatan terhadap hak atas hidup, serta menjadikan KUHP 2023 sebagai pedoman baru dalam penjatuhan pidana mati. Tentu juga meminta Majelis Hakim Agung pemerisa PK selanjutnya tidak mengulang kesalahan serupa, seperti pengalaman pemohon PK yang diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yakni waktu pemeriksaan minim sehingga banyak fakta dan bukti diabaikan.

Jakarta, 21 Juni 2024

Narahubung:

  • Yosua Octavian (+62 812-9778-9301)
  • Kiki Marini Situmorang (+62 896-3970-1191)

Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia

Orang dengan Sindroma Down di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses hak-hak dasar mereka, termasuk pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Hasil riset LBHM bersama YAPESDI berjudul “Akses Pemenuhan Hak untuk Orang dengan Sindroma Down di Indonesia” (2023) mengungkapkan berbagai tantangan signifikan yang dihadapi oleh orang dengan Sindroma Down.

Akses pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down masih terbatas dan fakta tersebut terlihat dari rendahnya jumlah siswa Sindroma Down di sekolah. Semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah jumlah orang dengan Sindroma Down yang mengaksesnya. Di samping persoalan ketersediaan, dunia pendidikan bagi orang dengan Sindroma Down juga masih menghadapi tantangan aksesibilitas dan inklusivitas.

Di bidang pekerjaan, pemerintah juga masih terkendala untuk mendorong penyedia kerja baik pemerintah maupun swasta untuk menyediakan lowongan bagi orang dengan Sindroma Down. Orang dengan Sindroma Down tak bisa mengakses layanan perbankan secara setara karena salah paham mengenai kapasitas hukum dan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri.

Melihat dari persoalan di atas, bagaimana akses pemenuhan hak-hak dasar, yakni hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas perbankan, dan hak atas layanan publik, yang meliputi layanan kesehatan, layanan akomodasi, layanan administrasi dan pendataan, serta jaminan sosial, terhadap orang dengan Sindroma Down?

Selain itu apa saja kendala yang dihadapi orang dengan Sindroma Down untuk mendapat pemenuhan hak-hak tersebut?

Baca selengkapnya melalui link di bawah ini:

Sobat Matters juga dapat mengakses laporan penelitian tersebut dalam versi bahasa sederhana melalui link di bawah ini:

Tolak RUU POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia) yang Menjadikan POLRI Lembaga “Superbody”, dan Gagal Mendesain Perbaikan Fundamental

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police)

Rapat Paripurna DPR RI resmi menjadikan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“RUU Polri”) sebagai usul inisiatif DPR, pada Selasa (28/5). Berdasarkan rancangan (draft) yang kami terima, RUU Polri pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan ugal-ugalan (excessive) kewenangan kepolisian hingga menjadikannya institusi “superbody”. Di samping itu, RUU Polri juga gagal menyorot masalah (problem) fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini, tidak terkecuali kegagalan dalam menyorot aspek lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism) dalam ikhwal penegakan hukum, keamanan negara maupun pelayanan masyarakat.

Berbagai catatan masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara telah memotret bagaimana institusi Polri telah menjadi “aktor pemegang monopoli” kekerasan, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) hingga praktik-praktik korupsi. KontraS misalnya, dalam rentang 2020 – 2024 telah menghimpun praktik-praktik kekerasan yang melibatkan kepolisian di Indonesia. Sepanjang Juli 2020- Juni 2021 setidaknya terdapat 651 kasus. Juli 2021 – Juni 2022 mengalami peningkatan hingga 677 kasus. Juli 2022 – Juni 2023 mencapai 622 kasus. Sedangkan sepanjang Januari-April 2024, berdasarkan pemantauan KontraS, telah terjadi 198 peristiwa kekerasan yang melibatkan kepolisian. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi, penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi, bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

Sepanjang 2019, YLBHI mencatat terdapat 67 orang meninggal dengan dugaan kuat sebagai korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di tangan anggota polisi. Selama kurun Juli 2022- 2023, YLBHI mencatat setidaknya terdapat 130 kasus yang melibatkan kepolisian sebagai aktor pelanggar dengan kasus salah tangkap, intimidasi diskusi, kriminalisasi, penahanan sewenang-wenang, undue delay, hingga extrajudicial killing.

Data pelanggaran HAM yang dilakukan oleh anggota Polri ini juga ditunjukkan oleh dokumentasi yang dilakukan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di tiga Rumah Tahanan Negara yang berlokasi di Jakarta. Selama periode Januari-Mei 2024, ada setidaknya 35 tahanan (32 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan penyiksaan pada proses penyidikan; 21 tahanan (15 laki-laki dan 6 perempuan) mengaku mengalami pemerasan; 7 tahanan (4 laki-laki dan 3 perempuan) mengaku mendapatkan kekerasan seksual. Tiga puluh lima orang yang mengaku mengalami penyiksaan tidak mendapatkan hak atas bantuan hukum yang memadai.

Menukil catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI di tahun 2023, kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753. Peringkat ini menunjukkan “konsistensi” Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya. Pada 2022, Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan 861 kasus. Tahun 2021, Pori juga terdata menjadi institusi yang paling banyak dilaporkan ke Komnas HAM, yakni 661 aduan. Selanjutnya di tahun 2020, terdapat 785 kasus pengaduan yang masuk ke Komnas HAM terkait Kepolisian. Demikian juga pada 2019, Polri juga memeringkati posisi teratas dengan 744 kasus. Kondisi serupa juga juga dapat dicermati dalam Laporan Tahunan Ombudsman RI.

Dalam rentang 4 tahun terakhir yakni, 2020-2023, laporan terkait kepolisian konsisten menempati “peringkat teratas” sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan. Pada 2020, Ombudsman merilis laporan bahwa Kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak dilaporkan ke Ombudsman, dengan jumlah pengaduan sebanyak 699 Laporan. Pada 2021 terdapat 676 laporan terkait dengan Kepolisian. Tahun 2022, terdapat 683 laporan terkait kepolisian. Pada Laporan Triwulan pertama di 2023, terdapat 172 laporan, dan Laporan Triwulan kedua pada 2023, terdapat 156 laporan.

Aduan terkait institusi Polri yang diterima dan dirangkum Kompolnas sampai pada September 2023 saja, juga menunjukan data yang lebih masif lagi, yakni 1.150 pengaduan. Dengan rincian perilaku pelayanan buruk, penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, perlakuan diskriminatif, hingga penggunaan diskresi yang keliru. Mengacu pada catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada tahun 2022, polisi, masih menduduki posisi sebagai aktor dominan pelaku kekerasan terhadap


      1. “Institusi Kepolisian Menempati Peringkat Teratas dalam Aduan Pelanggaran HAM 2023”, terbit 25 Januari 2024: https://www.kompas.id/baca/foto/2024/01/25/institusi-kepolisian-menempati-peringkat-teratas-dalam-aduan-pelanggaran-ham-2023
      2. “Polri Kembali Paling Banyak Diadukan Melanggar HAM”, terbit 12 April 2023, website: “https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/04/12/polri-kembali-paling-banyak-diadukan-melanggarham”
      3. Ibid.
      4. Kompolnas Terima 1.150 Aduan di 2023, Soroti Komunikasi-Transparansi-Polri: https://news.detik.com/berita/d-6962330/kompolnas-terima-1-150-aduan-di-2023-soroti-komunikasi-transparansi-polri


    jurnalis dengan jumlah 15 serangan. Bahkan, pada 2020, di saat peliputan aksi demonstrasi menentang Omnibus Law UU Cipta Kerja, AJI Indonesia mencatat sedikitnya terdapat 28 jurnalis mengalami kekerasan oleh polisi.

    Terkait praktik pengadaan barang-barang misalnya, dalam perjalanannya kerap ditemui praktik yang mengarah pada tindakan korupsi. Temuan ICW pada Juli 2023 menunjukan bahwa pengadaan amunisi dan gas air mata di masa pemerintahan Jokowi berpotensi mengarah pada praktik tender fiktif dengan memenangkan perusahaan boneka dan mark up harga. Tidak berhenti di situ, para pejabat tinggi Polri juga kerap terlibat dalam
    bisnis kotor “bawah tanah” semisal Konsorsium 303. Tidak terkecuali praktik menyimpang dan penyalahgunaan kekuasaan polisi dari jenderal hingga bintara kepolisian yang kerap “takluk” di hadapan narkotika, sebut saja Irjen Teddy Minahasa dan AKP Andri Bustami yang bahkan divonis penjara seumur hidup hingga hukuman mati.

    Hasil survei kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap institusi penegak hukum yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023 menempatkan Kepolisian pada tempat terendah dengan 64%. Selain permasalahan yang sudah dijabarkan sebelumnya, ketidakpercayaan juga dipicu oleh korupsi di Kepolisian. Hasil survei tersebut paralel dengan hasil survei yang juga dilakukan LSI pada tahun 2023 terkait dengan Tingkat Kepercayaan Masyarakat Terhadap Lembaga Pemberantasan Korupsi, dimana Kepolisian juga menduduki urutan terendah dengan 61%.

    Berbagai data dan deretan temuan tersebut menempatkan kepolisian sebagai institusi yang memiliki masalah besar. Di tengah transisi estafet kekuasaan pemerintahan Jokowi ke Calon Presiden terpilih Prabowo Subianto, DPR secara tiba-tiba menginisiasi RUU Polri. Namun, keberadaan RUU Polri yang seharusnya digagas guna menyelesaikan persoalan-persoalan fundamental yang terjadi di tubuh kepolisian tersebut seperti perihal pengawasan, malah tidak mendapat tempat di dalam RUU ini. RUU Polri justru makin menjadikan Polri sebagai institusi yang rakus kewenangan dan memosisikannyavkian “superbody”. Di samping itu, RUU Polri secara substansi tidak memiliki agendavmemperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan


        1. Polisi Masih Jadi Aktor Kekerasan Terhadap Jurnalis di Tahun 2022, AJI Desak Kapolri Tindak Anggotanya Secara Hukum: https://www.suara.com/news/2023/01/16/162708/polisi-masih-jadi-aktor-kekerasan-terhadap-jurnalis-di-tahun-2022-aji-desak-kapolri-tindak-anggotanya-secara-hukum,
        2. AJI: 28 Jurnalis Alami Kekerasan Oleh Polisi Saat Liput Demo Omnibus Law: https://nasional.tempo.co/read/1394697/aji-28-jurnalis-alami-kekerasan-oleh-polisi-saat-liput-demo-omnibus-law
        3. Kepercayaan Terhadap Polri Paling Rendah Dibanding Lembaga Penegak Hukum Lainnya:https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/02/kepercayaan-terhadap-polri-paling-rendah-dibanding-lembaga-penegak-hukum-lainnya
        4. LSI: Kepercayaan Masyarakat Terhadap KPK dalam Pemberantasan Korupsi Paling Tinggi:https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/03/lsi-kepercayaan-masyarakat-terhadap-kpk-dalam-pemberantasan-korupsi-paling-tinggi


      yang pada gilirannya akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum.

      Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan yang tidak kalah membahayakan, RUU Polri ini secara simultan juga dapat memfasilitasi kebangkitan dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian sebagai aktor politik (political actor) yang menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan paska reformasi.

      Selain itu, dengan berbagai rancangan pasal baru dan perluasan kewenangan, RUU Polri bukannya membenahi institusi Polri dan merancang Polri menjadi lembaga yang profesional dan akuntabel namun justru membuat Kepolisian nampak menjadi institusi superbody. Sayangnya berbagai penambahan kewenangan yang dimuat tidak disertai dengan pengaturan yang tegas dan ketat mengenai mekanisme pengawasan terhadap
      pelaksanaan berbagai kewenangan aparatur kepolisian. Berbagai kewenangan tambahan yang disisipkan dalam RUU Polri bahkan berada di luar
      tugas utama Polri yang diatur oleh Konstitusi yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

      Berdasarkan kajian terhadap draf revisi UU Polri yang diterima oleh masyarakat sipil terdapat berbagai catatan kritis terhadap pasal-pasal baru revisi UU Polri yang
      bermasalah, diantaranya adalah sebagai berikut:

      1. Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negara atas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kewenangan atas Ruang Siber tersebut disertai dengan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan memperlambat akses Ruang Siber untuk tujuan keamanan dalam negeri. Sepanjang sejarahnya, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet digunakan untuk meredam protes dan aksi masyarakat sipil, seperti yang dilakukan pada tahun 2019 di Papua dan Papua Barat—sebuah tindakan yang menurut Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Campur tangan Polri dalam tindakan membatasi Ruang Siber ini akan semakin mengecilkan ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi publik, khususnya di isu-isu yang mengkritik pemerintah. Selain itu, hadirnya pengawasan secara eksesif pada ruang siber juga berpotensi melanggar hak atas privasi warga negara serta hak untuk memperoleh informasi serta berpotensi menyebabkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN)
      2.  RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polri sampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Pasal 16B RUU Polri mengatur perluasan terhadap kewenangan Intelkam dengan memperbolehkan Intelkam Polri melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak adanya definisi dan penjelasan mengenai istilah “Kepentingan Nasional” yang dimaksud, berpotensi memungkinkan Polri untuk mengawasi setiap kegiatan warga negara yang bersuara kritis terhadap pemerintah atau siapapun dinilai perlu diawasi karena alasan “gangguan keamanan.” Selain itu, terdapat kemungkinan Kepolisian menyimpangi prinsip-prinsip HAM dalam implementasi Pasal tersebut, karena Kepolisian memiliki kewenangan diskresi yang sangat luas sehingga dengan dalih “kepentingan nasional”, Kepolisian dapat bertindak menurut penilaian sendiri, ceruk subyektifitas tersebut memberikan ruang yang sangat besar penyalahgunaan wewenang penggunaan kekuatan berlebih secara eksesif yang dalam praktiknya dapat mengarah kepada pelanggaran HAM. Kewenangan untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan yang mengancam “Kepentingan Nasional” kemudian juga diperkuat dengan yang memperluas fungsi intelkam Polri sehingga mampu untuk meminta keterangan dari lembaga-lembaga termasuk kementerian dan termasuk memeriksa aliran dana. Kewenangan pemeriksaan aliran dana ini pun akan tumpang-tindih dengan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
      3. Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaan karena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebut dilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan, padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturan perundang-undangan mengenai penyadapan. Selain perluasan kewenangan Intelkam, Pasal 14 ayat (1) huruf o memberikan Polri kewenangan untuk melakukan penyadapan Kewenangan untuk melakukan penyadapan tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.
      4. Revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator. Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup. Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana termaktub dalam Pasal 16 ayat (1) huruf n Revisi UU Kepolisian. Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian. Diaturnya perihal penyelidikan dan penyidikan dalam RUU Polri juga nampak mendahului dan tidak sepenuhnya selaras dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), yang proses pembahasannya masih menggantung sejak 2014. Pemerintah seharusnya mendahulukan agenda pembahasan RKUHAP dan menyelaraskan substansi dari RUU Polri dengan RKUHAP. KUHAP sendiri merupakan undang-undang utama yang mengatur perihal Sistem Peradilan Pidana dan KUHAP yang kini berlaku telah berlaku selama 43 tahun sehingga urgensi terhadap pembaruannya seharusnya didahulukan oleh pemerintah. Pada tahap pelaksanaan tugas, terdapat kekhawatiran bahwa seluruh proses penyelidikan dan penyidikan harus mendapat petunjuk dari Kepolisian sehingga berpotensi mengintervensi penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh KPK serta penyidikan kejahatan lingkungan hidup yang membutuhkan petunjuk langsung dari Kepolisian. Dampaknya tidak sederhana, hal ini berpotensi dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa pada proses praperadilan dengan merujuk Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian dengan isi Kepolisian memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya. Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) huruf p Revisi UU Kepolisian, Kepolisian menerima hasil Penyelidikan dan/atau Penyidikan dari Penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya untuk dibuatkan surat pengantar sebagai syarat sah kelengkapan berkas perkara yang akan diserahkan kepada penuntut umum. Rancangan perluasan kewenangan di bidang penyidikan tersebut menimbulkan permasalahan, yaitu Polri menjadi lembaga penegakan hukum tertinggi terhadap lembaga yang lain dalam bidang penyidikan. Hal ini tentu mengganggu independensi KPK serta kementerian lain yang tidak membutuhkan rekomendasi Kepolisian dalam meneruskan perkara ke Kejaksaan selaku Penuntut Umum yang selanjutnya ke pengadilan.
      5. Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanya justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali.
      6. Revisi UU Kepolisian akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memiliki dasar dan urgensi yang jelas. Dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian. Ketentuan ini juga harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh berkaitan dengan pengesahan RUU ASN maupun RUU Kementerian Negara yang diduga akan memberikan legalisasi praktik “dwifungsi ABRI” yang mengizinkan Anggota Polri menduduki jabatan sipil di Kementerian Lembaga.
      7. Revisi UU Polri juga menambah daftar kewenangan yang tidak jelas peruntukannya dan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara kementerian/lembaga negara. Pasal 14 Ayat 1 Huruf (e) menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional sehingga menimbulkan ketidakjelasan tentang apa yang akan dilakukan dan bersifat tumpang-tindih dengan kewenangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 14 Ayat 2 Huruf (c) juga memberikan kewenangan Polri untuk menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city) sehingga memberikan kewenangan tata kelola kota yang terlalu berlebihan. Rencana pemberian Kewenangan kepada Polri dalam tata kelola Smart City juga menunjukkan bahwa rancangan smart city ala pemerintah mengutamakan pendekatan keamanan yang bertumpu pada pengarusutamaan sekuritisasi.
      8. Meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian. Jika RUU Polri secara serius bermaksud menghasilkan institusi Kepolisian yang profesional, akuntabel dan bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM maka sudah seharusnya RUU Polri juga mengatur perihal oversight mechanism yang kuat terhadap institusi Kepolisian.
      9. Proses pembahasan Revisi UU Polri terkesan terburu-buru dan mengabaikan secara total partisipasi publik. DPR secara tiba-tiba menginisiasi Revisi UU Polri, meskipun berdasarkan data resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), revisi UU Polri justru tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024. Semangat DPR RI dalam melakukan revisi ini berbanding terbalik dengan 20 tahun pengabaian DPR terhadap Rancangan Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) atau 14 tahun pengabaian RUU Masyarakat Adat termasuk RUU KUHAP yang mangkrak. Dengan melihat pola pembentukan kebijakan pro-oligarki atau kepentingan pemilik modal sebelumnya, semisal UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020, revisi UU Minerba di tahun 2020, hingga pembentukan UU Omnibus Law Cipta Kerja maupun UU Omnibus Law Kesehatan kami menduga bahwa revisi ini akan bernasib sama: Bukan untuk kepentingan rakyat, dikebut dan disahkan dengan cara-cara tertutup dan minim partisipasi bermakna dari publik.

      Setelah mencermati substansi RUU Polri, kami, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police) menyatakan sikap sebagai berikut:

          1. Menolak Keras Revisi UU Polri berdasarkan inisiatif DPR-RI;
          2. Menuntut DPR maupun Pemerintah untuk segera menghentikan pembahasan tentang Revisi UU Polri pada masa legislasi ini;
          3. Menuntut DPR dan Presiden untuk tidak menyusun UU secara serampangan hanya untuk kepentingan politik kelompok dan mengabaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya sejalan dengan prinsip demokrasi dan negara hukum. Pembentukan UU baru semestinya memperkuat cita-cita reformasi untuk penguatan sistem demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia dalam rangka melindungi warga negara bukan justru sebaliknya mengancam demokrasi dan hak asasi manusia;
          4. Mendesak DPR untuk memprioritaskan pekerjaan rumah legislasi lain yang lebih mendesak seperti Revisi KUHAP, RUU PPRT, RUU Perampasan Aset, RUU Penyadapan, RUU Masyarakat Adat dan lain-lain;
          5. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk melakukan evaluasi yang serius dan audit yang menyeluruh pada institusi Kepolisian dengan melibatkan masyarakat sipil dan lembaga HAM negara;
          6. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk memperkuat pengawasan kerja Kepolisian, baik dalam hal penegakan hukum, keamanan negara, maupun pelayanan masyarakat, yang mampu memberikan sanksi tegas kepada individu pelaku dan juga perbaikan institusional untuk mencegah pelanggaran serupa terjadi pada masa mendatang.

        Jakarta, 2 Juni 2024

        Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police)

            1. AJAR (Asia Justice and Rights)
            2. AJI Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen)
            3. Amnesty
            4. SAM
            5. HRWG (Human Rights Working Group)
            6. ICJR (Institute for Criminal Justice Reform)
            7. ICW (Indonesia Corruption Watch)
            8. IJRS (Indonesia Judicial Research Society)
            9. IM57+ Institute
            10. Imparsial
            11. KontraS
            12. Kurawal Foundation
            13. LBH Jakarta
            14. LBH Masyarakat
            15. LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan)
            16. PBHI Nasional
            17. PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan)
            18. SAFEnet
            19. Themis Indonesia
            20. TII (Transparansi Internasional Indonesia)
            21. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)

          Skip to content