Rilis Pers – Bebaskan Reyndhart Siahaan di Kasus Ganja Medis

Kembali lagi terjadi kasus hukum akibat menggunakan narkotika jenis tanamanan (ganja) untuk kebutuhan Medis. Setelah kasus ganja medis yang sempat populer yakni kasus Fidelis Arie di tahun 2017 karena menggunakan ganja untuk mengobati istirinya yang mengidap Syringomyelia. Kini kasus hukum terkait ganja medis, menimpa Reynhardt Siahaan yang didakwa atas penggunaan ganja yang kini menunggu vonis dari Pengadilan Negeri (PN) Kupang. Seperti diberitakan di berbagai media, Reynhardt mengalami gangguan saraf terjepit di 2015. Di 2018, penyakit tersebut kembali kambuh. Kemudian dia menggunakan ganja untuk meredakan rasa sakitnya. Kini Renyhardt harus menghadapi proses hukum.

Walaupun dalam UU Narkotika kita melarang penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan (Pasal 8 ayat 1), namun perlu diingat bahwa original intent dari UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) justru bertujuan untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan, sebagaimana tertulis dalam tujuan dari UU Narkotika pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika.

Sebagaimana kita tahu jika UU Narkotika Indonesia masih kerap mengkriminalisasi penggunaan narkotika. Dalam kasus yang menimpa Fidelis, dan kini dialami Reynhart, sudah seharusnya pemerintah serta Majelis Hakim (dalam kasus Reynhart) mengedepankan prinsip hak atas kesehatan danmengutamakan asas keadilan dan kemanfaatan hukum.

Rilis lengkap dapat teman-teman lihat di tautan ini

Crisis Response Mechanism (CRM) Coalition – Job Vacancy: Program Manager & Finance Manager

Koalisi CRM (Crisis Response Mechanism) yang terdiri dari LBH Masyarakat (LBHM), Arus Pelangi (AP), Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA), Sanggar Waria Remaja (SWARA) dan United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), membuka kesempatan kepada siapa saja yang berminat untuk membantu kerja-kerja advokasi kami dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial bagi hak-hak kelompok identitas seksual, gender, dan karakteristik seks yang dimarjinalkan di Indonesia.

Posisi yang dibutuhkan:

  • Program Manager:

a. Diutamakan individu yang merupakan bagian dari komunitas seksual, gender, dan karakter seksual yang termarjinalkan;
b.  Pernah bekerja di isu dan/atau organisasi yang mendorong hak-hak kelompok seksual, gender, dan karakter seksual yang termarjinalkan;
c.   Memiliki pengalaman dalam merancang, mengelola dan mengevaluasi program, setidak-tidaknya 3-5 tahun;
d. Memiliki perspektif yang progresif terhadap pemajuan HAM, SOGIESC, dan feminisme;
e. Menguasai aplikasi Microsoft Office (excel, word, dan powerpoint);
f. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan presentasi yang baik;
g. Memiliki kemampuan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris yang memadai.

  • Finance Manager:

a.    Diutamakan individu yang merupakan bagian dari komunitas seksual, gender, dan karakter seksual yang termarjinalkan;
b.    Memiliki perspektif yang progresif terhadap pemajuan HAM, SOGIESC, dan feminisme;
c. Memiliki pengalaman mengelola keuangan program di sektor pembangunan dan nonprofit selama 3-5 tahun;
d.    Berpengalaman dalam menjalankan audit keuangan lembaga dan proyek, serta pelaporan pajak;
e. Menguasai aplikasi Microsoft Office (excel, word, dan powerpoint);
f.    Memahami dan berpengalaman di dalam melaksanakan sistem perpajakan di Indonesia;
g. Mempunyai kemampuan berkomunikasi dan presentasi yang baik;
h. Memiliki kemampuan berbicara dan menulis dalam Bahasa Inggris yang memadai.

Untuk informasi dan syarat pendaftaran silahkan lihat pengumuman perekrutan dengan klik di sini

CSO Report: Review of Indonesia Drug Policy – Submmision to The Human Rights Comittee, 129th session.

LBHM, ICJR dan HRI bersama-sama menyusun laporan tentang situasi penegakan hukum dan HAM dalam kasus narkotika di Indonesia. LBHM bersama organisasi lainnya mendapatkan kesempatan untuk melaporkan temuannya ke dalam Rapat Komite HAM yang ke 129.

Dalam laporan ini menyertakan beberapa laporan tentang situasi Hukum dan HAM di Indonesia khususnya dalam isu narkotika seperti:

  1. Hukuman Mati dalam kasus narkotika,
  2. Extrajudicial killing dalam kasus narkotika,
  3. penyiksaan dan perlakuan buruk dalam kasus narkotika,
  4. Hukuman yang tidak proporsional dan situasi pemenjaraan dalam kasus narkotika,
  5. Penahanan dan perawatan wajib,
  6. Perlakuan buruk di pusat rehabilitasi dan kurangnya pemantauan.

Untuk melihat laporan lengkapnya, teman-teman silahkan mengaskes dokumennya di sini

CSO Report: Review of Indonesia Drug Policy – Submmision to The Human Rights Comittee 129th

Harm Reduction International, the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) and LBH Masyarakat (LBHM) welcome the opportunity of reporting to the Human Rights Committee ahead of its adoption of the List of Issues Prior to Reporting for the review of Indonesia, at its 129th Session.

This submission will assess the performance of Indonesia regarding its obligations under the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), with a specific focus on the country’s drug polic. Regarding:

  1. The imposition of the death penalty for drug offences (Art. 6, 7, 14, 26);
  2. Extrajudicial killings in the context of anti-drug operations and lack of accountability (Art. 2, 6, 7);
  3. Torture and ill-treatment in drug-related cases (Art. 7, 14);
  4. Disproportionate punishment for drug offences, and conditions of detention in prison (Art. 7, 9, 10, 14);
  5. Compulsory drug detention and treatment (Art. 7, 9, 10); and
  6. Ill-treatment in private drug detention centres and lack of monitoring (Art. 2, 7, 9, 10).

Please check the full version report in here

Rilis Pers – Hentikan Rantai Kekerasan, Fokus Pada Korban (Menyikapi Kasus Perundungan Yang Dialami Ferdian Paleka)

Ferdian Paleka seorang konten kreator mengunggah video yang bertujuan untuk merendahkan derajat kelompok transpuan menuai kecaman dari publik. Perbuatan Ferdian termasuk dalam ujaran kebencian menyasar kelompok rentan yang sayangnya kita tidak memiliki payung hukum untuk menjawab persoalan tersebut. Aparat penegak hukum pun langsung merespon tindakannya tersebut direspon. Ferdian Paleka pun justru dijerat dengan pasal-pasal UU No 11 tahun 2008 tentan Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)–UU berisi pasal-pasal karet yang kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sayangnya Ferdian (pelaku) mengalami tindakan perundungan yang diduga berada di Rumah Tahanan hal ini adalah preseden buruk yang terjadi berulang (repetatif) dala sistem peradilan pidana di Indonesia. Terlepas dari perlakuan keji yang telah dilakukan oleh tersangka dan dua temannya terhadap para korban transpuan, dalam hal ini negara tetap perlu mengambil langkah tegas dalam menjamin hak-hak tersangka di dalam tahanan.

Simak rilis pers lengkapnya di tautan berikut

Rilis bersama, Koalisi Pemantau Peradilan.
(IJRS, KontraS, PKBI, LBH Masyarakat, PSHK, YLBHI, ICJR, ELSAM, LBH Pers, PBHI, LBH Jakarta, LeIP, Institut Perempuan, LBH Bandung, HRWG, Imparsial)

Policy Paper – Mengimbangi Sekuritisasi Narkotika: Tinjauan Singkat atas Praktik Pendekatan Keamanan Dalam Penanggulangan Narkotika

Pada tahun 2015, Presiden Jokowi memosisikan kebijakan penanggulangan narkotika ke dalam kerangka perang terhadap narkotika (war on drugs). Institusi keamanan, dalam hal ini BNN dan Polri, menafsirkan narasi keras tersebut dengan gencarnya pengungkapan-pengungkapan kasus narkotika.

Catatan media menyebutkan bahwa sepanjang 3 (tiga) tahun terakhir dimulai pada tahun 2017, BNN mengungkap 46.537 kasus narkotika dan menangkap 58.365 tersangka.1 Pada tahun 2018 terdapat 40.553 kasus yang diungkap Polisi dan BNN yang melibatkan 53.251 tersangka2 , sedangkan pada tahun 2019, BNN, Polri, TNI, Bea Cukai dan Imigrasi merilis sebanyak 33.371 kasus narkotika dan menangkap 42.649 orang.

Selama masa ” peperangan” itu pula, LBHM, Manesty Internasional Indonesia, dan KontraS mencatat adanyanya insiden penembakan dalam penanganan kasus narkotika, sepanjang tahun 2017 terdapat 215 insiden penembakan. Hal ini terjadi dikarenakan pendekatan keamanan yang masih dipakai dalam penanganan kasus narkotika. Dampak lain dari pendekatan keamanan ini ialah Overcrowd penjara di Indonesia, dengan presentasi total penghuni narkotika (Desember, 2019) di penjara sebesar 49,20%.

Munculnya banyak permasalahan dalam penerpaan pendekatan keamanan dalam kasus narkotika, seharusnya membuat pihak keamanan berpikir untuk beralih menggunakan pendekatan yang lebih humanis dalam penanggulangan kasus narkotika.

Kertas Kebijakan dapat teman-teman baca pada link di bawah ini:
Mengimbangi Sekuritisasi Narkotika: Tinjauan Singkat atas Praktik Pendekatan Keamanan Dalam Penanggulangan Narkotika

Monitoring dan Dokumentasi 2020 – Penjara Rentan Kematian: Carut-Marut Klasifikasi dan Manajemen Pemasyarakatan

Permasalahan kematian pada institusi pemasyarakatan agaknya menjadi isu yang tak kunjung selesai dari tahun ke tahun. Sejak 2016, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) telah melakukan monitoring dan dokumentasi media tentang kematian di institusi pemasyarakatan.

Tragedi kematian dalam institusi pemasyarakatan adalah problem yang bersifat repetitif. Pada tahun 2019, terjadi penurunan angka kematian, dari 123 korban (dari 116 kasus) pada tahun 2018 menjadi 66 korban (dari 64 kasus). Penurunan angka kematian tersebut belum tentu menunjukkan perbaikan signifikan pada institusi pemasyarakatan.

Belum lagi kondisi Overkapasitas Penjara di Indonesia yang bukalah situasi yang baik bagi narapidana baik secara sisi kesehatan fisik dan mental, maupun sisi keamanan. Yang akhirnya membuat tragedi kematian di dalam lapas terus ada.

Simak laporan lengkapnya di tautan berikut ini

Rilis Pers – Sebagai Kelompok Rentan, Pengguna dan Pecandu Narkotika Harus Segera Dikeluarkan dari Rutan/Lapas

Menurut keterangan Kementerian Hukum dan HAM per 22 April 2020 diketahui bahwa Kementerian Hukum dan HAM telah melakukan pengeluaran dan pembebasan terhadap 38.822 orang Warga Binaan Penjara (WBP) sebagai upaya penanggulangan penyebaran Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia. Kami mengapresiasi kerja pemerintah untuk mencegah penyebaran masif Covid-19 di rutan dan lapas di Indonesia.

Pemerintah juga harus selanjutnya harus mempersiapkan pembebasan terhadap mereka yang termasuk dalam kelompok rentan (para lanjut usia (lansia), ibu hamil atau dengan anak, Anak, WBP dengan penyakit bawaan atau yang sedang dalam kondisi sakit kritis/serius, WBP dengan kondisi gangguan jiwa yang serius, serta pengguna narkotika di dalam rutan dan lapas).

Pandemik Covid-19 seharusnya bisa jadi momentum bagi Pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika yang masih menggunakan penghukuman, dan menjadikan narapidan narkotika sebagai penyumbang overcrowd di penjara terbesar. Per Maret 2020 jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia mencapai 270.466 orang. Padahal, kapasitas rutan dan lapas hanya dapat menampung 132.335 orang–55% WBP berasal dari tindak pidana narkotika, yakni 38.995 orang.

Salah satu yang harus dilakukan Pemerintah adalah melakukan assessment atau penilaian kesehatan termasuk penilaian derajat keparahan penggunaan napza dan resiko yang akuntabel dan komprehensif, termasuk penilaian adiksi dan risiko pada semua WBP yang berasal dari kebijakan “rancu” narkotika. Dalam hal ini, banyak pengguna dan pecandu narkotika dijerat dengan pasal penguasaan dan kepemilikan UU Narkotika yang menyebabkan mereka diklasifikasikan sebagai “bandar” dan dijatuhi hukuman di atas 5 tahun penjara.

Lalu apalagi yang harus dilakukan Pemerintah? Simak rilis lengkapnya di sini

Rilis bersama oleh ICJR, IJRS, LBH Masyarakat (LBHM), MaPPI FHUI, Rumah Cemara dan Yakeba

Laporan Tahunan 2019

Tahun 2019 sudah dilewati dengan segala permasalahan di dalamnya, tahun 2019 juga bukanlah tahun yang mudah untuk LBHM dan lembaga masyarakat sipil lainnya yang bergerak di isu HAM. Kita menyaksikan betapa konstentasi elektoral di Indonesia telah mengesampingkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan menumpulkan akal sehat. Di tahun yang sama pula eksekutif dan legislatif bersekongkol untuk meloloskan sejumlah RUU bermasalah, yang akhirnya menimbulkan problematik serta penolakan dari masyarakat, yang dituangkan dalam aksi massa besar di depan gedung DPR RI–brutalitas pun diperlihatkan oleh aparat penegak hukum dalam mengamankan aksi massa yang memakan korban dari rekan-rekan mahasiswa dan masyarakat sipil. Tidak luput juga upaya kriminalisasi terhadap teman-teman aktivis, pembiaran tindakan diskriminasi dan stigma terhadap kelompok rentan masih kerap terjadi hingga saat ini.

Namun, LBHM terus bekerja keras melakukan pendampingan (hukum dan non hukum), menyusun strategi advokasi, terus meneliti, dan memproduksi narasi. Publikasi ini adalah refleksi kerja-kerja LBHM satu tahun kebelakang. Kami menemukan tantangan dan meraih beberapa pencapaian. Semuanya, berkat dukungan pihak-pihak yang telah menudukung jerih payah kami.

Untuk membaca publikasi tentang perjalanan kami sepanjang tahun 2019, teman-teman dapat mengunduh laporan tahunan kami di sini.

Rilis Pers – Tunda Pembahasan RUU Bermasalah di DPR: Negara Harus Fokus Pada Perlindungan Kelompok Rentan Dalam Penanganan Covid-19!

Informasi dari rapat paripurna DPR 2 April 2020 yang digelar terbuka mengejutkan masyarakat sipil. Hal itu sehubungan dengan kabar bahwa RKUHP akan segera disahkan. Padahal sampai saat ini saja, tata tertib DPR tentang tindak lanjut dari Surat Presiden terkait carry over belum diketahui kejelasannya oleh masyarakat luas. Berita tentang rencana DPR mengesahkan RKUHP dalam sepekan di masa darurat Covid-19 ini akan menambah catatan buruk DPR dan Pemerintah. Sikap terburu-buru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR saat ini menunjukkan aji mumpung di kala pandemic Covid-19 sedang berlangsung. Langkah tersebut jelas tidak menunjukkan niat baik Pemerintah maupun DPR untuk serius mengedepankan kesehatan warga negaranya.

Tidak hanya RKUHP yang kualitas substansinya akan dikesampingkan jika disahkan saat pandemi berlangsung. Namun ada beberapa RUU lain yang juga akan menjadi polemik, seperti RUU Ketahanan keluarga dan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja. Besar kemungkinan bahwa beberapa RUU tersebut diatas akan mengandung ketentuan yang tidak relevan bagi konteks sosial masyarakat Indonesia kedepan. Selain itu, masih banyak masalah yang timbul dari pasal-pasal yang seharusnya dibahas lebih dalam dan menyeluruh, terutama terkait dengan perempuan dan kelompok marjinal.

Untuk membaca rilis lengkapnya teman-teman dapat mengunduhnya di sini