Skip to content

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Kebijakan yang Paranoid, Kekangan terhadap Disabilitas Psikososial

Ada banyak hal yang masyarakat Indonesia belum sepenuhnya pahami mengenai gangguan jiwa dan orang-orang yang mengidapnya. Baru pada tahun 2014 Indonesia memiliki Undang-Undang Kesehatan Jiwa (UU Keswa) yang berusaha memastikan perlindungan hak terhadap Orang dengan Disabilitas Psikososial (ODP). Sayangnya, masih banyak muatannya yang mendiskriminasi kapasitas ODP. Pengarusutamaan hak ODP melalui kerangka Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga belum paripurna selama amanat peraturan turunan belum terealisasi.

Perkembangan yang lambat ini bukan sepenuhnya kejanggalan regional. Di dunia internasional sekalipun, masalah gangguan jiwa belum mendapatkan jatah kebijakan dan pendanaan karena berbagai alasan. Advokasi internasional pun lalai menyadari bahwa masalah kesehatan jiwa tidak mampu untuk ditangani dengan bertumpu pada pendekatan medis semata melainkan juga pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM).

Ketidakpahaman serta keterlambatan belajar inilah yang menghasilkan stigma-stigma negatif dalam kebijakan-kebijakan kesehatan jiwa Indonesia. Masyarakat sering mempersepsikan ODP sebagai orang yang menakutkan, tidak bisa diprediksikan, dan aneh. Inilah mengapa sekalipun ada upaya-upaya \’menolong\’ ODP, aspek kontrol masih terasa. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penindakan, razia, pengamanan dan penangkapan untuk mengontrol ODP.

Agar bisa terus meningkatkan pengetahuan dan kepekaan kita tentang isu-isu kesehatan jiwa, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan dokumentasi ini. Kami melakukan pemantauan berkaitan dengan ODP dan penegakan hukum. Lebih spesifiknya, kami mencari data-data kekerasan dan/atau pelanggaran hukum yang dilakukan terhadap atau dilakukan oleh ODP sepanjang tahun 2017.

Pemantauan semacam ini bukanlah pengalaman pertama kami. Pada tahun 2016 kami melakukan pemantauan serupa yang menemukan 3445 ODP menjadi korban kekerasan dan 58 kasus ODP dituduh melakukan tindak pidana. Dari hasil laporan tahun kemarin, kami mendapatkan banyak informasi mengenai banyaknya pemasungan, pengamanan paksa, penelantaran, dan penganiayaan terhadap ODP. Kami juga mencatat adanya persoalan ketidakjelasan prosedur penanganan hukum ketika ODP dituduh melakukan tindak pidana agar tetap mampu memberikan keadilan baik bagi korban maupun pelaku.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Oleh karena itu dengan dilanjutkannya dokumentasi di tahun 2017, kami mampu mencatat apakah ada perubahan penanganan kasus-kasus ODP di Indonesia atau tidak dalam kurun waktu satu tahun yang sudah berlalu. Laporan ini diharapkan bisa menjadi basis data baik bagi LBH Masyarakat sendiri ataupun organisasi-organisasi lainnya yang peduli atas masalah kesehatan jiwa dan hak asasi manusia (HAM) untuk melakukan advokasi masa mendatang.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan berikut!

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Bahaya Akut, Persekusi LGBT

Tingginya sentimen publik terhadap kelompok LGBT memicu upaya-upaya untuk mengekslusi kelompok LGBT dalam kehidupan bermasyarakat yang juga mengarah pada persekusi. Tindakan-tindakan pelarangan kegiatan diskusi di ruang akademik, diskriminasi di tempat kerja dan pendidikan hingga usaha untuk mengkriminalisasi LGBT lewat jalur peradilan dan legislasi tampak semakin sering terjadi. Pada tahun 2016, Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) mengajukan pengujian undang-undang hukum pidana ke Mahkamah Konsititusi (MK) dalam upaya mengkriminalkan LGBT. Pada akhir 2017 Mahkamah Konstutusi menolak permohonan tersebut dengan alasan politik hukum pidana bukan merupakan kewenangan MK melainkan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun sikap MK tersebut justru menjadi amunisi baru bagi kelompok konservatif untuk mendorong DPR meloloskan pasal yang mengkriminalisasi LGBT dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP).

Putusan MK tersebut juga membuka kran stigma dan diskriminasi kepada kelompok LGBT. Terlebih karena putusan tersebut keluar menjelang tahun politik nasional. Isu ini menjadi bahan bakar politik populisme kelompok elit politik untuk meraup suara konstituen. Awal tahun 2018, Zulkifli Hasan, politisi Partai Amanat Nasional (PAN), mengawali kembali perang narasi LGBT di media. Dia menuduh lima partai di DPR sebagai pendukung LGBT. Zulkifli melempar tuduhan ini tanpa menjelaskan bagaimana dan apa bentuk dukungan 5 fraksi tersebut terhadap LGBT.3 Meski tuduhan tersebut dibantah oleh semua partai, namun dampaknya terhadap kelompok LGBT tidak terbendung. Di berbagai daerah secara masif dan sistemik bermunculan aksi dan gerakan menolak LGBT. Persekusi terhadap kelompok LGBT juga meningkat tajam terutama kepada kelompok transpuan yang secara ekspresi gender paling mudah diidentifikasi. Sementara itu, Negara dengan pasif menyaksikan masifnya pelanggaran terhadap LGBT. Pengabaian demi pengabaian terhadap pelanggaran hak asasi manusia kelompok LGBT menjadikan negara sebagai bagian dari pelaku yang melanggengkan kekerasan pelanggaran HAM terhadap LGBT.

Sebagai lembaga yang memperjuangkan HAM kelompok marjinal dan korban pelanggaran HAM, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pendokumentasian dan pemantauan stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT melalui pemantauan media. Di tahun 2017, LBH Masyarakat menerbitkan seri monitoring dan dokumentasi yang berjudul “LGBT = Nuklir? Indonesia Darurat Fobia”. Dalam seri monitoring tersebut kami berupaya untuk menyajikan tren pelanggaran HAM yang terjadi pada kelompok LGBT sepanjang tahun 2016. Hal ini kami gunakan dalam melakukan advokasi pemenuhan hak asasi manusia. Berangkat dari masih banyaknya pelanggaran yang terjadi sepanjang tahun 2017, LBH Masyarakat menilai ada kebutuhan untuk melanjutkan monitoring dan dokumentasi pelanggaran HAM terhadap kelompok Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT). Dokumen yang anda baca saat ini adalah laporan hasil monitoring dan dokumentasi yang kami lakukan dalam memantau stigma dan diskriminasi terhadap kelompok LGBT di sepanjang tahun 2017.

Infografis oleh: Astried Permata

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Rilis Pers – Menolak Tuntutan Mati pada Aman Abdurrahman

LBH Masyarakat menyayangkan tuntutan jaksa penuntut umum terhadap Aman Abdurrahman yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana terorisme dan disebut-sebut sebagai pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Aman Abdurrahman dituduh sebagai dalang berbagai serangan teror dan bom di Indonesia, antara lain bom Thamrin dan Kampung Melayu di 2016, dan penembakan Bima di 2017.

Terhadap serangan teror yang disebutkan di atas dan yang baru-baru ini terjadi, LBH Masyarakat turut mengecam keras dan berbelasungkawa atas jatuhnya korban jiwa. Namun demikian, LBH Masyarakat meyakini bahwa menghukum mati pelaku terorisme hanya melanggengkan lingkar kekerasan dan tidak menyelesaikan akar kejahatan terorisme, serta tidak menghentikan meluasnya paham radikalisme. Setelah eksekusi mati terhadap Amrozi, Imam Samudra dan Ali Gufron di 2008, aksi terorisme tidak kunjung surut dan paham ekstremisme juga masih menyeruak. Tuntutan hukuman mati terhadap pelaku terorisme yang justru tidak takut mati dan siap melakukan aksi bunuh diri hanya akan menempatkan pelaku sebagai martir dan berpotensi menarik simpati dari banyak orang.

Kita pasti geram dan marah terhadap maraknya aksi terorisme yang ramai terjadi belakangan ini. Tetapi respon kita terhadap serangan keji tersebut hendaknya tidaklah emosional dan harus tetap berlandaskan pada strategi yang komprehensif, terukur, berbasis bukti, dan tetap menghormati norma-norma hak asasi manusia.

Jakarta, 18 Mei 2018

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Ombudsman Perlu Periksa Tingginya Angka Kematian dalam Penjara

LBH Masyarakat menyayangkan masih maraknya kasus kematian di dalam penjara yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selama 2016-2017. Kematian-kematian ini, baik karena kelalaian ataupun kesengajaan, adalah bentuk kegagalan institusi pemerintah dalam melindungai Hak Asasi Manusia (HAM) tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).

Pada 2016, LBH Masyarakat mencatat sekurang-kurangnya terjadi 120 kematian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan (Rutan), dan Ruang Tahanan Polri. Meskipun jumlah kasus yang kami catat menurun di 2017 menjadi 83 kasus, permasalahan kematian dalam penjara masih memiliki akar-akar permasalahan yang sama.

Penyakit menjadi penyebab kematian terbanyak di penjara yang diwakilkan oleh 47,5% kasus di 2016 dan 60.25% kasus di 2017. Melihat banyaknya kasus penyakit berat yang membutuhkan penanganan serius, tahanan dan WBP membutuhkan layanan yang berkualitas baik di dalam maupun luar penjara. Sayangnya, tidak pernah ada mekanisme pengawasan yang efektif dan memadai untuk memastikan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan di dalam maupun di luar institusi penghukuman. Investigasi Tempo di 2017 justru membongkar bagaimana narapidana kasus korupsi bisa memanfaatkan layanan rujukan kesehatan keluar untuk tujuan plesir.

LBH Masyarakat melihat bahwa rendahnya sanitasi, kurangnya sirkulasi udara, dan minimnya asupan nutrisi turut berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan tahanan. Kondisi penjara Indonesia yang overcrowded akut menjadi salah satu akar masalah banyaknya penghuni penjara yang menderita gangguan pernapasan dan gangguan pencernaan sebelum mereka meninggal.

Bunuh diri menjadi penyebab kedua terbesar kematian dalam penjara di mana terdapat setidaknya 43 kasus bunuh diri selama dua tahun. Permasalahan bunuh diri merupakan permasalahan yang kompleks yang harus dilihat dalam banyak aspek, salah satunya adalah kesehatan jiwa. Lapas, Rutan, dan Polri seharusnya memastikan layanan kesehatan yang komprehensif, bukan hanya kesehatan fisik melainkan juga jiwa.

Pengalaman LBH Masyarakat dalam mendampingi WBP yang memiliki gangguan jiwa menunjukkan ketidaktersediaan layanan psikoterapi yang memadai di lapas. Akses untuk mendapatkan perawatan di luar penjara pun sulit untuk dikabulkan. Hal ini menandakan adanya pengabaian permasalahan kesehatan jiwa oleh Ditjenpas dan Polri yang berpotensi menyebabkan permasalahan bunuh diri.

Dari 203 kasus yang terkumpul sepanjang 2016-2017, LBH Masyarakat juga menemukan tiga belas kasus kematian akibat kekerasan. Lima dari tiga belas kasus melibatkan pejabat negara ketika tindakan kekerasan dilakukan. Sistem penahanan dan pemasyarakatan seharusnya menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan.

Baik Ditjenpas dan Polri telah memiliki peraturan-peraturan untuk menjaga HAM tahanan dan WBP. Polri harus menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sementara Ditjenpas menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan di rutan dan lapas di bawah payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Peraturan-peraturan ini beserta peraturan lainnya seharusnya mencukupi untuk menjadi landasan hukum perlindungan hak tahanan dan WBP selama berada di dalam penjara.

Terhadap uraian di atas, LBH Masyarakat memandang perlu segera tersedia mekanisme inspeksi imparsial yang berkala dan mendadak terhadap institusi penahanan yang cenderung tertutup dan tanpa pengawasan eksternal. Mekanisme ini berpotensi meminimalisir praktik-praktik pelanggaran HAM di dalam penjara sekaligus memberikan rekomendasi pembenahan institusional. Di samping itu, perlu juga disediakan mekanisme pengaduan yang efektif sebagai sarana koreksi apabila terjadi pelanggaran HAM yang dialami oleh tahanan dan WBP.

LBH Masyarakat melihat bahwa Ombudsman Republik Indonesia, sebagai lembaga negara yang independen, bisa mengisi kekosongan mekanisme koreksi yang ada. Oleh karena itu, LBH Masyarakat mendorong Ombudsman untuk melakukan investigasi independen terhadap kematian-kematian yang terjadi di Lapas, Rutan, dan Ruang Tahanan Polri sepanjang tahun 2016-2017. Investigasi ini bisa menjadi langkah awal perbaikan yang lebih sistematis guna mengurangi fenomena kematian di dalam penjara yang jarang terekspos. Bagaimanapun penjara seharusnya menjadi tempat pembinaan, bukan penghabisan.

 

Jakarta, 6 Mei 2018

Albert Wirya – Peneliti LBH Masyarakat

 

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Perempuan dalam Jerat Sindikat

Isu perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir mencuat ketika Mary Jane Veloso dan Merri Utami masuk ke dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahun 2015 dan 2016. Dalam berbagai kesempatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keterlibatan perempuan sebagai kurir narkotika bukan lah hal yang baru. Rani Andriani, yang telah dieksekusi mati 2015 lalu, tertangkap akan mengantarkan narkotika di Soekarno-Hatta pada tahun 2000. Begitu juga dengan Merri Utami yang ditangkap pada tahun 2001.

Tidak ada definisi yang jelas mengenai kurir narkotika, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sekalipun. Terminologi ini dibuat oleh media, pemerintah dan masyarakat dan digunakan secara luas. Pada praktiknya, perempuan kurir narkotika akan dipidana dengan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika yang melarang perbuatan “menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan” narkotika. Laporan ini mendefinisikan kurir sebagai seseorang yang mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya. Laporan ini juga akan menggunakan frase “perempuan kurirnarkotika” untuk menjelaskan perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap sebagai kurir narkotika, semata-mata untuk memudahkan penulisan, tanpa bermaksud untuk memberikan label negatif kepada perempuan.

LBH Masyarakat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mendampingi 9 (sembilan) kasus perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika, 5 (lima) di antaranya terlibat sebagai kurir. Satu perempuan dipidana dengan pidana mati, satu perempuan dihukum seumur hidup, tiga perempuan dipidana dengan pidana penjara selama 12, 14 dan 16 tahun penjara. Selama mendampingi kasus-kasus tersebut, kami menemukan pola yang serupa muncul berulang kali, yaitu keterlibatan akibat disuruh atau diperdaya oleh pasangan intim, berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah dan pernah mengalami kekerasan domestik.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Untuk mendapat gambaran yang lebih holistik dan komprehensif mengenai latar belakang perempuan kurir narkotika, pola perekrutan serta modus yang sering digunakan, dan juga relasi perekrut dengan perempuan, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan berita perempuan kurir narkotika sepanjang tahun 2017. Laporan pemantauan ini juga merupakan bagian dari advokasi perlindungan perempuan, yang seringkali menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang dalam peredaran gelap narkotika, namun, dijatuhi dengan hukuman berat bahkan hingga pidana mati.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Press Release – How Fortunate It Is to be a Member of Parliament’s Kid!

In principle, LBH Masyarakat agrees with the stance of police in returning home the son of Henry Yosodiningrat, a Member of Parliament from the Indonesian Democratic Party of Struggle and founder of the anti-drugs NGO Granat, after the child tested positive for drugs. LBH Masyarakat supports drug dependency recovery efforts for any user. On the other hand, LBH Masyarakat also hopes such measures can be applied fairly by police to all other levels of society – not just to celebrities or those who possess political power.

Henry Yosodiningrat has on several occasions openly indicated his support for the imprisonment of people who use drugs. This week’s case, which positions his child as a people who use drugs, should make us collectively understand how important it is to decriminalise the use, possession and purchase of limited amounts of drugs.

It is not at all suitable for the problem of drug use/dependence to be solved through law enforcement. This only drains budgets and fills prisons, while our law enforcement infrastructure is needed for other, far more important matters: the disclosure of corruption cases and the resolution of the Novel Baswedan case, for example.

Data from the Ministry of Law and Human Rights itself shows there are at least 28,123 people who use drugs in prison as of March 2018 – a figure which it turns out does not yet include 12 regional offices who are yet to report people who use drugs who have been erroneously declared “dealers” by the courts.

Henry Yosodiningrat also regularly gives his support to the imprisonment of people who have only recently tried or occasionally use drugs. The frequency of someone’s drug use should not necessarily remove the state’s obligation to fulfill their right to health, either through consultation with a specialist or participation in a rehabilitation program.

It is crucial to keep people who use drugs removed from law enforcement intervention. Decriminalisation means people who use drugs will no longer need to access rehabilitation services in secret and can openly talk about the problem they are experiencing: either to health services, friends or, of course, their parents.

If we want families to also be pillars of support in order to extend the scope of health services for people who use drugs, the government must quickly develop policy supportive of decriminalisation. It is important for Henry Yosodiningrat, Granat, and the Indonesian Democratic Party of Struggle in particular to say loudly and clearly: we need to support people who use drugs, not punish them.

This is a good moment for us to remember how important it is to remove narcotics-related provisions from the draft revised Criminal Code (RKUHP) which will hinder rehabilitation programs, and revise the Narcotics Act, which contains decriminalisation provisions used to guarantee the fulfillment of the right to health for people who use drugs.

 

Yohan Misero – LBH Masyarakat Drug Policy Analyst

 

This press release was translated by Iven Manning.

Rilis Pers – Betapa Beruntung Menjadi Anak Anggota DPR!

LBH Masyarakat, pada dasarnya, menyepakati sikap polisi yang memulangkan anak Henry Yosodiningrat, seorang anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, setelah anak tersebut ditemukan positif mengonsumsi narkotika. LBH Masyarakat mendukung upaya pemulihan ketergantungan pemakai narkotika bagi siapapun. Namun di sisi lain, LBH Masyarakat juga berharap agar tindakan seperti ini juga dapat diterapkan secara adil oleh polisi pada lapisan masyarakat yang lain – tidak hanya pada pesohor atau mereka yang memiliki kekuatan politik.

Henry Yosodiningrat beberapa kali secara terbuka menunjukan dukungannya pada pemenjaraan bagi pemakai narkotika. Kasus yang hari ini menempatkan anaknya sebagai pemakai narkotika seharusnya membuat kita bersama-sama memahami betapa pentingnya dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas.

Permasalahan ketergantungan/pemakaian narkotika tidaklah cocok diselesaikan dengan penegakan hukum. Penegakan hukum hanya menghabiskan anggaran dan memenuhi penjara. Padahal infrastruktur penegakan hukum kita dibutuhkan untuk perkara-perkara lain yang jauh lebih penting: pengungkapan kasus korupsi dan penyelesaian kasus Novel Baswedan misalnya.

Data dari Kemenkumham sendiri memperlihatkan setidaknya ada 28.123 pemakai narkotika yang ada di dalam penjara hingga Maret 2018. Angka sebesar itu saja ternyata belum memasukkan 12 Kanwil yang belum melapor juga pemakai narkotika yang secara keliru diputus pengadilan sebagai “bandar.”

Henry Yosodiningrat juga kerap memberikan dukungan pada pemenjaraan pemakai narkotika terutama bagi mereka yang baru mencoba atau hanya sekali-sekali menggunakan. Seharusnya, frekuensi seseorang menggunakan narkotika tidak serta merta menghilangkan kewajiban negara untuk memenuhi hak atas kesehatannya: entah sekedar berkonsultasi pada pakar atau mengikuti program rehabilitasi.

Menjauhkan pemakai narkotika dari intervensi penegakan hukum menjadi hal yang sangat penting. Dekriminalisasi membuat pemakai narkotika tidak perlu lagi diam-diam mengakses layanan rehabiltasi dan dapat secara terbuka membicarakan masalah yang ia alami: entah pada layanan kesehatan, kawan-kawan, atau – tentu saja – orang tua.

Jika kita ingin agar keluarga juga menjadi tonggak untuk memperluas cakupan layanan kesehatan bagi pemakai narkotika, negara perlu segera membangun kebijakan yang suportif untuk itu: dekriminalisasi. Penting bagi Henry Yosodiningrat, Granat, dan – terutama – PDI Perjuangan bersuara lantang untuk ini: bahwa kita perlu mendukung pemakai narkotika, bukannya menghukum.

Ini momen yang baik bagi kita untuk mengingat betapa pentingnya menghilangkan ketentuan terkait narkotika dari RKUHP, yang mana akan menghambat program rehabilitasi, serta merevisi UU Narkotika yang memuat ketentuan dekriminalisasi guna menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika, karena penjara bukan solusi.

 

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Stigma HIV, Impresi yang Belum Terobati

Kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap ODHA menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Hal ini menyebabkan orang yang beresiko terdampak HIV menjadi enggan melakukan tes HIV. Kesalahpahaman persepsi ini kemudian menjelma menjadi stigma, yang seringkali berujung pada praktek-praktek diskriminasi terhadap ODHA.

Perwujudan stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat dilihat dalam bentuk produk-produk hukum seperti kebijakan dan prosedur administrasi. Produk-produk tersebut sering ditemukan sebagai suatu perangkat yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, tetapi kerap dijumpai implementasinya justru memperkuat praktik-praktik diskriminasi dan pengekalan stigma. Contoh lain dari wujud stigma dan diskriminasi adalah implementasi kebijakan yang justru mendiskreditkan ODHA. Misalnya, dengan menerbitkan regulasi yang membatasi mobilitas ODHA.

Stigma dan diskriminasi jelas menyebabkan implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS tidak dapat dilakukan secara optimal. Dari berbagai sisi, stigma dan diskriminasi memberikan dampak yang sama luasnya, jika tidak lebih luas, dibandingkan dengan HIV itu sendiri. Disadari atau tidak, stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi hidup ODHA, tetapi juga orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Stigma dan diskriminasi juga diperparah oleh faktor-faktor seperti gender, seksualitas dan kelas sosial.

Menyadari kondisi tersebut, LBH Masyarakat merasa perlu untuk melakukan monitor media terhadap pemberitaan tentang stigma dan diskriminasi pada ODHA. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi yang masuk pemberitaan media sepanjang tahun 2017. Harapannya, laporan monitor dan dokumentasi ini dapat membantu memetakan persoalan stigma dan diskriminasi pada ODHA, dan dapat berperan dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat memberikan dampak baik pada program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

 

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Dibutuhkan: Relawan Advokasi dan Pemantauan Media 2018

LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang berdiri sejak 2007. Lebih dari 10 tahun sudah, kami memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan.

Untuk mendukung kerja bantuan hukum, kami juga menulis laporan dan melakukan advokasi kebijakan pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang kerap dipandang sebelah mata. Kerja-kerja kami dapat kamu lihat di situs resmi LBH Masyarakat dan official account kami di Instagram, Twitter, dan Facebook.

Kamu juga dapat terlibat aktif dalam kerja-kerja kami memperjuangkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kami tengah membutuhkan tiga (3) orang relawan untuk membantu kerja advokasi dan pemantauan media yang rutin kami lakukan setiap tahunnya. Kriteria relawan yang kami butuhkan:

  1. Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
  2. Internet-Savvy;
  3. Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  4. Memiliki laptop;
  5. Memiliki motivasi tinggi;
  6. Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa (tidak ada batasan angkatan atau jurusan);
  7. Berkomitmen untuk bekerja selama 300 jam;
  8. Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
    • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
    • sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Albert Wirya (Peneliti LBH Masyarakat) di awirya@lbhmasyarakat.org paling lambat Jumat, 6 April 2018.

Berjuang tak bisa sendirian, kawan-kawan. Seperti kata Martin Garrix dan Dua Lipa, “…scared to be lonely.”  Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian nanti:

because every human matters.

Rilis Pers – Presiden Jokowi, Tarik RKUHP!

LBH Masyarakat mengecam percepatan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan Pemerintah. Hingga saat ini, RKUHP menyisakan persoalan mendasar yakni minimnya pelibatan para pihak yang terkena dampak atas adanya rumusan pasal dalam RKUHP. Hal ini juga diperparah oleh tidak adanya basis data dalam penyusunan rumusan pasal dan penentuan jenis hukuman serta besar dan ringannya hukuman terhadap suatu perbuatan yang dikategorikan tindak pidana. Masalah-masalah ini tercermin pada:

  1. Masih hidupnya rumusan pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dihidupkannya kembali rumusan pasal ini bukan saja tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi dapat dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi;
  2. Adanya dualisme hukum yang berlaku tentang narkotika jika RKUHP diberlakukan yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU 35/2009) dan rumusan pidana narkotika dalam RKUHP itu sendiri. Dualisme regulasi ini dapat melahirkan ketidakpastian hukum dalam mengatur persoalan pengguna narkotika. Padahal dalam UU 35/2009, pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika dijamin. Hal ini disebutkan dalam tujuan dibentuknya UU 35/2009. Kendati UU 35/2009 masih keras dan dominan dalam memilih penjara sebagai jenis hukuman bagi pengguna narkotika tapi masih terdapat jaminan pengguna narkotika mendapatkan pemenuhan hak atas kesehatan melalui rehabilitasi. RKUHP akan membutuhkan banyak waktu dan anggaran untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pengguna narkotika karena perlunya dibentuk aturan turunan. Akibatnya, RKUHP malah semakin melanggengkan penjara sebagai hukuman yang harus diterima oleh pengguna narkotika. Tidak diperhatikannya soal ini menimbulkan persoalan yaitu penghuni penjara yang makin didominasi oleh pengguna narkotika. Masuknya narkotika ke RKUHP ini menunjukan tidak terencananya legislasi, baik di Pemerintah dan DPR, karena di saat yang sama ada juga rencana melakukan revisi UU 35/2009;
  3. Kriminalisasi terhadap pengguna narkotika berdampak juga terhadap laju epidemi HIV yang semakin tidak terkendali. Jauh sebelum adanya RKUHP ini, telah muncul hambatan dalam menekan penanggulangan HIV di kalangan pengguna narkotika. Kriminalisasi pengguna narkotika membuat pengguna narkotika enggan untuk mengakses layanan kesehatan, layanan jarum suntik steril misalnya, karena khawatir dirinya ditangkap karena sekedar membawa jarum suntik. Meski saat ini tren penggunaan narkotika beralih dari heroin ke sabu (metamfetamina), masih ditemukan kasus di mana sabu disuntikan serta meningkatnya hubungan seks berisiko yang memiliki keterkaitan dengan penggunaan sabu;
  4. Pasal lain dari RKUHP yang bermasalah yaitu pelarangan demontrasi alat kontrasepsi. Pelarangan ini merupakan bentuk kemunduran karena secara historis pelarangan demontrasi alat konstrasepsi sudah dicabut. Selain itu, pelarangan ini seakan menempatkan penekanan epidemi HIV yang menjadi tujuan Kementerian Kesehatan tidak diperhatikan. Di luar negeri, Indonesia aktif mempromosikan Sustainable Development Goals (SDGs) yang di dalamnya termaktub program penanggulangan HIV. Maka mengkriminalisasi demonstrasi kondom jelas tidak selaras dengan program Kementerian Kesehatan dan juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas);
  5. Terkait pasal-pasal kesusilaan, Mahkamah Konstitusi juga telah menolak perluasan delik zina dan hubungan seksual konsensual di luar pernikahan. Artinya, tidak ada legitimasi hukum untuk memasukan kembali delik-delik tersebut ke dalam RKUHP. Dirumuskannya delik-delik ini dapat mengkriminalisasi banyak pihak, termasuk orang-orang yang berada di dalam perkawinan yang tidak dicatat karena dianggap zina. Padahal persoalan administrasi perkawinan masih banyak ditemukan, terutama terjadi di masyarakat adat. Melarangan hubungan seksual konsensual di luar pernikahan juga merupakan bentuk overkriminalisasi. Hal ini amat mengkhawatirkan karena infrastruktur peradilan nampak tidak siap untuk menghentikan masifnya persekusi, stigma dan diskriminasi. Potensi buruk ini harusnya bisa diantisipasi oleh pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi main hakim sendiri di tengah masyarakat.

Mengingat hal-hal di atas, LBH Masyarakat meminta pada Presiden Joko Widodo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menarik RKUHP dari Parlemen untuk dibahas lebih mendalam lagi. Hukum pidana adalah sistem yang dibangung untuk melindungi publik. Rancangan yang beredar saat ini justru sebaliknya, ia mengancam demokrasi, privasi, juga kesehatan publik. Presiden Joko Widodo punya wewenang yang cukup untuk melakukan ini. Presiden sudah sepatutnya jadi pahlawan bagi rakyat dan kali ini Presiden Joko Widodo punya panggung yang tepat untuk itu: #TarikRKUHPNgawur.

 

Jakarta, 28 Maret 2018

Afif Abdul Qoyim (Koordinator Advokasi Kasus LBH Masyarakat)

 

 

Rilis ini telah kami sampaikan dalam acara “Konferensi Pers: Semrawut RKUHP” yang dilaksanakan di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, pada Rabu, 28 Maret 2018. Lembaga-lembaga yang menjadi pembicara pada acara tersebut adalah LBH Masyarakat, PKBI, JATAM, ICW, dan PKNI.

id_IDIndonesian