Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Perempuan dalam Jerat Sindikat

Isu perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika sebagai kurir mencuat ketika Mary Jane Veloso dan Merri Utami masuk ke dalam daftar terpidana mati yang akan dieksekusi pada tahun 2015 dan 2016. Dalam berbagai kesempatan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyatakan bahwa perempuan seringkali dimanfaatkan oleh sindikat narkotika untuk mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri. Keterlibatan perempuan sebagai kurir narkotika bukan lah hal yang baru. Rani Andriani, yang telah dieksekusi mati 2015 lalu, tertangkap akan mengantarkan narkotika di Soekarno-Hatta pada tahun 2000. Begitu juga dengan Merri Utami yang ditangkap pada tahun 2001.

Tidak ada definisi yang jelas mengenai kurir narkotika, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sekalipun. Terminologi ini dibuat oleh media, pemerintah dan masyarakat dan digunakan secara luas. Pada praktiknya, perempuan kurir narkotika akan dipidana dengan Pasal 114 Undang-Undang Narkotika yang melarang perbuatan “menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menyerahkan” narkotika. Laporan ini mendefinisikan kurir sebagai seseorang yang mengantarkan narkotika dari satu tempat ke tempat lainnya. Laporan ini juga akan menggunakan frase “perempuan kurirnarkotika” untuk menjelaskan perempuan yang terlibat dalam peredaran gelap sebagai kurir narkotika, semata-mata untuk memudahkan penulisan, tanpa bermaksud untuk memberikan label negatif kepada perempuan.

LBH Masyarakat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, mendampingi 9 (sembilan) kasus perempuan terlibat dalam peredaran gelap narkotika, 5 (lima) di antaranya terlibat sebagai kurir. Satu perempuan dipidana dengan pidana mati, satu perempuan dihukum seumur hidup, tiga perempuan dipidana dengan pidana penjara selama 12, 14 dan 16 tahun penjara. Selama mendampingi kasus-kasus tersebut, kami menemukan pola yang serupa muncul berulang kali, yaitu keterlibatan akibat disuruh atau diperdaya oleh pasangan intim, berlatar belakang ekonomi menengah ke bawah dan pernah mengalami kekerasan domestik.

 
Infografis oleh: Astried Permata
 

Untuk mendapat gambaran yang lebih holistik dan komprehensif mengenai latar belakang perempuan kurir narkotika, pola perekrutan serta modus yang sering digunakan, dan juga relasi perekrut dengan perempuan, LBH Masyarakat berinisiatif untuk melakukan pemantauan berita perempuan kurir narkotika sepanjang tahun 2017. Laporan pemantauan ini juga merupakan bagian dari advokasi perlindungan perempuan, yang seringkali menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang dalam peredaran gelap narkotika, namun, dijatuhi dengan hukuman berat bahkan hingga pidana mati.

 Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Press Release – How Fortunate It Is to be a Member of Parliament’s Kid!

In principle, LBH Masyarakat agrees with the stance of police in returning home the son of Henry Yosodiningrat, a Member of Parliament from the Indonesian Democratic Party of Struggle and founder of the anti-drugs NGO Granat, after the child tested positive for drugs. LBH Masyarakat supports drug dependency recovery efforts for any user. On the other hand, LBH Masyarakat also hopes such measures can be applied fairly by police to all other levels of society – not just to celebrities or those who possess political power.

Henry Yosodiningrat has on several occasions openly indicated his support for the imprisonment of people who use drugs. This week’s case, which positions his child as a people who use drugs, should make us collectively understand how important it is to decriminalise the use, possession and purchase of limited amounts of drugs.

It is not at all suitable for the problem of drug use/dependence to be solved through law enforcement. This only drains budgets and fills prisons, while our law enforcement infrastructure is needed for other, far more important matters: the disclosure of corruption cases and the resolution of the Novel Baswedan case, for example.

Data from the Ministry of Law and Human Rights itself shows there are at least 28,123 people who use drugs in prison as of March 2018 – a figure which it turns out does not yet include 12 regional offices who are yet to report people who use drugs who have been erroneously declared “dealers” by the courts.

Henry Yosodiningrat also regularly gives his support to the imprisonment of people who have only recently tried or occasionally use drugs. The frequency of someone’s drug use should not necessarily remove the state’s obligation to fulfill their right to health, either through consultation with a specialist or participation in a rehabilitation program.

It is crucial to keep people who use drugs removed from law enforcement intervention. Decriminalisation means people who use drugs will no longer need to access rehabilitation services in secret and can openly talk about the problem they are experiencing: either to health services, friends or, of course, their parents.

If we want families to also be pillars of support in order to extend the scope of health services for people who use drugs, the government must quickly develop policy supportive of decriminalisation. It is important for Henry Yosodiningrat, Granat, and the Indonesian Democratic Party of Struggle in particular to say loudly and clearly: we need to support people who use drugs, not punish them.

This is a good moment for us to remember how important it is to remove narcotics-related provisions from the draft revised Criminal Code (RKUHP) which will hinder rehabilitation programs, and revise the Narcotics Act, which contains decriminalisation provisions used to guarantee the fulfillment of the right to health for people who use drugs.

 

Yohan Misero – LBH Masyarakat Drug Policy Analyst

 

This press release was translated by Iven Manning.

Rilis Pers – Betapa Beruntung Menjadi Anak Anggota DPR!

LBH Masyarakat, pada dasarnya, menyepakati sikap polisi yang memulangkan anak Henry Yosodiningrat, seorang anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan, setelah anak tersebut ditemukan positif mengonsumsi narkotika. LBH Masyarakat mendukung upaya pemulihan ketergantungan pemakai narkotika bagi siapapun. Namun di sisi lain, LBH Masyarakat juga berharap agar tindakan seperti ini juga dapat diterapkan secara adil oleh polisi pada lapisan masyarakat yang lain – tidak hanya pada pesohor atau mereka yang memiliki kekuatan politik.

Henry Yosodiningrat beberapa kali secara terbuka menunjukan dukungannya pada pemenjaraan bagi pemakai narkotika. Kasus yang hari ini menempatkan anaknya sebagai pemakai narkotika seharusnya membuat kita bersama-sama memahami betapa pentingnya dekriminalisasi pemakaian, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas.

Permasalahan ketergantungan/pemakaian narkotika tidaklah cocok diselesaikan dengan penegakan hukum. Penegakan hukum hanya menghabiskan anggaran dan memenuhi penjara. Padahal infrastruktur penegakan hukum kita dibutuhkan untuk perkara-perkara lain yang jauh lebih penting: pengungkapan kasus korupsi dan penyelesaian kasus Novel Baswedan misalnya.

Data dari Kemenkumham sendiri memperlihatkan setidaknya ada 28.123 pemakai narkotika yang ada di dalam penjara hingga Maret 2018. Angka sebesar itu saja ternyata belum memasukkan 12 Kanwil yang belum melapor juga pemakai narkotika yang secara keliru diputus pengadilan sebagai “bandar.”

Henry Yosodiningrat juga kerap memberikan dukungan pada pemenjaraan pemakai narkotika terutama bagi mereka yang baru mencoba atau hanya sekali-sekali menggunakan. Seharusnya, frekuensi seseorang menggunakan narkotika tidak serta merta menghilangkan kewajiban negara untuk memenuhi hak atas kesehatannya: entah sekedar berkonsultasi pada pakar atau mengikuti program rehabilitasi.

Menjauhkan pemakai narkotika dari intervensi penegakan hukum menjadi hal yang sangat penting. Dekriminalisasi membuat pemakai narkotika tidak perlu lagi diam-diam mengakses layanan rehabiltasi dan dapat secara terbuka membicarakan masalah yang ia alami: entah pada layanan kesehatan, kawan-kawan, atau – tentu saja – orang tua.

Jika kita ingin agar keluarga juga menjadi tonggak untuk memperluas cakupan layanan kesehatan bagi pemakai narkotika, negara perlu segera membangun kebijakan yang suportif untuk itu: dekriminalisasi. Penting bagi Henry Yosodiningrat, Granat, dan – terutama – PDI Perjuangan bersuara lantang untuk ini: bahwa kita perlu mendukung pemakai narkotika, bukannya menghukum.

Ini momen yang baik bagi kita untuk mengingat betapa pentingnya menghilangkan ketentuan terkait narkotika dari RKUHP, yang mana akan menghambat program rehabilitasi, serta merevisi UU Narkotika yang memuat ketentuan dekriminalisasi guna menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika, karena penjara bukan solusi.

 

 

Yohan Misero – Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Stigma HIV, Impresi yang Belum Terobati

Kesalahpahaman persepsi masyarakat terhadap ODHA menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Hal ini menyebabkan orang yang beresiko terdampak HIV menjadi enggan melakukan tes HIV. Kesalahpahaman persepsi ini kemudian menjelma menjadi stigma, yang seringkali berujung pada praktek-praktek diskriminasi terhadap ODHA.

Perwujudan stigma dan diskriminasi pada ODHA dapat dilihat dalam bentuk produk-produk hukum seperti kebijakan dan prosedur administrasi. Produk-produk tersebut sering ditemukan sebagai suatu perangkat yang diperlukan untuk melindungi masyarakat, tetapi kerap dijumpai implementasinya justru memperkuat praktik-praktik diskriminasi dan pengekalan stigma. Contoh lain dari wujud stigma dan diskriminasi adalah implementasi kebijakan yang justru mendiskreditkan ODHA. Misalnya, dengan menerbitkan regulasi yang membatasi mobilitas ODHA.

Stigma dan diskriminasi jelas menyebabkan implementasi dari program pencegahan HIV/AIDS tidak dapat dilakukan secara optimal. Dari berbagai sisi, stigma dan diskriminasi memberikan dampak yang sama luasnya, jika tidak lebih luas, dibandingkan dengan HIV itu sendiri. Disadari atau tidak, stigma dan diskriminasi tidak hanya memengaruhi hidup ODHA, tetapi juga orang-orang yang hidup di sekitar mereka. Stigma dan diskriminasi juga diperparah oleh faktor-faktor seperti gender, seksualitas dan kelas sosial.

Menyadari kondisi tersebut, LBH Masyarakat merasa perlu untuk melakukan monitor media terhadap pemberitaan tentang stigma dan diskriminasi pada ODHA. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi yang masuk pemberitaan media sepanjang tahun 2017. Harapannya, laporan monitor dan dokumentasi ini dapat membantu memetakan persoalan stigma dan diskriminasi pada ODHA, dan dapat berperan dalam upaya menghilangkan stigma dan diskriminasi sehingga dapat memberikan dampak baik pada program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

 

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Dibutuhkan: Relawan Advokasi dan Pemantauan Media 2018

LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang berdiri sejak 2007. Lebih dari 10 tahun sudah, kami memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan.

Untuk mendukung kerja bantuan hukum, kami juga menulis laporan dan melakukan advokasi kebijakan pada isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang kerap dipandang sebelah mata. Kerja-kerja kami dapat kamu lihat di situs resmi LBH Masyarakat dan official account kami di Instagram, Twitter, dan Facebook.

Kamu juga dapat terlibat aktif dalam kerja-kerja kami memperjuangkan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kami tengah membutuhkan tiga (3) orang relawan untuk membantu kerja advokasi dan pemantauan media yang rutin kami lakukan setiap tahunnya. Kriteria relawan yang kami butuhkan:

  1. Tertarik pada isu HIV, Kesehatan Jiwa, LGBTIQ, Narkotika, Penegakan Hukum, Perempuan, Pemenjaraan;
  2. Internet-Savvy;
  3. Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  4. Memiliki laptop;
  5. Memiliki motivasi tinggi;
  6. Diprioritaskan bagi Mahasiswi/Mahasiswa (tidak ada batasan angkatan atau jurusan);
  7. Berkomitmen untuk bekerja selama 300 jam;
  8. Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Jika kamu merasa bahwa kesempatan ini cocok untukmu, silakan lakukan langkah-langkah berikut:

  1. Siapkan Curriculum Vitae terbaru (tidak lebih dari 2 halaman)
  2. Tuliskan Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
    • mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat,
    • sebutkan 3 isu yang paling menarik buat kamu dari isu-isu yang kami sebutkan di atas, jelaskan juga alasannya

Simpan kedua dokumen tersebut dalam bentuk PDF dan kirimkan via surel ke Albert Wirya (Peneliti LBH Masyarakat) di awirya@lbhmasyarakat.org paling lambat Jumat, 6 April 2018.

Berjuang tak bisa sendirian, kawan-kawan. Seperti kata Martin Garrix dan Dua Lipa, “…scared to be lonely.”  Alangkah menyenangkannya berjuang bersama kalian nanti:

because every human matters.

Rilis Pers – Presiden Jokowi, Tarik RKUHP!

LBH Masyarakat mengecam percepatan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR dan Pemerintah. Hingga saat ini, RKUHP menyisakan persoalan mendasar yakni minimnya pelibatan para pihak yang terkena dampak atas adanya rumusan pasal dalam RKUHP. Hal ini juga diperparah oleh tidak adanya basis data dalam penyusunan rumusan pasal dan penentuan jenis hukuman serta besar dan ringannya hukuman terhadap suatu perbuatan yang dikategorikan tindak pidana. Masalah-masalah ini tercermin pada:

  1. Masih hidupnya rumusan pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pasal tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dihidupkannya kembali rumusan pasal ini bukan saja tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi, tapi dapat dikategorikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi;
  2. Adanya dualisme hukum yang berlaku tentang narkotika jika RKUHP diberlakukan yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU 35/2009) dan rumusan pidana narkotika dalam RKUHP itu sendiri. Dualisme regulasi ini dapat melahirkan ketidakpastian hukum dalam mengatur persoalan pengguna narkotika. Padahal dalam UU 35/2009, pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika dijamin. Hal ini disebutkan dalam tujuan dibentuknya UU 35/2009. Kendati UU 35/2009 masih keras dan dominan dalam memilih penjara sebagai jenis hukuman bagi pengguna narkotika tapi masih terdapat jaminan pengguna narkotika mendapatkan pemenuhan hak atas kesehatan melalui rehabilitasi. RKUHP akan membutuhkan banyak waktu dan anggaran untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi pengguna narkotika karena perlunya dibentuk aturan turunan. Akibatnya, RKUHP malah semakin melanggengkan penjara sebagai hukuman yang harus diterima oleh pengguna narkotika. Tidak diperhatikannya soal ini menimbulkan persoalan yaitu penghuni penjara yang makin didominasi oleh pengguna narkotika. Masuknya narkotika ke RKUHP ini menunjukan tidak terencananya legislasi, baik di Pemerintah dan DPR, karena di saat yang sama ada juga rencana melakukan revisi UU 35/2009;
  3. Kriminalisasi terhadap pengguna narkotika berdampak juga terhadap laju epidemi HIV yang semakin tidak terkendali. Jauh sebelum adanya RKUHP ini, telah muncul hambatan dalam menekan penanggulangan HIV di kalangan pengguna narkotika. Kriminalisasi pengguna narkotika membuat pengguna narkotika enggan untuk mengakses layanan kesehatan, layanan jarum suntik steril misalnya, karena khawatir dirinya ditangkap karena sekedar membawa jarum suntik. Meski saat ini tren penggunaan narkotika beralih dari heroin ke sabu (metamfetamina), masih ditemukan kasus di mana sabu disuntikan serta meningkatnya hubungan seks berisiko yang memiliki keterkaitan dengan penggunaan sabu;
  4. Pasal lain dari RKUHP yang bermasalah yaitu pelarangan demontrasi alat kontrasepsi. Pelarangan ini merupakan bentuk kemunduran karena secara historis pelarangan demontrasi alat konstrasepsi sudah dicabut. Selain itu, pelarangan ini seakan menempatkan penekanan epidemi HIV yang menjadi tujuan Kementerian Kesehatan tidak diperhatikan. Di luar negeri, Indonesia aktif mempromosikan Sustainable Development Goals (SDGs) yang di dalamnya termaktub program penanggulangan HIV. Maka mengkriminalisasi demonstrasi kondom jelas tidak selaras dengan program Kementerian Kesehatan dan juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas);
  5. Terkait pasal-pasal kesusilaan, Mahkamah Konstitusi juga telah menolak perluasan delik zina dan hubungan seksual konsensual di luar pernikahan. Artinya, tidak ada legitimasi hukum untuk memasukan kembali delik-delik tersebut ke dalam RKUHP. Dirumuskannya delik-delik ini dapat mengkriminalisasi banyak pihak, termasuk orang-orang yang berada di dalam perkawinan yang tidak dicatat karena dianggap zina. Padahal persoalan administrasi perkawinan masih banyak ditemukan, terutama terjadi di masyarakat adat. Melarangan hubungan seksual konsensual di luar pernikahan juga merupakan bentuk overkriminalisasi. Hal ini amat mengkhawatirkan karena infrastruktur peradilan nampak tidak siap untuk menghentikan masifnya persekusi, stigma dan diskriminasi. Potensi buruk ini harusnya bisa diantisipasi oleh pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi main hakim sendiri di tengah masyarakat.

Mengingat hal-hal di atas, LBH Masyarakat meminta pada Presiden Joko Widodo selaku kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menarik RKUHP dari Parlemen untuk dibahas lebih mendalam lagi. Hukum pidana adalah sistem yang dibangung untuk melindungi publik. Rancangan yang beredar saat ini justru sebaliknya, ia mengancam demokrasi, privasi, juga kesehatan publik. Presiden Joko Widodo punya wewenang yang cukup untuk melakukan ini. Presiden sudah sepatutnya jadi pahlawan bagi rakyat dan kali ini Presiden Joko Widodo punya panggung yang tepat untuk itu: #TarikRKUHPNgawur.

 

Jakarta, 28 Maret 2018

Afif Abdul Qoyim (Koordinator Advokasi Kasus LBH Masyarakat)

 

 

Rilis ini telah kami sampaikan dalam acara “Konferensi Pers: Semrawut RKUHP” yang dilaksanakan di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, pada Rabu, 28 Maret 2018. Lembaga-lembaga yang menjadi pembicara pada acara tersebut adalah LBH Masyarakat, PKBI, JATAM, ICW, dan PKNI.

Press Release – President Jokowi, Pull Back The Criminal Code Revision!

LBH Masyarakat criticizes the acceleration of the ratification the draft revised Criminal Code (RKUHP) by the Government and Parliament. Fundamental issues with the RKUHP, such as the minimal involvement of parties who will be affected by proposed articles within it, have thus far been glossed over. These issues are exacerbated by; a) the lack of statistical basis in the organisation of these articles and determination of type of law and; b) the weight of punishment for an act categorised as a criminal offence. These problems are reflected in:

  1. The survival of proposed articles which have already been annulled by the Constitutional Court, such as the article concerning insults towards the President and Vice President. The resurrection of this article not only fails to heed the Constitutional Court’s verdict, but can also be categorised as a form of insubordination towards the nation’s Constitution.
  2. The existence of a legal dualism applying to narcotics if the RKUHP is brought into effect, namely between Act No.35/2009 concerning Narcotics and proposed narcotics articles in the RKUHP. This dualism may create legal uncertainty in regulating the problem of narcotics use, despite the guarantee of healthcare-based approaches for people who use drugs outlined in the objectives of Act No.35/2009. Although the existing legislation is harsh and predominantly opts for prison sentences as punishment for people who use drugs, there remains a guarantee these people’s right to health will be fulfilled through rehabilitation. Under the RKUHP, a significant amount of time and money will be required to guarantee the fulfilment of this right due to the need to formulate derivative regulations. As a result, the revised Code will instead further perpetuate prison sentences as the primary form of punishment for people who use drugs. A failure to give proper consideration to this issue will give rise to problems such as increasing numbers of people who use drugs in the prison population. The inclusion of narcotics-related articles in the RKUHP highlights the lack of legislative planning from both the Government and Parliament, given there are currently also plans to revise the Narcotics Act.
  3. The criminalisation of people who use drugs also contributes to the increasingly uncontrolled rate of HIV infection in Indonesia, adding to obstacles to reducing HIV among people who use drugs which long pre-date the existence of the RKUHP. The criminalisation of people who use drugs renders them reluctant to access health services, such as the provision of sterile syringes, as these people are afraid of being arrested for merely carrying such items. Although at present drug use trends are shifting from heroin towards methamphetamine, there remain cases in which methamphetamines are injected intravenously. Additionally, there are increases in unsafe sexual relations associated with methamphetamine use;
  4. There are several other problematic articles in the RKUHP. One is the prohibition of contraception demonstrations, which represents a form of regression given similar bans regarding contraception have already been repealed in the past. It seems such a ban will also remove the focus from the Health Ministry’s aim of reducing the rate of HIV. Overseas, Indonesia is active in promoting Sustainable Development Goals (SDGs), within which are detailed HIV countermeasure programs. Therefore criminalising condom demonstrations is clearly at odds with Ministry of Health and National Development Planning Agency programs;
  5. In regards to morality articles in the RKUHP, the Constitutional Court has also already rejected the expansion of zina (adultery) offences to include consensual sexual relationships out of wedlock. This means there is no legal legitimacy to include these offences in the RKUHP. These articles could result in criminalisation for numerous groups, including people in unregistered marriages, despite the fact marriage administration problems are still widespread, particularly in traditional society. Prohibiting consensual sexual relationships out of wedlock is also a case of overcriminalisation. These changes are very concerning, as it does not appear the justice system’s infrastructure is ready to stop the rampant persecution, discrimination and stigma which may follow them. The creators of these laws will need to anticipate these potentially terrible effects to avoid ordinary citizens playing judge and jury in society.

In light of the matters above, LBH Masyarakat asks President Joko Widodo as head of state and head of governance to withdraw the RKUHP from Parliament for more thorough discussion. Criminal law is a system developed to protect the public. Instead, the changes being circulated at present threaten democracy, privacy and public health. President Joko Widodo has the authority required to take this action. It is fitting the President should be a hero of the people and this time President Joko Widodo has the perfect stage to become one: #TarikRKUHPNgawur.

 

Jakarta, 28 Maret 2018

Afif Abdul Qoyim (LBH Masyarakat Case Advocacy Coordinator)

 

This press release was presented at an event titled “Press Conference: The Chaos of the RKUHP” conducted at the YLBHI, Central Jakarta, on Wednesday March 28, 2018. Representatives from LBH MAsyarakat, PKBI, JATAM, ICW and PKNI spoke at this event. This press release was translated by Iven Manning.

 

Seri Monitor dan Dokumentasi 2018: Mati di Bui, Pembelajaran bagi Sistem Pemasyarakatan

Kematian sebaiknya tercatat, bukan hanya melalui ingatan orang-orang yang ditinggalkan tapi juga lewat percikan tinta di atas kertas. Undang-Undang Administrasi Kependudukan mewajibkan setiap kematian untuk dicatat oleh kantor sipil. Dokumentasi akan kematian ini mempermudah warga negara dalam mengurus waris, uang duka, tunjangan kecelakaan, asuransi, dan lain sebagainya.

Melalui pencatatan kematian juga, negara bisa belajar banyak. Setiap tahunnya, contohnya, Kementerian Kesehatan mempublikasikan laporan kinerja yang berisi jumlah kematian akibat penyakit tertentu. Berdasarkan data ini, pemerintah bisa membangun kebijakan kesehatan yang tepat sasaran untuk mengurangi angka kematian.

Untuk tujuan yang sama pulalah, LBH Masyarakat melakukan pemantauan dan pendokumentasian berita-berita kematian. Spesifiknya, kematian-kematian yang terjadi di penjara. Dari berita-berita kematian, kami dapat menganalisis akses layanan kesehatan, ketersediaan layanan kesehatan mental, dugaan penyiksaan dan lain-lain. Pemantauan semacam ini kami lakukan di tahun 2016 dan kami publikasikan menjadi sebuah laporan yang mengidentifikasi sejumlah permasalahan di tempat-tempat tahanan. Di tahun 2017, kegiatan pendataan ini kami lanjutkan.

Ada setidaknya dua alasan mengapa LBH Masyarakat melakukan pendokumentasian kasus kematian ini. Yang pertama adalah kosongnya laporan berkaitan dengan kematian di penjara. Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) sebenarnya memiliki laporan kinerja yang menuliskan secara detail jumlah dan sebab kematian sepanjang tahun, sayangnya laporan in berhenti di tahun 2014. Kepolisian pun tidak memiliki laporan berisi data kematian di tahanan polisi. Sekiranya pun ada, laporan tersebut tidak bisa dengan mudah diakses publik.

Alasan kedua adalah sulitnya untuk mengetahui kebenaran tentang sebuah kematian ketika itu terjadi di ruang yang miskin akses informasi baik untuk masuk ataupun keluar. Wajar-tidaknya suatu kematian seringkali dinyatakan oleh otoritas tempat tahanan, bukan ahli medis.

Di Indonesia, pengelola tempat tahanan memiliki mekanisme pemeriksaan yang harus dipenuhi ketika seorang tahanan meninggal. Apabila meninggal di tahanan kepolisian, polisi melakukan visum et repertum dan memberitahukan hasilnya kepada keluarga. Apabila meninggal di rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas), manajemen penjara harus membuat surat keterangan kematian atau melaporkan ke polisi apabila kematiannya dianggap tidak wajar. Keberadaan mekanisme pemeriksaan ini patut untuk diapresiasi, tapi independensi penyelidikannya harus terus diawasi. Dengan demikian, seharusnya tidak ada lagi 19 kematian yang tidak jelas yang kami temukan pada tahun 2016.

Penjara didirikan untuk tugas yang mulia. Ruang tahanan kepolisian dan rutan, didirikan untuk menjaga tersangka atau terdakwa sampai hakim mengetuk palu dan keadilan ditegakkan. Sementara lapas, menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, bertujuan agar “Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.” Tujuan semacam ini akan sia-sia ketika tahanan meninggal di dalam. Lebih sia-sia lagi ketika tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari kematiannya.

Teman-teman dapat mengunduh laporannya dengan mengunjungi tautan ini.

Annual Report 2017

Despite Community Legal Aid Institute turning 10 on December 8 last year, our journey has not felt so long. Over time Community Legal Aid Institute has become active in many legal and human rights issues, becoming a pioneer in human rights movements related to drugs and HIV, issues which sat at the fringe between human rights and legal organisations 10 years ago.

Being 10 years old, of course Community Legal Aid Institute still faces plenty of challenges and plenty of homework. Injustice continues to dominate the legal landscape in Indonesia. But we strongly believe in the need to keep working together to foster human values and realise true justice.

Working in 2017, there were great achievements and also huge challenges. Stories of those could be read in our Annual Report 2017 – which could be accessed through this link.

Happy reading!

Press Release – Stop Extra-judicial Killings in Narcotics Cases Now!

LBH Masyarakat is strongly urging the Indonesia Government to immediately cease extra-judicial killings in the handling of narcotics cases. Monitoring of online media carried out by LBH Masyarakat has shown there were at least 215 shootings in the enforcement of narcotics law in 2017. Of these 215 cases, 116 people were wounded and 99 were killed.

The seriousness of this matter cannot be overstated, remembering that at present extra-judicial killings are in the spotlight globally. Since the beginning of Philipines President Rodrigo Duterte’s enforcement of his tok hang operation, which has already taken tens of thousands lives, warning signs have appeared which indicate such a phenomenon is prone to copycatting. Although not yet as severely as in the Philipines, it appears Indonesia has been imitating its neighbour’s approach.

The nation’s leaders: President Joko Widodo, National Chief of Police Tito Karnavian, and former Head of the National Anti-Narcotics Agency, Budi Waseso, have all made comments which seem to support this approach. Although they are only at the level of commentary, such statements could be interpreted by law enforcement as an order; or at least a “green light”; to adopt a tougher approach or veer from procedure when carrying out field operations. On a national scale, not a month goes by without a killing connected to the enforcement of narcotics law. In 2017, the lowest number of these killings occurred in November (4), while August saw the most with a total of 13.

Special monitoring is needed of Regional Police and the Provincial National Anti-Narcotics Agency in areas with inordinately large numbers of recorded killings involving narcotics law enforcement. These regions include: North Sumatra (30 killings), Greater Jakarta (22), Lampung (11), East Java (8) and West Kalimantan (7).

There are several reasons why the practice of extra-judicial killings must be stopped:

  1. Extrajudicial killings do not assist in reducing drug supply in Indonesia. Instead they cause breaks in important chains of information concerning bigger mafia trafficking operations.
  2. Extrajudicial killings are a key cause of governmental instability, as is the case for Rodrigo Duterte in the Phillipines at present. President Joko Widodo does not need more international criticism regarding drugs and human rights problems. Rather than further encumbering their colleagues at the Foreign Ministry with the task of legitimising the government’s actions in the eyes of international observers, it would be better if this practice were stopped.
  3. This policy is not effective. This can be seen clearly in the National Anti-Narcotics Agency’s reports from year to year, which show that the rate of drug crime continues to rise. This indicates there are other, more fundamental problems which have not been targeted or resolved by the government.
  4. This policy can result in the wrong people being shot. Although it seems the policy of on-the-spot shootings is directed at drug dealers, it must be remembered that people who use drugs are still criminalised in Indonesia. At a moment when the number of people who use drugs in Indonesia may be touching 10 million and it is likely these individuals meet with drug dealers to buy drugs, we could see Jakarta become Manila if this policy is not abandoned.
  5. This approach also has the potential to provoke open conflict between the government and mafia trafficking rings – something which we don’t need to import to Indonesia from Latin America. These sort of extrajudicial approaches have been proven to only lead to and reproduce vicious circles of violence, suffering and vengeance, which descend from generation to generation and are difficult to redress. In this context, oblivious civilians will become the first victims – simply for being in the wrong place at the wrong time.
  6. Rising security tensions will also inflate the price of illegal drugs, resulting in the economic exploitation of people who use drugs. These individuals will be pushed to buy and consume drugs which are cheaper but of lower quality. This will impact the health of people who use drugs and contribute to an increase in their mortality rate – one of the very things the government said it intended to combat by embarking on the “War on Drugs”.
  7. Extra-judicial killings are also a blatant violation of human rights, in particular the rights to life and to honest and fair administration of justice. Whatever a person’s crime, they must be brought to face court and given the chance to defend themselves. The law is enforced by humans and humans are regularly mistaken in their decision-making.
  8. Extra judicial killings are clearly an act of treason against the constitution, which states explicitly that the rule of law applies in Indonesia. A nation which follows the rule of law should have procedures for the enforcement of the law which are followed correctly by law enforcement agents. This poses the question: What does “the rule of law” really mean in Indonesia.
  9. These extra-judicial killings are committed in relation to narcotics, which are considered an enemy of the state. If the concept of an “enemy of the state” becomes justification for law enforcement to disregard procedure, our democracy will come under threat. Ideology, political choices and different perspectives could at a later date become excuses for law enforcement officials to carry out these shootings – a truly dangerous possibility in light of a sensitive year to come in 2019.

With regard to the analysis above, LBH Masyarakat wishes to:

  1. Urge President Joko Widodo to instruct the Indonesian National Police and the National Anti-Narcotics Agency to immediately cease the practice of extra-judicial killings;
  2. Request the National Commission on Human Rights, the Ombudsman, the National Police Commission and the Third Committee of the People’s Representative Council to summon and investigate the Indonesian government; in particular sections of law enforcement involved in this practice; to explain and justify their actions;
  3. Urge the Indonesian National Police and the National Anti-Narcotics Agency to create monitoring mechanisms for fatal incidents which are accountable and open to the public in order to avoid abuses of power; and
  4. Push the Indonesian National Police and the National Anti-Narcotics Agency to invest in technology such as body cameras to trial in police departments and regional/city National Anti-Narcotics Agency offices. Aside from raising accountability, such measures will also raise community trust in law enforcement.

Hopefully Indonesia will finally find its heart and common sense through the formation of humanist, effective and evidence-based drug policy.

 

 

Ajeng Larasati – LBH Masyarakat Policy and Research Coordinator

 

 

This press release was created for a press conference titled “Stop Extra-judicial Killings in Narcotics Cases Now” held at the offices of LBH Masyarakat on March 5, 2018. Speakers at this conference were Ma’ruf Bajammal (LBH Masyarakat Public Defender), Ajeng Larasati (LBH Masyarakat Policy and Research Coordinator), Bramantya Basuki (Amnesty International Indonesia Researcher), dan Arief Nur Fikri (KontraS Head of Human Rights Defence). This press releases was translated by Iven Manning.