Tag: HIV

Laporan Tahunan LBH Masyarakat 2023 – Kelabu(i) Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

Lewat instrumen hukum dan kekuasaannya, rezim Joko Widodo (Jokowi) mempertunjukkan praktik busuk, bagaimana bangunan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang sudah diperjuangkan sejak era reformasi itu dirobohkan. Kriminalisasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi juga masif kita lihat, utamanya tertuju kepada kelompok rentan dan populasi kunci.

Dalam konteks elektoral di tahun 2024, masing-masing kandidat Calon Presiden dan Wakil Presiden intens mengobral janji, ditandai dari merebaknya penggunaan slogan no one left behind, padahal slogan itu tak lebih dari jargon semata untuk mendulang suara dan terkesan inklusi.

Di tengah praktik negara yang kian ugal-ugalan, lewat gerakan bantuan hukum yang digagas lebih dari 2 windu (16 tahun), LBH Masyarakat (LBHM) konsisten mengawal penghormatan dan pemenuhan demokrasi serta gigih membersamai korban pelanggaran HAM. Kerja-kerja LBHM itu terpotret dalam Laporan Tahunan 2023, yang mengangkat tema: Kelabu(i) Demokrasi & Hak Asasi Manusia.

Silakan membaca Laporan Tahunan 2023 melalui link ini.

Yang Dibutuhkan Itu #SayangODHA, Bukan Stigma

Jimmy, seorang positif HIV harus di-PHK dari tempat kerjanya sesaat setelah ia mengungkapkan status HIVnya kepada rekan kerjanya.[1] Putri -bukan nama sebenarnya- juga harus mengalami nasib serupa, ia dipecat karena status HIVnya.[2] Selain syarat kerja bebas HIV, diskriminasi berupa PHK atau pemecatan sepihak menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang cukup sering dialami oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Salah seorang pengusaha di Jakarta bahkan dengan gamblang mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan memecat karyawannya yang terbukti HIV positif.[3] Perusahaan yang melakukan pemecatan beralasan bahwa pegawai yang positif HIV memiliki kondisi tubuh yang lemah sehingga tidak akan produktif.[4]

Meski HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, orang dengan HIV/AIDS belum tentu sakit-sakitan dan lemah. ODHA sangat mungkin menjalani kehidupan yang produktif dan berkontribusi bagi masyarakat dengan cara melakukan terapi Anti-Retroviral (ARV), di mana terapi ini dapat menekan perkembangan HIV, sehingga kekebalan tubuh dapat berfungsi lebih optimal.[5] Tidak hanya itu, ARV terbukti memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh replikasi HIV yang tidak terkontrol.[6] Namun, mengakses layanan kesehatan ARV memerlukan komitmen yang tinggi dari ODHA. Dukungan sosial menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi ARV.[7] Dukungan sosial dapat berupa emosi, seperti ekpresi rasa empati, kasih, dan kepercayaan.[8] Sikap dan tindakan seperti menjauhkan, mengisolasi secara sosial di lingkungan kerja, hingga memecat ODHA jelas bukan sikap yang diharapkan dan dapat mendukung kesehatan ODHA.

Pemecatan karena status HIV juga merupakan pelanggaran hak asasi dan hukum, bertentangan dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9] Perlakuan diskriminatif berupa pemecatan juga tidak sesuai dengan Komentar Umum Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, No 18 tentang Hak Atas Pekerjaan.[10] Di dalam Komentar Umum ini terdapat empat elemen yang saling bergantung dalam pemenuhan hak atas kesehatan, di antaranya elemen ketersediaan, keterjangkauan, serta elemen keberterimaan dan kualitas. Pemecatan ODHA tidak sesuai dengan elemen keterjangkauan yang di dalamnya mencakup asas non-diskriminasi. Sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 2 ayat (2) dan (3) – yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 – yang melarang segala bentuk dikriminasi dalam mengakses dan mempertahankan pekerjaan.[11] Selain itu, pemecatan juga melanggar elemen keberterimaan yang menjamin pekerja (termasuk mereka yang ODHA) mendapatkan rasa aman. Untuk konteks isu HIV, rasa aman tersebut dapat berupa lingkungan kerja yang ramah dan bersih dari stigma dan diskriminasi.

Perusahaan dan pengusaha justru harus dan dapat berperan aktif dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.[12] Pencegahan dan penanggulangan yang wajib dilakukan pengusaha/perusahaan meliputi menyebarluaskan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS, mengadakan pelatihan, memberikan perlindungan terhadap pegawai yang positif HIV dari tindak dan perlakuan diskriminatif, serta menerapkan prosedur Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan Kerja (K3) di isu HIV.[13] Sama seperti pegawai lainnya, hak-hak kesehatan ODHA juga harus dijamin oleh perusahaan. Perusahaan harus menjamin layanan kesehatan ODHA seperti jaminan asuransi, perlindungan sosial, atau paket asuransi lainnya yang terjangkau.[14]

Pada akhirnya yang dibutuhkan dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif ialah kasih sayang, bukan stigma.

“I have decided to stick with love. Hate is too great a burden to bear.” Martin Luther King Jr

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan

[1] Detik.com, “Dipecat Karena Idap HIV, Jimmy Harap tak Ada Lagi Diskriminasi”, Desember 2011, diakses pada 16 Juli 2018, melalui https://news.detik.com/jawabarat/1780236/dipecat-karena-idap-hiv-jimmy-harap-tak-ada-lagi-diskriminasi

[2] Ujung Pramudiarja, Detik.com, “Perusahaan yang Intimidasi Orang HIV/AIDS cuma Didenda 100 Ribu”. November 2010, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://hot.detik.com/celeb-personal/read/2010/11/24/080200/1500912/763/perusahaan-yang-intimidasi-orang-hiv-aids-cuma-didenda-100-ribu

[3] Raya Desmawanto, “Pegawai Diskotik yang Kena HIV Bakal Dipecat”, Agustus 2017, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://pekanbaru.tribunnews.com/2017/08/04/pegawai-diskotik-yang-kena-hiv-bakal-dipecat

[4] Fuji Aotari, “Stigma HIV: Impresi yang Belum Terobati”, LBH Masyarakat, Maret 2018, Hal. 17, diakses melalui https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2018/04/Seri-Monitor-dan-Dokumentasi-Stigma-HIV-Impresi-yang-Belum-Terobati.pdf

[5] Internasional Labor Organization (ILO), “Flipchart Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS”, 2011, Hal. 34.

[6] Calvin J Cohen, “Successful HIV Treatment: Lesson Learned”, Academic of Managed Care Pharmacy, September 2006, Hal. S6, diakses melalui http://www.amcp.org/WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=14771

[7] Ingrid T Katz, “Impact of HIV-related Stigma on Treatment Adherence: Systematic Review and Meta-synthesis”, National Center for Biotechnology Information, November 2013, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3833107/

[8] Peter K Olds, “Explaining Antiretroviral Therapy Adherence Success Among HIV-Infected Children in Rural Uganda: A Qualitative Study”, National Center for Biotechnology Information, April 2015, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4393764/#R21

[9] Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

[10] Dominggus Christian, “Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional”, LBH Masyarakat, April 2016, Hal 36, diakses pada https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2016/04/140416_Compile-HIV-Legal-Audit.pdf

[11] Ibid.

[12] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (1)

[13] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (2)

[14] Kaidah Internasional Labour Organization tentang HIV dan Dunia Kerja, No. 10

Skip to content