Yang Sering Terabaikan

“Aku tidak peduli dengan perempuan ini”. “Bagaimana dengan ibumu?” “Tentu aku sangat mencintainya”. Menjadi adil memang sulit.

Semasa kecil aku suka bertanya-tanya: kenapa kalau ibu yang sakit, rumah tampak berantakan sekali. Tumpukan baju dan piring yang tidak dicuci, lantai yang kotor, hingga tidak ada makanan yang siap disantap. Suatu waktu, untuk mengobati rasa penasaran, aku bertanya pada seorang teman, “Kalau ayahmu yang sakit kondisi rumahmu juga begitu?” Dia menggeleng.

Kemudian dia bilang, peran ibu sangat penting, makanya kalau ibu sakit pasti terasa. Jawaban ini sedikit melegakan, meski aku tidak benar-benar tahu apa peran ibu sebenarnya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah menyoalkan kenapa ibu bangun lebih pagi daripada anggota keluarga yang lain. Bagiku semata-mata inisiatif dan kerelaan ibu yang membuatnya membiasakan diri untuk bangun lebih awal.

Di umurku yang 13 tahun itu, aku masih belum paham kalau ibu adalah pemilik beban terbanyak di rumah. Tanggung jawab ibu yang ganda, di luar dan dalam rumah, sama sekali tidak pernah kulihat sebagai hal yang berat. Juga ketika ibu memutuskan untuk fokus urusan domestik, aku tidak menganggap pekerjaan ibu sama bobotnya dengan yang ayah lakukan.

Belum lagi para perempuan yang bekerja karena himpitan ekonomi. Aku tidak bisa membayangkan, para perempuan yang bekerja seharian, tidak mendapat upah yang sepadan dengan teman kerja laki-lakinya. Sementara, sudah tidak lagi punya suami dan harus menanggung kebutuhan anak-anaknya. Ah, membicarakan ini mengingatkanku pada seorang teman yang ibunya single parent.

Waktu itu sekitar 2012 temanku ini sakit di sekolah, ibunya datang menjemput dengan sepeda motor. Kepalang bannya kempes dan berjarak sekitar 4 km untuk menemukan tukang tambal. Adik bungsunya yang datang bersama diminta tetap duduk di atas sepeda motor, sementara dia diminta jalan sambil berpegangan.

Sekali waktu aku datang berkunjung ke rumahnya, dia cerita kalau adiknya beberapa hari lalu menangis, minta sepatu mahal bergambar Frozen yang lagi marak.  Kendati tak ada anggaran lebih untuk pengeluaran di bulan itu, ibunya tetap membelikannya. “Ibu mau anak-anak ibu bahagia dan merasa tercukupi, seperti teman-temannya yang punya orang tua lengkap”, ucapnya menirukan kalimat ibunya. Aku hanya bisa terdiam tanpa kata mendengarnya.

Dari kejadian ini, aku bertambah respect terhadap kaumku sendiri. Namun aku belum bisa membawa ‘pisau’ ini untuk melihat keadaan seluruh perempuan. Ya, aku harus mengakui ini. Beberapa waktu lalu, aku sempat ogah-ogahan ketika diminta untuk menangani kasus perempuan yang terlibat tindak pidana narkotika. “Dia memang mau menjual narkotika. Bagian mana yang harus kubela”, gumamku saat itu.

Aku seakan tak mau tahu, faktor dan latar belakang yang mendorongnya berbuat pidana. Untungnya meski tidak terlalu semangat, aku tetap datang berkunjung ke rumah tahanan dan memintanya bercerita. Sungguh tidak sesederhana yang aku pikirkan. Pendidikan dan kemampuan finansial yang rendah, korban kekerasan seksual, tidak merasa aman di rumah, adalah bagian-bagian penting yang jarang diperhitungkan. Beban gender yang berlapis berkelindan dengan pagannya kultur patriarki seolah menenggelamkan harapan akan keadilan baginya.

Majelis hakimnya yang didominasi oleh perempuan, tidak menjamin untuk sensitif terhadap persoalan perempuan. Alih-alih mempertimbangkan hal di luar tindak pidananya, malah sibuk memberi cap untuk perbuatannya. Sesekali aku putus asa dan tidak jarang merasa sia-sia. Sulit memang mengajak seseorang untuk melihat penderitaan orang lain, apalagi ketika ia sudah mendapat ‘surga’ dari lahir atau akses apapun yang istimewa.

Namun ada sedikit kabar baik, setidaknya menjadi obat, ada teman yang juga mau bersama-sama berjuang di jalan ini. Dan teman berjuangku bukan hanya satu orang. Desember 2019 lalu untuk pertama kalinya di Indonesia, bahkan di Asia Pasifik, para perempuan berkumpul, membicarakan perempuan dan kerentanannya terjerat tindak pidana yang terancam hukuman mati. Kami juga bersepakat menyalakan harapan. Tidak pernah sebangga ini aku menjadi perempuan.

Bersama Death Penalty Worldwide di Cornell University dan Harm Reduction International, LBH Masyarakat mengorganisir pertemuan tersebut. Di sana aku belajar soal kerentanan perempuan yang selalu menjadi sasaran sindikat kejahatan. Di antaranya trauma kekerasan rumah tangga masa lalu, besarnya tanggungan keluarga, pengaruh dan iming-iming pasangan, dan bekerja jauh ke negara asing tanpa bekal pengetahuan, bahasa yang mencukupi maupun pertemanan.

Sedihnya, derita para perempuan itu tak terhenti di sini. Kondisi penjara juga tidak memihak pada mereka. Seperti kunjungan keluarga yang terbatas, akses kesehatan yang jauh dari memadai, pemenuhan kebutuhan dasar yang minim, keterisolasian dalam penjara yang berdampak pada kesehatan jiwa, reniknya ruang privasi,belum lagi tindak pidana terancam hukuman mati menciptakan stigma dan bebannya sendiri.

Menjadi perempuan memang penuh dengan kerentanan, mudah mendapat cap buruk, dan kerap dinomorduakan. Sebab, lingkungan ini memang tidak banyak memihak perempuan: melanggengkan batas, mempersempit gerak, dan membungkam suara. Namun menjadi perempuan bukanlah sesuatu yang perlu disesali.

Semoga kegelisahanku, bisa menjadi kegelisahanmu, dan itu menjadi milik bersama. Semoga suara-suara perempuan terus terdengar dan bermunculan. Keadilan mereka yang terenggut, bisa terpenuhi. Ruang yang setara, bisa diciptakan. Juga bisa mengajak orang lain untuk peka dan peduli isu-isu perempuan lebih banyak lagi, terutama mereka yang berhadapan dengan regu penembak.

Penulis: Aisya Humaida
Editor: Ricky Gunawan

Seri Buku Saku LBHM: Hak Atas Kesehatan.

Hak atas kesehatan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), karena berkaitan erat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Indonesia menjamin pemenuhan hak atas kesehatan melalui Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor. 36 Tahun 2009. Kebijakan ini menjadi bagian dari komitmen Indonesia dalam menjamin kesehatan masyarakatnya dengan menyediakan layanan kesehatan yang kompeten dan berasaskan non-diskriminasi.

Instrumen Internasional dan nasional sepakat bahwa pemenuhan hak atas kesehatan harus berasaskan non-diskriminasi. Sayangnya, dalam prakteknya diskriminasi masih kerap ditemui di layanan kesehatan. Kelompok rentan seperti perempuan, anak, dan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan kelompok rentan yang memiliki perilaku beresiko terinfeksi HIV kerap kali mendapat stigma dan diskriminasi oleh penyedia layanan kesehatan, yang mengakibatkan penghambatan dalam pencampaian target pemenuhan hak atas kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam instrumen nasional maupun internasional.

Maka dari itu LBHM membuat buku saku hak atas kesehatan, guna memberikan pemahaman dasar mengenai hak atas kesehatan serta relevansinya dalam isu HIV. Kalian dapat mengunduh buku saku ini di sini

Seri Buku Saku LBHM: Mekanisme Pengaduan.

Selama ini di masyarakat sendiri masih terjadi miskonsepsi seputar Human Immunodeficiency Virus (HIV), anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang mematikan malah menimbulkan presepsi Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) dianggap membahayakan. Kesalahpahaman ini nantinya menciptakan stigma dan diskriminasi kepadapopulasi kunci. LBH Masyarakat (LBHM) dalam kurun waktu 2016-2018 menunjukkan bahwa praktek stigma dan diskriminasi terhadap populasi kunci HIV masih terjadi. Setidaknya terdapat 184 kasus yang terjadi pada populasi kunci HIV dan 138 diantaranya terindikasi sebagai pelanggaran HAM.

 Ironisnya, praktek stigma dan diskriminasi yang terjadi justru mayoritas dilakukan oleh mereka, yang seharusnya menerapkan asas non-diskriminasi dalam memberikan pelayanan, tidak hanya pemberi layanan bahkan masyarakat sipil, organisasi masyarakat dan media pun turut juga memberikan stigma dan diskriminasi. Banyak dari teman-teman populasi kunci HIV yang menjadi korban dari tindakan stigma dan diskriminasi yang tidak berani menindaklanjuti pelanggaran yang diterimanya karena ketidaktahuan mereka tentang hukum – kemana mereka harus melapor dan bagaimana cara pelaporannya. Stigma dan diskriminasi yang tidak diselesaikan dapat membuat korban menjadi enggan untuk mengakses layanan kesehatan maupun membuka status kesehatannya yang nantinya akan menghambat upaya penanggulangan HIV di Indonesia.

Maka dari itu LBHM menyusun buku saku mekanisme pengaduan yang berisi beragam mekanisme pengaduan hak dalam konteks pelayanan publik. Buku saku ini dapat di unduh di sini.

Liputan Media tentang Pekerjaan LBH Masyarakat di 2019

Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) kian hari kian kompleks. Tindakan-tindakan represif, pembungkaman kebebasan berekspresi, dan kriminalisasi belakangan ini semakin menjadi-jadi. Tidak jarang kita melihat isu HAM kerap kali dibungkam ketika berhadapan langsung dengan penguasa. Kondisi ini diperburuk dengan menjamurnya berita-berita hoaks yang semakin mengaburkan informasi terkait HAM.

Menghadapi situasi seperti inilah, LBH Masyarakat (LBHM) percaya bahwa media-media yang imparsial dan berkualitas mampu memberikan edukasi seputar isu-isu HAM kontemporer. Selain itu, LBHM memandang media adalah mitra strategis dalam memberikan informasi yang berbobot dan berimbang kepada masyarakat. Oleh karena itu, LBHM mengucapkan terima kasih atas bantuan teman-teman jurnalis dan pekerja media yang telah meliput kerja-kerja LBHM sehingga pesan-pesan kemanusiaan dapat tersampaikan ke publik dengan cepat dan tepat. Liputan Anda sangat berharga dalam kerja-kerja advokasi kami.

Kalian dapat mengunduh hasil kerja coverage media kami di sini

Infografis Coverage Media LBHM 2019

Rilis Pers – Lewat #HarapHAM, Mengubah Keniscayaan Menjadi Kenyataan.

Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengadakan sebuah festival satu hari berjudul #HarapHAM. Festival yang terbuka untuk umum ini memadukan beberapa acara kebudayaan, yakni lokakarya melukis, pembacaan puisi, diskusi santai, dan pertunjukan musik. Acara ini tidak untuk hura-hura seremonial belaka tapi ingin memantik kepekaan masyarakat umum bahwa kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

#HarapHAM dirancang sebagai medium berbagi keresahan dan kegerahan akan situasi keadilan yang semakin gersang. Sebulan sebelum pelantikan masa jabatannya yang kedua, Joko Widodo menjalankan sejumlah kebijakan yang bertolak belakang dengan semangat HAM dan justru mengkhianati janji HAM-nya. Melalui Kementerian Hukum dan HAM, ia menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK yang semakin mencekik kewenangan KPK dalam agenda pemberantasan korupsi. Bersama anggota DPR periode 2014-2019, ia juga hampir meneken pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang berpotensi menyebabkan overkriminalisasi,terutama kepada kelompok marginal, seperti perempuan, anak, pengguna narkotika dan kelompok minoritas seksual.

Aparat pemerintah juga menunjukkan wajah brutal dan represifnya dalam menangani kasus demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang berlangsung medio September 2019. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat setidaknya terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan tanpa akses bantuan hukum memadai. Aparat melakukan kekerasan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang mengutarakan pendapatnya secara bebas. Salah satu ekses negatif dari represi aksi demonstrasi ini menimpa Immawan Randy dan Yusuf Kardawi, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas ditembak senjata polisi, tanpa diikuti dengan akuntabilitas yang transparan dan efektif.

Kelompok minoritas di Indonesia juga masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan persekusi, kekerasan, dan diskriminasi yang masih diabaikan oleh negara. Dari bulan Januari hingga September 2019, setidaknya ada 30 kasus diskriminasi terhadap kelompok Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender yang menyebabkan tidak sedikit anggota kelompok minoritas seksual ini mengungsi dari rumah atau kotanya. Begitu juga dengan pengguna narkotika yang hidupnya penuh ketakutan mengingat sewaktu-waktu aparat penegak hukum bisa menciduk dan menjebloskan
mereka ke dalam penjara yang sudah sesak; dan bukannya menyediakan dukungan kesehatan. Di tahun ini, kami juga mendapatkan pengalaman berharga dari kasus Wendra, seorang dengan disabilitas intelektual yang diabaikan haknya ketika status disabilitasnya diragukan aparat penegak hukum.

Gambaran kelabu HAM di Indonesia inilah yang menjadi landasan bagaimana kami memilih para pengisi acara di festival #HarapHAM ini. Di siang hari, kami mengadakan lokakarya melukis yang dipandu oleh Bartega Studio karena kami percaya bahwa pesan kemanusiaan tidak melulu hadir lewat retorika tapi juga sketsa. Kami mengundang empat pembicara dalam diskusi publik di malam hari, yaitu Saras Dewi (Dosen Filsafat Universitas Indonesia), Puri Kencana Putri (Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia), Bivitri Susanti (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) dan, Ricky Gunawan (Direktur LBHM), untuk membagikan kesaksian bagaimana, bahkan setelah belasan tahun ‘dikhianati’ pemerintah, mereka tetap pantang menyerah dan akan terus menuntut pertanggungjawaban HAM kepada negara. Hadir pula di festival ini Anya Rompas, seorang penyair, yang mengingatkan tentang pentingnya kesehatan jiwa dalam bait-bait puisinya. #HarapHAM juga mendatangkan para musisi yang bukan hanya terkenal karena kualitas musiknya melainkan juga karena aktivisme yang mereka geluti dan menyuarakan kritik sosial. Ananda Badudu yang gigih memperjuangkan hak kebebasan berpendapat, Oscar Lolang yang aktif menggalang kepedulian untuk Papua lewat lagunya, dan Hindia yang kerap melantunkan dukungannya terhadap korban-korban kekerasan seksual dan ketidakadilan.

Melalui #HarapHAM, LBHM tidak hanya ingin memperlihatkan potret buram penegakan HAM di Indonesia, kami juga ingin menunjukkan potensi-potensi perbaikannya di masa mendatang. Potensi-potensi itu kami yakini ada, bukan cuma di orang-orang yang memiliki jabatan di pemerintah, melainkan juga di diri rakyat biasa lintas etnis, kepercayaan, tingkat pendidikan, gender, orientasi seksual, dan lain-lain. Keniscayaan bahwa setiap orang memiliki HAM akan berubah menjadi kenyataan bilamana sekumpulan orang-orang biasa berkumpul dan mengemban harapan yang sama. #HarapHAM adalah ruang untuk menghimpun kegeraman publik dan mengelolanya menjadi semangat kolektif untuk memperbaiki kemanusiaan dan keadilan di republik yang tengah retak.

Narahubung
Tengku M Raka (0896 3541 0046)

VACANCY: Researcher, for Academic Study of Opinions on the Death Penalty in Indonesia.

LBH Masyarakat (LBHM) and Death Penalty Project (DPP) are seeking qualified researcher(s) to take part in an Academic Study of Opinions on the Death Penalty in Indonesia.

The Death Penalty Project (DPP) is a legal action charity based in London. The DPP provides free legal representation to individuals facing the death penalty around the world. To complement our legal activities, we commission independent legal research on criminal justice issues, conduct capacity building activities, and engage in dialogue and consultation with policy makers and key stakeholders.

In association with the University of Indonesia, DPP and LBHM are currently conducting an academic study of opinions on the death penalty, the aim of which is to gather the views of influential opinion leaders on what steps might be taken, if any, in relation to the legal status and use of the death penalty in Indonesia. The DPP have commissioned a leading international academic, Professor Carolyn Hoyle (University of Oxford, UK), to design the questionnaire and analyse the responses.

Professor Hoyle will author the report based on a series of one-to-one interviews with Indonesian ‘opinion leaders’ – including policy makers, members of parliament, members of the judiciary, prosecutors, law enforcement officials/police, religious leaders, senior academics and the media. These interviews – to be conducted by the Researcher – will focus on attitudes towards the death penalty and the administration of justice in capital cases. The Researcher will be trained in the relevant research methodologies by Dr. Claudia Stoicescu.

Job description:

  • Conduct 20-25 one-to-one interviews. These will be predominantly based in Jakarta (no more than 10 interviews will be outside of Jakarta). All reasonable travel costs incurred during the fieldwork will be covered.
  • Transcription of interview records.

Deadline application:

Send your letter of application and most recent CV outlining relevant experience to rgunawan@lbhmasyarakat.org at the latest Wednesday, 20 November 2019, 17:00. Only shortlisted candidates will be called for interview.

For further information, such as criteria, length and salary please click this link.

Rilis Pers – HARAP-HAM UNTUK BUNG IDHAM

Merespon pelantikan Idham Aziz sebagai Kapolri oleh Presiden Joko Widodo, LBH Masyarakat mencatat empat persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang perlu dibenahi oleh Polri. 

Empat persoalan ini kami temukan dalam pekerjaan-pekerjaan pendampingan kasus LBHM sehingga tidak menafikan kemungkinan adanya permasalahan-permasalahan lain di tubuh Polri.

Pertama, Polri perlu menghentikan kebijakan punitif dalam menangani kasus-kasus penggunaan narkotika dan mengedepankan kebijakan berpendekatan medis. Sepanjang UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diberlakukan, LBH Masyarakat menemukan maraknya kasus pengguna narkotika yang ditahan dan perkaranya diteruskan ke pengadilan. Upaya punitif ini bukan hanya menjebloskan pengguna narkotika ke jurang permasalahan kesehatan yang lebih dalam, ia juga menambah masalah overkapasitas lembaga pemasyarakatan. Polri yang baru perlu lebih peka terhadap permasalahan-permasalahan kesehatan tahanan.

Kedua, Polri wajib menerapkan prinsip nondiskriminasi terhadap anggota-anggotanya yang berasal dari kelompok minoritas agama, orientasi seksual, gender, dan disabilitas. Di awal tahun 2019, LBH Masyarakat mendampingi seorang anggota polisi yang dipecat dari kesatuannya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda. Hal ini tidak sejalan dengan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian yang mewajibkan anggota Polri melindungi HAM kelompok minoritas, tidak terkecuali anggota mereka sendiri.

Ketiga, Polri harus mengubah watak represif dalam menghadapi kasus-kasus yang menyangkut kebebasan menyatakan pendapat. Pada saat menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019, Polri melakukan pengamanan terhadap massa aksi yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR-RI untuk menentang beberapa RUU yang kontroversial. Polri mengaplikasikan cara-cara represif dan brutal untuk menanggulangi massa aksi sehingga melanggar prinsip-prinsip HAM. 

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi, yang terdiri dari LBH Masyarakat dan beberapa anggota masyarakat sipil lain, per tanggal 30 September 2019 terdapat 390 orang yang ditangkap tanpa status hukum yang jelas dan melewati batas waktu 1×24 jam sebagaimana ditentukan dalam KUHAP. Ketidaksesuaian praktik penanganan kasus ini juga dinodai oleh personel-personel kepolisian yang diduga keras melakukan penyiksaan terhadap beberapa orang yang terlibat demonstrasi dan menghalang-halangi orang yang ingin terlibat dalam aksi massa.

Keempat, Polri harus membuka akses bantuan hukum bagi setiap orang yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana. Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat bahwa, dalam penanganan kasus orang-orang yang terlibat demonstrasi pada bulan September 2019, Polri membatasi informasi tentang ketersediaan pengacara. Ketidakterbukaan informasi ini membuat kami mempertanyakan akses bantuan hukum terhadap massa aksi yang ditangkap.

LBH Masyarakat menganggap empat pekerjaan rumah Polri ini sebagai ujian bagi Kapolri Idham Aziz. Ujian untuk menentukan apakah Polri akan lulus menjadi institusi profesional, modern, dan terpercaya (promoter), yang mengedepankan HAM atau mengulang sebagai antagonis dalam sistem demokrasi Indonesia.

Narahubung: M. Afif Abdul Qoyim (081320049060) 

Kompetisi Poster #KitaSetara

Pudarnya nafas keberagaman di Indonesia berjalan seiring dengan meningkatnya narasi populisme yang digunakan sebagai politik identitas. Kondisi ini diperkuat dengan penyebaran bibit ekstremisme dari tingkat pendidikan sekolah menengah hingga perguruan tinggi di beberapa tahun terakhir. Salah satu bentuknya: pembubaran acara dan diskusi yang diselenggarakan oleh kelompok minoritas seksual.

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menemukan 973 orang minoritas seksual dan gender mengalami kriminalisasi dan persekusi.1 Beberapa peraturan juga dibuat dengan muatan diskriminatif terhadap hak-hak kelompok minoritas tersebut. Berdasar catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan ada 421 kebijakan diskriminatis dan 56% di antaranya berbentuk Peraturan Daerah.

Padahal nilai-nilai keberagaman, termasuk seksual dan gender termaktub dalam ideologi Pancasila. Serta ditegaskan melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Atas dasar ini, kami mengangkat #KitaSetara sebagai tema besar kompetisi poster. Frasa #KitaSetara mengingatkan pada nilai-nilai luhur yang telah dipercaya sejak ratusan tahun lalu.

Adapun kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan semangat keberagaman dan toleransi yang semakin terkikis karena adanya politik populisme. Desain yang terpilih akan dijadikan bahan kampanye sosial yang disebarkan ke dalam lini-lini sosial media. Harapannya, pesan yang disampaikan dalam poster dapat diterima dengan baik oleh masyarakat umum dan menggerakan hati mereka untuk terus menjaga keberagaman di Indonesia.

Adapun nanti 3 orang pemenang kompetisi poster #KitaSetara akan mendapatkan hadiah menarik sebagai berikut:

Juara 1: Rp 5.000.000
Juara 2: Rp 3.500.000
Juara 3: Rp 2.000.000

Kami tunggu partisipasinya ya teman-teman, dengan berpartisipasi kalian dapat membantu menjaga keberagaman dan kesetaraan sesama manusia.

Untuk informasi lebih lanjut terkait persyaratan kompetisi #KitaSetara silahkan klik di sini

Dibutuhkan: Relawan Perpustakaan HIV LBHM

Berdiri hampir 12 tahun yang lalu, LBH Masyarakat adalah organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum gratis dan berkualitas bagi masyarakat yang miskin dan terpinggirkan. Selain bantuan hukum, kami juga melakukan upaya advokasi kebijakan, penelitian, dan kampanye terkait isu-isu yang menjadi fokus kerja kami. Permasalahan-permasalahan yang menjadi perhatian kami dalam bekerja antara lain ialah: hukuman mati, narkotika, kesehatan jiwa, LGBTIQ, serta HIV.

Untuk persoalan HIV, kami menyadari bahwa masih tingginya stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat terhadap teman-teman ODHA (orang yang hidup dengan HIV/AIDS), keluarganya, orang-orang dengan prilaku berisiko, serta mereka yang bekerja di isu ini.

Dalam pengentasan stigma dan diskriminasi itulah, kami menyadari pentingnya memunculkan narasi-narasi alternatif mengenai HIV, baik dalam bentuk kampanye, tulisan opini, reportase, dan penelitian. Dalam kerangka berpikir itu, kami di LBH Masyarakat kemudian memutuskan untuk meluncurkan Kolektiva, sebuah wadah pengetahuan yang berisi literatur yang berkaitan dengan persoalan HIV dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia (HAM).

Kolektiva, yang merupakan akronim dari “Koleksi Pustaka HIV dan Hak Asasi Manusia”, bertujuan untuk memudahkan audiens Indonesia – baik pelajar, pengajar, wartawan, analis, peneliti, rekan-rekan LSM, dan pemerintah – untuk mencari sumber pengetahuan atau referensi dalam bentuk literatur dan berbagai dokumen lain yang memuat informasi dan analisis persoalan HIV dan kaitannya dengan HAM.

Mengapa HAM? Karena kami di LBH Masyarakat percaya bahwa perlindungan HAM adalah elemen yang esensial untuk menjaga martabat manusia dalam konteks pencegahan dan penanggulangan HIV, dan upaya untuk memastikan bahwa respons negara terhadap persoalan HIV akan senantiasa efektif, berbasis bukti, dan berdasarkan HAM.

Kamu dapat berkontribusi dalam maksud baik ini dengan menjadi relawan yang bertugas untuk mengumpulkan, membuat ringkasan, serta memasukkan data dari literatur dan dokumen yang penting untuk dimasukkan ke dalam basis data Kolektiva. Selain itu, kamu juga akan dapat menyaksikan dari dekat, dan bila secara waktu memungkinkan juga terlibat, dengan kerja-kerja LBH Masyarakat.

LBH Masyarakat memiliki komitmen agar setiap relawan tidak hanya bekerja tapi juga belajar isu HAM terkini dan berkontribusi menyumbangkan idenya dalam kerja organisasi. Buat kamu yang ingin memiliki pengalaman bekerja dalam bidang bantuan hukum, advokasi, dan penelitian ini adalah kesempatan yang amat sayang untuk dilewatkan.

Dengan mengambil kesempatan ini, kamu dapat mengetahui lebih dalam tentang HIV dan permasalahan-permasalahan HAM di sekitarnya. Kamu juga dapat belajar mengenai cara kerja lembaga HAM, bidang yang mungkin kamu bayangkan untuk karir kamu ke depan.

Kami membutuhkan 1 (satu) relawan dengan kriteria sebagai berikut:

  • Tertarik pada isu HIV dan HAM;
  • Internet-Savvy;
  • Fluent in English;
  • Dapat menggunakan MS Word dan MS Excel;
  • Memiliki laptop;
  • Memiliki motivasi tinggi;
  • Terbuka bagi Mahasiswi/Mahasiswa, minimal semester 4 untuk semua jurusan (lebih disukai jurusan Komunikasi);
  • Berkomitmen untuk bekerja selama, setidak-tidaknya, 300 jam dalam masa relawannya;
  • Berdomisili di Jabodetabek karena harus datang ke kantor LBH Masyarakat dari waktu ke waktu.

Apabila kamu tertarik  silahkan mengirimkan:

  1. Curriculum Vitae (CV) terbaru (tidak lebih dari 2 halaman).
  2. Motivation Letter (400-500 kata) yang berisikan poin-poin berikut:
  • Mengapa kamu tertarik untuk menjadi relawan di LBH Masyarakat (LBHM).
  • Bagaimana menurut pendapatmu seputar HIV dan kaitannya dengan HAM.

Tulis CV dan Motivation Letter kamu dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 11 dengan spasi 1.

– Pendaftaran diperpanjang sampai 4 Oktober 2019. Silahkan kirim dalam format pdf ke email npuspitasari@lbhmasyarakat.org , paling lambat pukul 23.59 WIB.