Tag: Opini

Simon Biles dan Pentingnya Kesehatan Mental

Perhelatan akbar Olimpide Tokyo 2020 baru saja berkahir. Meskipun berlangsung di tengah pandemic Covid-19, semua negara tetap bersaing dengan sportif dan antusias utnuk mendapatkan medali. Amerika Serikat tampil sebagai negara pengumpul medali emas terbanyak dan berada sebagai juara umum. Di balik kabar gembira superioritas Amerika Serikat di Olimpiade itu, terselip sebuah cerita duka. Atlet senam Amerika Serikat, Simone Biles, mengundurkan diri dalam perhelatan Olimpiade Tokyo 2020 yang lalu. Biles, yang dikenal sebagai pesenam dengan sederet medali dan prestasi, mengundurkan diri karena masalah kesehatan mental dirinya. Keputusan yang cukup mengejutkan karena Biles merupakan andalan tim Amerika Serikat di nomor senam. Akan tetapi, keputusan Biles tersebut disambut positif oleh banyak orang karena merupakan salah satu contoh dari atlet yang berani terbuka di depan khalayak umum soal tekanan yang dihadapi dan memilih mengutamakan kesehatan mental mereka.[1] Bisa jadi, apa yang dialami Biles merupakan bentuk depresi akibat dari tekanan besar yang datang dan menekan dirinya. Tekanan untuk menang dan menjadi pemegang medali emas dalam perhelatan ajang 4 tahunan itu. Tekanan yang membuat diri seorang Biles merasa kehilangan kesenangan dalam senam dan memilih mundur.

Peristiwa yang dialami Biles baru-baru ini tentunya kian membuka kesadaran kita bahwa kesehatan mental itu sangat penting. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagaimana dilansir dari Medical News Today, 13 April 2020, menekankan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi mental yang tidak adanya gangguan atau kecacatan mental. Kesehatan mental mengacu pada kesejahteraan kognitif, perilaku, dan emosional. Hal inilah yang mengatur bagaimana cara orang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Selain itu, kesehatan mental juga dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, hubungan atau relasi, dan kesehatan fisik. Misalnya, orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bisa stress, depresi, dan merasakan kecemasan yang dapat memengaruhi kesehatan mental(jiwa) serta mengganggu rutinitas seseorang.[2] Di Indonesia sendiri, jumlah orang yang mengalami gangguan kejiwaan sangat tinggi. Berdasarkan atas Survei Global Health Data Exchange tahun 2017 menunjukkan, ada 27,3 juta orang di Indonesia mengalami masalah kejiwaan. Hal ini berarti, satu dari sepuluh orang di negara ini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Indonesia jadi negara dengan jumlah pengidap gangguan jiwa tertinggi di Asia Tenggara.

Depresi: Persoalan Utama Kesehatan Jiwa di Indonesia

Depresi telah diprediksi menempati urutan pertama sebagai gangguan kejiwaan yang paling banyak dialami oleh penduduk Indonesia selama tiga puluh tahun terakhir.[3] Dari data itu kita mengetahui bahwa depresi adalah nyata. Lantas apa itu depresi? Dilansir dari Kementerian Kesehatan RI, depresi adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan rasa sedih dan berkepanjangan dan kehilangan minat terhadap kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan dengan senang.[4] Untuk mendiagnosa seseorang memiliki depresi, tentu perlu pelibatan profesional dibidangnya, bisa psikolog atau psikiater. Untuk mendiagnosisnya, tentu berpedoman pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 5th Edition (DSM-5) yang beberapa gejalanya adalah depressed mood, kehilangan kesenangan dan minat, insomnia (sulit tidur), hingga pikiran atau ide berulang tentang kematian (bunuh diri). Yang disebutkan terakhir tentunya sangat serius dan penting untuk segera dilakukan intervensi bagi orang yang mengalaminya. Ide tentunya dapat berubah jadi tindakan. Selain itu, bunuh diri sendiri merupakan isu besar dan tidak dapat disepelekan. Dalam Laporan WHO tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Dikatakan lebih lanjut bahwa ada 1 orang meninggal akibat bunuh diri setiap 40 detik. Angka percobaan bunuh diri diperkirakan 20-25 kali lipat jumlah kematian akibat bunuh diri. Tujuh puluh delapan persen bunuh diri terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Meskipun bunuh diri terjadi pada segala rentang usia, tetapi data tahun 2015 menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kedua kematian pada usia 15 – 29 tahun.[5]

Selain persoalan akan intensitas untuk bunuh diri, kabar buruknya, seseorang yang pernah mengalami deprersi dalam hidupnya berpotensi untuk RelapseRelapse merupakan the act or an instance of backsliding, worsening, or subsiding atau a recurrence of symptoms of a disease after a period of improvement”.[6] Terjemahan bebasnya adalah kambuh, keadaan (mental) memburuk atau terjadinya gejala penyakit yang kembali terjadi setelah periode perkembangan kesehatan (mental). Depresi dikenal juga sebagai lifelong-debilitating illness (penyakit yang melemahkan seumur hidup) karena kemungkinan untuk relapse melebihi 80%. Orang yang depresinya mudah kambuh rata-rata mengalami empat kali depresi selama hidupnya dengan lama deprsesi setidaknya 20 minggu – 5 bulan.[7] Kabar buruk lainnya, jika mengalami relapse, depresinya akan lebih lama dan lebih buruk dari dan bisa bertahan hingga dua tahun.[8] Lebih parah lagi, jika pada depresi sebelumnya ia memiliki ide/pikiran bunuh diri, ide atau pikiran tersebut akan kembali dengan intensitas yang lebih besar.[9]

Mari Dukung & Hentikan Stigma!

Apa yang dapat dipelajari dari peristiwa Biles ini? Ada dua hal yang penting untuk menjadikan refleksi kita Bersama. Pertama, bagi saya keputusan Biles untuk mundur tentunya sebuah langkah berani dan tepat. Penting sekali bagi Biles -dan juga orang lain- mengetahui bahwa dirinya sedang tidak dalam kondisi mental yang sehat. Menghindari denial (penyangkalan) bagi diri sendiri merupakan tahap awal untuk recovery (penyembuhan) serta mendapatkan intervensi dari profesional. Karena, seperti yang telah disampaikan di atas, efek dari depresi itu tidak dapat dianggap sepele dan bisa berujung bunuh diri. Dengan penerimaan diri dan dukungan professional tentunya akan berdampak sangat positif. Kedua, paska Biles mengumumkan pengunduran dirinya, dukungan dari publik mengalir kepada dirinya. Mulai dari sesama atlet, musisi, pengusaha hingga tokoh politik seperti Hillary Clinton dan Michelle Obama turut menyatakan dukungan kepada Biles. Netizen pun ramai mendukung Biles yang kemudian menjadi trending topik di Twitter. Dukungan ini harusnya dimaknai sebagai langkah positif dalam isu kesehatan jiwa. Selain sebagai dukungan moril dan proses recovery seorang Biles, dukungan ini merupakan upaya melawan stigma orang dengan gangguan jiwa selama ini. Bagi saya, dukungan luas dari publik dalam peristiwa ini dapat dijadikan momentum untuk melawan stigma bagi orang dengan gangguan jiwa, utamanya di Indonesia. Jamak diketahui, di Indonesia, stigma buruk bagi orang dengan gangguan jiwa masih menyelimuti masyarakat pada umumnya.[10] Stigma itu kemudian memperburuk kondisi orang dengan dengan gangguan kejiwaaan -serta keluarganya- yang (banyak dalam kasus) berujung pada pemasungan dan terhambatnya proses intervensi dari tenaga profesional yang seharusnya segera dilakukan. Untuk itu, otoritas (negara) wajib proaktif untuk mengatasi stigma di Indonesia, seperti mengedukasi dan mengoptimalkan literasi terkait kesehatan jiwa bagi masyarakat luas. Diharapkan, muara dari proses edukasi publik nantinya turut membantu dalam penyembuhan dan pemulihan orang dengan gangguan jiwa seperti yang dilakukan mayoritas publik saat ini bagi seorang Simone Biles. Saya yakin, masih banyak Biles lainnya yang saat ini menanti dukungan positif masyarakat.

Tulisan opini ini merupakan respon dari Kasus pengunduran diri Simon Biles (Atlet Senam Amerika Serikat) yang mengundurkan diri dari Olimpiade Tokyo 2020 karena Kesehatan Mental. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan.


[1] Kementerian Kesehatan RI, 2018. Laporan Riskeskas 2018.

[2] https://www.merriam-webster.com/dictionary/relapse

[3] Judd,LL (1997). The Clinical course of unipolar major depressive disorder. Arcjieves of general psychiatry, 54

[4] Kessing, L.V., Hansen, M. G., Andersen, P.K., & Angst, J (2004).

[5] William, J. M. G., Crane, C., Barnhofer, T., van der Does, A.J.W., & Segel, Z.V. (2006)

[6] Institute of Health Metric and Evalution (IHME), Tahun 2017

[7] http://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/stroke/apa-itu-depresi

[8] https://himpsi.or.id/web/content/2735

[9] https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/10/171200265/hari-kesehatan-mental-sedunia-apa-itu-kesehatan-mental-dan-cara-menjaganya?page=all.

[10] https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4619137/hadapi-masalah-kesehatan-mental-apa-yang-bisa-dipelajari-dari-simone-biles-dan-naomi-osaka

Kristen Gray dan Kepanikan Moral Masyarakat

Seperti dikutip dari laman Kompas.Com pada 20 Januari lalu, asal mula kegaduhan ini dimulai saat Kristen Gray menggunggah sebuah tread di media sosial twitter sekitar tanggal 17 Januari 2021. Melalui akun miliknya @kristentootie, ia mengunggah tentang Bali yang sangat memberikan kenyamanan bagi LGBT serta mengajak orang asing untuk mengunjungi Bali di masa pandemi sekarang ini. Selain unggahan itu, ia juga diduga melakukan bisnis konsultasi dan juga menjual e-book dengan judul Our Bali Life is Yours yang disinyalir memiliki nilai ekonomis.

Postingan Gray tersebut pun menuai respon dari warganet (netizen) di Indonesia. Tentu saja, isinya pro dan kontra. Polemik tersebut kemudian mengarah pada trending di media sosial twitter lainnya yaitu #LGBT. Tak lama berselang, otoritas negara, melalui Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali merespon dan melakukan pemeriksaan terhadap Gray dan pasangannya. Setelah diperiksa oleh Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali, ia dan pasangannya mendapatkan sanksi administratif berupa deportasi. Dalam siaran persnya, terkait dengan pendeportasian Gray, Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali menyatakan Gray telah melanggar 2 hal, yaitu:

Pertama, soal memudahkan orang asing masuk ke Indonesia (Bali) bertentangan dengan Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 2 tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional dan Surat Edaran Dirjen Imigrasi Nomor:IMI-0103.GR.01.01 Tahun 2021 Tentang Pembatasan Sementara Orang Asing ke Wilayah Indonesia selama masa Pandemi Covid-19. Gray kemudian patut diduga melanggar Pasal 75 ayat 1serta Pasal 122 ayat (1) Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Untuk Pasal 122 ayat 1 adalah terkait dengan penyalahgunaan izin/visa milik Gray. Kedua, terkait dengan unggahan kalimat, LGBTQF (queer friendly) dimana provinsi Bali memberikan kenyamanan dan tidak mempersalahkan hal tersebut.

Apa yang dapat dicermati dalam Kasus ini?

Dalam alasan pertama Kanwil wilayah Bali, hal itu dapat dipahami sebagai alasan legal (legal reasoning) dan landas hukum (legal basis) untuk menindak pelanggaran keimigrasian yang dilakukan oleh Gray. Dugaan pelanggarannya sudah barang tentu terkait memudahkan orang asing masuk ke Bali pada masa pandemi dan menyalahi visa kunjungan miliknya. Di mana, visa kunjungan miliknya itu tidak dibenarkan secara hukum untuk melakukan kegiatan yang sifatnya ekonomis di wilayah Indonesia.

Justru alasan kedua inilah yang kemudian menjadi penting untuk dicermati. Dari perspektif keilmuan, perbincangan mengenai LGBT baru-baru ini dapat dipahami sebagai kepanikan moral (moral panic). Stanley Cohen (2002) mendefinisikan kepanikan moral sebagai sebuah situasi ketika kelompok atau kondisi tertentu hadir sebagai ancaman terhadap nilai-nilai yang telah mapan di masyarakat (2002: 1). Kepanikan moral bisa berupa sebuah ancaman yang benar-benar baru, atau ancaman usang yang hadir dalam bentuk-bentuk yang telah berkembang, seperti ketakutan akan “Komunisme Gaya Baru”. Untuk mengerti bagaimana kepanikan moral terbentuk, kita perlu memahami konsep penyimpangan terlebih dahulu. Menurut Cohen, yang menyebabkan sebuah tindakan dikategorikan sebagai penyimpangan bukanlah kualitas atau konsekuensi dari tindakan tersebut. Sebaliknya, sebuah tindakan sudah terlebih dahulu dikategorikan menjadi sebuah penyimpangan berdasarkan koordinat nilai-nilai masyarakat. Dengan kata lain, penyimpangan diciptakan oleh masyarakat itu sendiri (2002: 4)1.

Dalam konteks Indonesia saat ini, pendapat Cohen tentu ada benarnya. Persoalan isu LGBT sudah merupakan perdebatan panjang yang biner terjadi di sini. Biner antara baik dan buruk, neraka dan surga hingga moral dan amoral. Menilik pada survei SMRC yang dilakukan pada Maret 2016, September dan Desember 2017 dengan jumlah responden 1.220 orang. Hasilnya adalah 86,7 persen orang Indonesia menolak LGBT dan menganggap LGBT sebagai sebuah ancaman. Riset mandiri yang dilakukan Tirto.id pada juni 2019 turut mengunggapkan, jika mayoritas masyarakat Indonesia masih mengganggap LGBT adalah hal menyimpang dan harus mendapatkan pengobatan atau pencerahan agama. Kemungkinan besar, data riset di atas merupakan cerminan nilai mapan yang sudah dipegang teguh oleh kebanyakan masyarakat di Indonesia. Sehingga, cuitan Gray melalui twitter dianggap menciderai dan mengancam nilai-nilai yang sudah -dikatakan- mapan di masyarakat. Pantas saja responnya kemudian masif. Publik seakan-akan berlomba untuk menghakimi Gray, sembari mencoba menegakan nilai-nilai yang moral yang ada agar tidak tercedarai. Sebuah respon yang bahkan lebih masif daripada persoalan legal seorang Gray itu sendiri.

Yang turut disayangkan justru respon negara (yang diwakili Kanwil Hukum dan HAM Bali) dalam kasus Gray ini. Alih-alih menegakan peraturan perudangan terkait Covid-19 dan keimigrasian, mereka justru juga (seakan) berperan menjadi “polisi moral”. Peran itu tergambar jelas dari dijadikannya alasan unggahan kalimat LGBTQF sebagai kesalahan yang dilakukan Gray. Mereka seakan menjadi penegak dan pembela moral publik yang mayoritas mengecam cuitan Gray tersebut. Mungkin Kanwil Hukum dan HAM wilayah Bali tidak menyadari bahwa peran “polisi moral” itu akan menambah stigma dan posisi komunitas LGBT sebagai ancaman dan pembuat keresahan di tengah masyarakat. Kemudian, sudah dapat ditebak, tentu komunitas LGBT berpotensi menjadi korban dalam implikasinya kelak. Padahal, sampai saat ini, menjadi seorang LGBT bukanlah sebuah tindak kejahatan. Pantas saja kemudian Gray berkomentar kepada awak media, “I am not guilty. I have not overstay my visa. I have not made money in Indonesian, Rupiah, in Indonesia. I put on the statement about LGBT, and I am being deported because LGBT”.

Tulisan opini ini merupakan respon dari sikap Pemerintah dan publik terhadap kasus Kristen Gray. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Pengacara Publik (Public Defender) LBH Masyarakat.

Referensi:
1. https://www.remotivi.or.id/amatan/271/kepanikan-moral-di-balik-perbincangan-tentang-lgbt

Skip to content