Tag: Polisi

Framing Jahat Pesta Seks: Peradilan Berorientasi Kebencian dalam Kasus 75 Orang di Puncak

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi mengecam framing negatif atas peristiwa penangkapan dan penertiban 75 orang dalam acara “Big Star Got Talent” yang berlangsung di sebuah vila di Megamendung, Puncak, Jawa Barat. Framing negatif dan penuh syak wasangka terhadap orang-orang dengan orientasi seksual tertentu ini menyebabkan kriminalisasi yang dipaksakan, penuh tipu daya, dan asal-asalan.

Pada hari Minggu, 22 Juni 2025, sekitar jam 01.00, anggota Kepolisian Sektor Megamendung bersama dengan anggota organisasi masyarakat yang tidak dikenal datang ke sebuah villa di Kawasan Megamendung. Mereka mengaku mendapatkan laporan dari masyarakat tentang kegiatan yang melibatkan sejumlah pria gay. Acara yang sudah berlangsung dari Sabtu sore ini pun dihentikan dan semua orang yang ada di acara tersebut langsung dibawa ke Polsek Megamendung, sebelum kemudian dipindahkan ke Polres Bogor.

Dalam proses penangkapan tersebut, ada sejumlah kecacatan formil yang dilakukan oleh kepolisian. Penangkapan dilakukan dengan melibatkan pihak eksternal, yakni anggota ormas yang tidak dikenal sekalipun mereka tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam kegiatan penertiban atau penangkapan. Polisi juga mengambil foto orang-orang yang ditangkap pada saat kejadian tersebut yang kemudian disebarluaskan ke media sehingga menyebabkan framing negatif atas apa yang terjadi terus berulang. Polisi menahan 75 orang ini dari Minggu dini hari hingga hari Senin sekitar jam 1.30 tanpa dasar apapun.

Berdasarkan fakta-fakta kejadian, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi bergerak cepat dalam melakukan pendampingan terhadap orang-orang ini sejak hari Minggu, 22 Juni. Hasil pendampingan dan pemeriksaan kami menemukan beberapa hal berikut yang perlu diluruskan.

 Pertama, tidak benar ada pesta seks. Beragam media memberikan framing negatif yang mengasosiasikan kehadiran anggota komunitas gay sebagai bukti bahwa telah terjadi pesta seks. Beberapa menyebutkan bahwa kegiatan pentas dan kontes adalah kedok untuk pesta seks.[1] Ada juga pemberitaan yang langsung melabel apa yang dilakukan oleh para peserta sebagai ‘menyimpang’.[2]

 Padahal acara “Big Star Got Talent” tersebut sangat jauh dari pesta seks. Kegiatan yang berlangsung di Puncak adalah ramah-tamah, pertunjukan fashion show, lomba tari dan menyanyi, dan juga hiburan-hiburan yang lain. Singkatnya, ini aktivitas-aktivitas yang juga biasa dilakukan oleh orang-orang heteroseksual ketika berkumpul. Dalam kegiatan tersebut, tidak ada satu pun dari 75 orang yang melakukan hubungan seks.

Bukan hanya klien kami yang menyatakan demikian, hasil penelusuran polisi sejauh ini juga tidak menemukan telah terjadi pesta seks. Gambar yang didokumentasikan pada saat polisi melakukan penertiban, misalnya, tidak menunjukkan ketelanjangan. Polisi menemukan 4 bungkus kondom yang belum dipakai. Penemuan alat kontrasepsi ini tidak bisa dijadikan dasar adanya tindak pidana, karena alat kontrasepsi adalah alat penunjang kesehatan untuk mencegah penyakit menular seksual. Apalagi, alat kontrasepsi yang ditemukan masih dalam kondisi belum terpakai.

Kedua, aturan dari panitia justru mencegah supaya tidak terjadi tindakan kriminalitas di acara tersebut. Di dalam aturan yang dibuat oleh panitia acara Big Star, tertulis aturan seperti dilarang menggunakan dan membawa narkotika, dilarang membuat keributan, tidak boleh melakukan kekerasan seksual, dan menghormati satu sama lain.

Aturan-aturan ini dibuat dengan kesadaran penuh oleh panitia acara karena acara tersebut dimaksudkan untuk membangun ruang yang aman dan nyaman bagi semua peserta. Peraturan yang disosialisasikan sebelum berlangsungnya acara menjelaskan bahwa kegiatan kumpul anggota komunitas ini bukan dengan niat buruk atau mempromosikan pornografi atau kekerasan. Sebaliknya, mereka berkumpul secara damai sehingga aturan yang dibuat pun mencoba mengakomodir hal tersebut.

Ketiga, berita-berita negatif dari media membuat kasus ini tidak lagi diadili dengan aturan hukum yang sesuai dan malah membuat pengadilan oleh media (trial by the press). Dengan informasi yang terbatas dan framing negatif pesta seks, sudah ada beragam desakan untuk menghukum partisipan kegiatan ini dari pihak-pihak yang tidak mengetahui secara tuntas apa yang terjadi pada tanggal 21-22 Juni tersebut. Opini ini dibangun oleh anggota PBNU[3], anggota Komisi III DPR RI[4], MUI Provinsi Jabar[5], Ketua DPRD Kabupaten Bogor[6], Wakil Gubernur Jawa Barat[7], dan lain-lain lagi.

Karena desakan oleh media dan pembuat opini ini, kepolisian seolah terpaksa untuk melanjutkan kasus yang sebenarnya tidak memenuhi unsur pidana. Akibat dari perbuatan ini, polisi seolah-olah coba mencocokan pasal yang mungkin bisa berlaku di kejadian. Dalam surat panggilan atas beberapa klien kami, polisi menegaskan bahwa pasal yang diselidiki adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi), Pasal 10 UU Pornografi, Pasal 296 KUHP. Tiga pasal tersebut tidak bisa digunakan untuk peristiwa ini.

Pasal 7 UU Pornografi menjerat siapapun yang mendanai dan memfasilitasi perbuatan-perbuatan pornografi. Namun, karena materi acara Big Star tersebut tidak menunjukkan ketelanjangan, persenggamaan, alat kelamin, ataupun unsur pornografi lainnya, sangat jelas bahwa unsur-unsur Pasal 7 ini tidak tercapai. Pasal 10 Pornografi melarang orang untuk mempertunjukkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Lagi-lagi, fakta menunjukkan bahwa acara yang dilangsungkan tidak berhubungan dengan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan atau pornografi, sehingga pasal ini pun bisa dipastikan gugur. Sementara itu, Pasal 296 KUHP tentang menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul juga semestinya tidak berlaku karena tidak ada perbuatan cabul yang dilakukan pada tanggal 21-22 Juni di dalam acara Big Star tersebut.

Berdasarkan poin-poin di atas, Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi menegaskan bahwa acara Big Star yang diorganisir oleh komunitas gay di Puncak tanggal 22 Juni 2025 adalah bentuk dari kebebasan berkumpul mereka. Kebebasan berkumpul ini dijamin di Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kegiatan yang dilakukan juga sepenuhnya berada di koridor kesenian, bukan pornografi dan pesta seks, sehingga ia juga memenuhi Pasal 24 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.”

Atas dasar kebebasan ini, kami mendesak Kepolisian Resor Bogor untuk segera menghentikan proses hukum atas kasus ini. Sebaliknya, Kepolisian harus cepat-cepat mengevaluasi proses penegakan hukum yang sudah mereka lakukan yang menunjukkan banyak indikasi pelanggaran kode etik dan hukum acara pidana. Hal-hal ini mencangkup, tapi tidak terbatas pada, pelanggaran hak atas privasi atas orang-orang yang bukan pelaku kejahatan, tes HIV paksa yang tidak sesuai dengan prinsip hak atas kesehatan, ‘penyitaan’ barang-barang pribadi sekalipun kasus  ini belum masuk ke tahap penyidikan. Mengingat hari ini juga adalah Hari HUT Bhayangkara ke-79, kepolisian harus mengecek kembali seberapa jauh mereka sudah bisa menjadi pengayom masyarakat, khususnya bagi kelompok rentan.

Koalisi Bantuan Hukum Menolak Diskriminasi juga hendak mendorong Dewan Pers untuk mengawasi kerja pers dalam pemberitaan kasus ini, sehingga tidak lagi memberikan framing negatif dan tak berimbang atas peristiwa yang terjadi. Pembunuhan karakter atas anggota komunitas gay dengan berita penuh prasangka dan kebencian, tanpa memberikan kesempatan bagi mereka untuk membela diri, adalah bentuk ketidakprofesionalitasan awak media. Sebagai pilar keempat demokrasi, media seharusnya memberikan ruang yang aman bagi kelompok rentan, bukan malah menggaungkan penegakan hukum yang awut-awutan.

Jakarta, 1 Juli 2025 

Narahubung:

  1. Yosua Octavian (LBHM) – 0898 437 0066
  2. Antonius Badar Karwayu – 0856 9799 8944

Referensi:

[1] https://news.detik.com/berita/d-7978897/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-75-orang-diamankan

[2] https://prohaba.tribunnews.com/2025/06/25/polisi-gerebek-pesta-gay-di-puncak-bogor-berkedok-family-gathering-75-orang-diamankan?page=2

[3] https://wartapontianak.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1179452198/terkait-pesta-seks-sesama-jenis-di-megamendung-bogor-ini-respons-pbnu

[4] https://rri.co.id/hukum/1609240/dpr-usut-tuntas-pesta-sesama-jenis-di-puncak

[5] https://www.jabarnews.com/daerah/mui-desak-gubernur-dedi-tegas-lgbt-puncak-bogor/

[6] https://bogorupdate.com/soal-pesta-seks-sesama-jenis-ketua-dprd-sastra-winara-desak-dinkes-gencarkan-sosialisasi/

[7] https://www.rmoljabar.id/wagub-jabar-apresiasi-penggerebekan-pesta-gay-di-puncak-tegaskan-penolakan-terhadap-lgbt

Peserta Aksi May Day Mengalami Tindakan Kekerasan Fisik dan Kekerasan Seksual, TAUD Buat Laporan ke Mabes POLRI

Jakarta, 16 Juni 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) bersama sejumlah korban membuat Laporan Polisi (LP) kepada Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) atas adanya tindak pidana kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Tak hanya itu, TAUD juga melaporkan dugaan pelanggaran etik ke beberapa unit lain di internal Polri yaitu; Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik), dan Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri.

Pelaporan dan pengaduan ini dilakukan karena TAUD menemukan fakta terdapatnya tindakan kekerasan pada saat aksi Hari Buruh Internasional (May day) 1 Mei 2025 yang dilaksanakan di wilayah Jakarta sekitaran Gedung DPR/MPR. TAUD menemukan sejumlah peserta aksi may day yang menjadi  korban tindak kekerasan dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh aparat Kepolisian. Adapun tindakan yang mereka alami antara lain berupa intimidasi, dipiting dan dipukul hingga mengalami pelecehan seksual secara verbal dan fisik. Korban tersebut meliputi mahasiswa/i, masyarakat sipil, dan juga paramedis. 

Tindakan kekerasan tersebut terjadi saat situasi demonstrasi yang chaos dan para peserta aksi meninggalkan lokasi titik aksi peringatan Hari Buruh Internasional. Setelah lebih dari 1 kilometer para peserta meninggalkan lokasi aksi, para peserta aksi mendapatkan represifitas dan tindakan brutal yang diduga kuat dilakukan oleh sejumlah aparat kepolisian di sekitar kolong jembatan layang (flyover) Jl. Gerbang Pemuda..

Tindakan kekerasan yang dilakukan tersebut jelas telah melanggar dan memenuhi unsur yang diatur dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pengeroyokan, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan terhadap orang atau barang. Serta, Pasal 351 KUHP yang mengatur mengenai tindakan penganiayaan, yaitu tindakan yang menyebabkan rasa sakit, luka, atau merusak kesehatan orang lain. 

Selain itu, tindakan kekerasan seksual dialami oleh salah satu perempuan paralegal dari tim medis (perempuan pembela HAM), yang diteriaki ‘lonte’, ‘pukimak’, ‘telanjangin-telanjangin’ hingga menarik baju dalam korban yang diduga dilakukan juga oleh aparat kepolisian. Hal ini jelas melanggar ketentuan Pasal 11 UU TPKS Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 5 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS dan Pasal 6 Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mana menyebutkan bahwa tindakan kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual secara fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh aparat sebagai pejabat negara dengan tujuan persekusi, menuduh hal yang dicurigai, mempermalukan dan merendahkan martabat perempuan merupakan tindakan penyiksaan seksual dengan tidak terbatas pada ruang privat namun juga di ruang publik. Sehingga, menimbulkan dampak perlukaan fisik dan psikososial yang mempengaruhi hak atas rasa aman korban di ruang publik. 

Dari apa yang dialami oleh seluruh korban, TAUD meyakini telah memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 170 KUHP, Pasal 351 KUHP, Pasal 11 UU TPKS, Pasal 5 dan Pasal 6, Pasal 15 ayat (1) huruf d dan f UU TPKS. Setelah diminta untuk berkonsultasi dengan Perwira Piket dan Petugas SPKT pada Mabes Polri yang memakan waktu sekitar 9 jam, akhirnya Mabes Polri menerima 4 (empat) Laporan Polisi yang dilaporkan oleh para korban. Laporan ini didasarkan oleh bukti-bukti terjadinya tindak pidana yang dihimpun oleh TAUD berupa foto dan video.

Adapun Laporan Polisi (LP) yang telah tercatatkan pada SPKT Badan Reserse Kriminal Republik Indonesia pada Mabes Polri adalah sebagai berikut:

  1. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/280/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  2. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/284/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  3. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/285/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 16 Juni 2025;
  4. Surat Tanda Terima Laporan Polisi Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal Nomor : STTL/286/VI/2025/BARESKRIM tertanggal 17 Juni 2025.

Setelah membuat Laporan Polisi (LP), TAUD juga mengirimkan pengaduan ke Biro Pengawas dan Penyidikan (Rowassidik). Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran hukum acara pidana yang dilakukan oleh Polisi Ditreskrimum Polda Metro Jaya terhadap keempat belas klien kami. Mulai dari pelanggaran prosedur dalam penangkapan, jangka waktu penangkapan, penetapan tersangka yang tidak sah, serta mekanisme “pemeriksaan” ilegal yang tidak diatur dalam KUHAP.

TAUD juga membuat pengaduan kepada Divisi Profesi dan Keamanan (Propam) Mabes Polri berdasarkan Surat Penerimaan Surat Pengaduan Propam Nomor: SPSP2/002676/VI/2025/BAGYANDUAN tertanggal 16 Juni 2025. Hal ini berkaitan dengan adanya pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian berupa kekerasan yang dilakukan kepada masyarakat, pelanggaran hukum dalam proses hukum acara pidana, serta penyebaran berita bohong atau informasi yang keliru oleh pejabat kepolisian dalam proses penanganan kasus yang melibatkan keempat belas korban kekerasan tersebut.

Atas tindakan kekerasan fisik dan seksual yang dialami para korban serta dugaan pelanggaran kode etik dan dugaan pelanggaran hukum dalam proses penyelidikan/penyidikan terhadap 14 orang klien kami, TAUD mendesak:

1. Bareskrim Polri menerima dan memproses laporan sebagai bentuk komitmen Polri dalam menindaklanjuti setiap pengaduan dari masyarakat sipil demi menegakkan keadilan bagi korban.

2. Divisi Propam Mabes Polri menerima pengaduan, melakukan Audit Investigasi dan pemeriksaan terhadap setiap dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku kepolisian (KEPP) pada serangkaian proses penangkapan sampai dengan tahap penyidikan.

3. Kepala Biro Pengawasan Penyidik Mabes Polri melakukan pemeriksaan terhadap seluruh rangkaian proses penyelidikan-penyidik perkara klien kami;

4. Kapolri untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga terlibat dalam kekerasan fisik dan seksual pada peringatan May Day 1 Mei 2025, dengan melakukan pemeriksaan internal secara menyeluruh dan transparan.

5. Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk segera melakukan penyelidikan independen terhadap tindakan kekerasan yang terjadi dalam aksi May Day, serta mengeluarkan rekomendasi pemulihan dan jaminan ketidak berulangan.

6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan atas keamanan para korban dan para saksi serta memfasilitasi restitusi penderitaan fisik, mental dan/atau kerugiaan ekonomi yang dialami para korban dengan melakukan koordinasi dengan penyidik yang menindaklanjuti laporan.

7. Pemerintah dan institusi Polri  untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berkumpul sesuai dengan amanat konstitusi, serta menghentikan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap peserta aksi.

8.  Adanya mekanisme pemulihan dan reparasi bagi para korban, baik secara psikologis, hukum, maupun material, yang harus difasilitasi oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia.

 

Hormat kami,

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)

 

Siaran Pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP): Band Sukatani Akui Ada Intimidasi: Proses Pemeriksaan Etik dan Pidana Wajib Dilakukan Kepada Anggota Polisi yang Melanggar

“Tindakan tanpa dasar kewenangan yang sah oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani sehingga menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.”

 Pada 1 Maret 2025, Band Sukatani dalam keterangannya ke publik, melalui akun @sukatani.band di kanal instagram, mengakui adanya tekanan dan intimidasi atas adanya lagu “Bayar, Bayar, Bayar” oleh aparat kepolisian. Bahkan intimidasi sudah dialami Band Sukatani sejak Juli 2024. Koalisi menilai tindakan tersebut merupakan upaya pembungkaman terhadap Band Sukatani secara khusus, yang sekiranya tindakan ini dibiarkan dan para pelakunya tidak dihukum maka preseden ini amat potensial kembali berulang sehingga menjadi momok bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi (berkesenian) secara umum.

Sebelumnya, pada 25 Februari 2025, Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, mengatakan berdasarkan pemeriksaan Propam Polda Jawa Tengah justru menyimpulkan bahwa para anggota yang diperiksa telah menjalankan tugasnya secara profesional. Sebelumnya pada 24 Februari 2025, Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen Pol (Purn) Arif Wicaksono Sudiutomo dan staf Kapolri, Irjen Purnawirawan Aryanto Sutadi, malah membantah adanya intimidasi tersebut. Ketua Kompolnas menilai kedatangan anggota Polda Jateng menemui personel band Sukatani bukan untuk mengintimidasi.

Meskipun begitu, Koalisi menilai tindakan Personel Kepolisian mendatangi Band Sukatani tetaplah pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang, karena jika Institusi Kepolisian tidak anti kritik sebagaimana telah dinyatakan Kapolri di beberapa media massa, tentu tindakan tersebut tidak boleh dilakukan. Kepolisian wajib melindungi dan menghormati ekspresi dan kritik dimaksud, serta memastikan karya lagu Sukatani dapat diakses dan dinikmati khalayak umum dalam berbagai platform seperti semula. Sebab, hak dan kebebasan berekspresi telah dijamin secara konstitusional serta berbagai peraturan perundang-undangan dan instrumen internasional yang telah diratifikasi Indonesia (ICCPR).

Saat ini, pemeriksaan terhadap anggota Ditsiber Polda Jateng tersebut telah diambil alih oleh Propam Mabes Polri. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) menuntut agar pemeriksaan dijalankan secara akuntabel dan transparan. Hasil pemeriksaan harus menghasilkan kronologi yang jelas, menjelaskan dasar hukum yang digunakan, identitas polisi pelanggar, serta menjelaskan prosedur dan kelengkapan administrasi anggota kepolisian pada saat melakukan tindakan tersebut.

Kami juga mendesak Propam Mabes Polri untuk menggunakan instrumen pidana dalam memproses anggota kepolisian yang melakukan intimidasi kepada Band Sukatani.

Pasal 421 KUHP mengatur tentang ancaman pidana 2 tahun 8 bulan, kepada setiap Pegawai negeri (termasuk polisi di dalamnya) yang dengan sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk melakukan, tidak melakukan sesuatu, ataupun membiarkan sesuatu. Rilis media Institute Criminal Justice Reform (ICJR) tertanggal 22 Februari 2025 sebelumnya, telah menyatakan bahwa tindakan menghampiri ataupun mengklarifikasi atas lagu “Bayar, Bayar, Bayar” bukan kewenangan polisi. Tidak ada ketentuan pidana yang dilanggar oleh Band Sukatani, sehingga, polisi tidak berwenang untuk mendatangi, ataupun membatasi kemerdekaan band Sukatani. Tindakan tanpa kewenangan oleh anggota kepolisian yang berujung pada adanya paksaan Band Sukatani menarik lagu dan membuat video permintaan maaf adalah tindak pidana.

Dengan demikian, kami mendesak kepada Propam Mabes Polri dan juga kepada Kapolri untuk:

Pertama, Kapolri dan Propam Mabes Polri wajib menjunjung tinggi akuntabilitas, objektivitas, dan transparansi dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik adanya tekanan dan intimidasi kepada Band Sukatani oleh Anggota Polda Jateng.

Kedua, Propam dan Kapolri harus menindak tegas dengan memproses secara pidana Anggota Polda Jateng yang terbukti dan/atau terlibat melakukan intimidasi.

Jakarta, 2 Maret 2025 Dengan Hormat,

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian*

Narahubung:

  • Arif Maulana (YLBHI/RFP)
  • Fadhil Alfathan (LBH Jakarta/RFP)
  • Paul (Sekretariat Bersama RFP)
  • Maidina (ICJR/RFP)

*Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) adalah sebuah koalisi yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil (non governmental organization) yang concern mendorong agenda reformasi kepolisian yang akuntabel, profesional, demokratis, dan berkomitmen terhadap Hak Asasi Manusia. Organisasi masyarakat sipil yang terhimpun dalam RFP di antaranya: YLBHI, ICJR, PBHI, ICW, Kurawal Foundation, KontraS, AJI Indonesia, Imparsial, Walhi Nasional, SAFEnet, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya.

id_IDIndonesian