Tag: Unfair Trial

Rilis Pers – Arif Pulang Malam Ini, Terima Kasih Majelis Hakim!

LBH Masyarakat mengapresiasi Majelis Hakim yang memeriksa perkara klien kami, Arif Fauzi Fadillah (Arif), di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas putusannya, pada Kamis, 14 Desember 2017 kemarin, yang cermat terhadap lemahnya fakta persidangan dan berani untuk membebaskan klien kami dari segala tuduhan. Putusan Majelis Hakim, yang terdiri dari Dwi Dayanto, S.H., M.H. (Ketua Majelis); Abdul Bari A. Rahim, S.H., M.H.; dan Antonius Simbolon, S.H., M.H., telah memenuhi hak klien kami atas peradilan yang jujur dan adil juga mengembalikan Arif pada keluarga yang merindukannya.

Arif adalah klien LBH Masyarakat, yang bersama beberapa warga jatiwaringin lainnya, dituding oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur melakukan pembunuhan secara bersama-sama, melakukan pengeroyokan secara bersama-sama dan dituduh melakukan penganiayaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain secara bersama-sama. Kasus ini, secara keliru, sering dibingkai oleh beberapa liputan sebagai “Geng Motor Jatiwaringin” padahal para terdakwa justru adalah pihak-pihak yang melindungi kampung mereka dari ancaman geng motor yang dimaksud.

Dalam pendampingan hukum yang kami lakukan, kami menemukan bahwa dalam proses interogasi yang dilakukan oleh Polres Metro Jakarta Timur terhadap Arif dan tujuh terdakwa terdapat perlakuan yang tidak manusiawi yakni pemukulan dan intimidasi. Perlakuan yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan ini adalah bentuk penyiksaan yang terang benderang.

Selain itu, di dalam persidangan kami juga menemukan beberapa kejanggalan: barang bukti tidak ada kaitannya dengan terdakwa, barang bukti yang dihadirkan tidak diperiksa di laboratorium, tidak ada saksi yang menyebutkan dan melihat terdakwa melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada mereka, serta penyidik yang bertugas mengumpulkan barang bukti dan saksi verbalisan yang disebut terdakwa melakukan penyiksaan, tidak bisa hadir memberikan keterangan sebagai saksi dipersidangan.

Lemahnya fakta yang dikumpulkan dalam proses penyidikan dan penuntutan juga dilihat oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. Hal tersebut membuat Arif dan tujuh terdakwa lainnya dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Dalam putusannya, Majelis Hakim juga memerintahkan agar Arif dibebaskan dari tahanan.

Di saat yang sama, kami juga menyesalkan lambannya kerja Kejaksaan Negeri Jakarta Timur dan Rumah Tahanan Negara Cipinang dalam memenuhi perintah Majelis Hakim dalam putusan untuk segera mengeluarkan Arif dari tahanan. Butuh waktu lebih dari 24 jam hingga akhirnya Arif dikeluarkan dari Rutan Cipinang pada malam hari ini, Jumat, 15 Desember 2017. Hal ini hendaknya menjadi catatan bagi Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam aspek peningkatan kualitas kerja.

Melalui rilis ini, kami juga meminta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya dan/atau Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur untuk memeriksa penyidik dalam kasus klien kami, Arif, yang diduga kuat melakukan pelanggaran etik, profesi, dan disiplin sebagai anggota Polri.

Kami berterima kasih juga pada pendukung-pendukung kami yang juga telah menyerukan #PulangkanArif melalui media sosial. Melalui kasus ini, kami melihat betapa esensialnya pemantauan publik terhadap sistem peradilan pidana serta pentingnya keberadaan penasihat hukum yang kapabel untuk mengungkap insiden penyiksaan dan lemahnya pembuktian dari penegak hukum.

Kasus ini menunjukan masih eksisnya praktik penyiksaan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebuah hal yang patut menjadi catatan penting bagi kita semua. Mengingat masih punitifnya hukum di Indonesia, maka kita semua adalah korban potensial praktik penyiksaan. Praktik penyiksaan dan intimidasi adalah praktik yang sudah seharusnya dihentikan – karena, siapapun dia, setiap manusia: berharga.

Jakarta, 15 Desember 2017

Maruf Bajammal, S.H. – Pengacara Publik LBH Masyarakat

Rilis Pers – Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia: Hormati Kehidupan, Rayakan Kemanusiaan

Dalam rangka memperingati Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober, LBH Masyarakat menyelenggarakan sebuah festival kemanusiaan satu-hari yang bertajuk, A Day for Forever: Celebrating Life and Hope, pada hari Sabtu, 7 Oktober 2017, bertempat di Conclave, Jl. Wijaya.

LBH Masyarakat memilih tema festival tersebut di atas karena kami resah melihat politik hukum dan HAM hari-hari ini yang kian menepikan arti penting kehidupan dan mengingkari martabat kemanusiaan. Di bawah pemerintahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), telah dilangsungkan tiga gelombang eksekusi mati yang telah merenggut nyawa 18 orang terpidana mati. Kesemuanya dijalankan dengan dalih “darurat narkotika”. Memasuki tahun ketiga rezim Jokowi, angka kejahatan narkotika tidaklah menunjukkan penurunan, yang ada justru tindak pidana narkotika kian marak dan aparat penegak hukum juga terlibat di dalam peredaran gelap narkotika. Bukannya mengevaluasi kebijakan narkotika yang tengah berjalan, Jokowi justru mendorong terus kebijakan punitif yang nirhasil.

Di tengah kepemimpinan yang goyah karena diterpa isu anti-Islam, diasosiasikan dengan PKI, dan cenderung otoriter, Jokowi sekali lagi menggunakan isu narkotika untuk tampil heroik. Belum lagi mengingat mendekatnya kontestasi politik 2019, Jokowi seperti hendak terlihat gagah mengatasi persoalan kejahatan yang menyeruak. Gejala ini menunjukkan betapa penyelesaian sebuah persoalan publik, yang seharusnya dilihat dari kacatama ilmiah yang jernih, malah rentan dieksploitasi dan dimanfaatkan sebagai alat elektoral guna mendulang suara.

Berangkat dari situasi di atas, LBH Masyarakat memandang penting untuk terus menyuarakan pentingnya penghormatan terhadap kemanusiaan di tengah derasnya arus narasi pemerintah yang hendak meminggirkan norma-norma hak asasi manusia dalam menyelesaikan pelbagai problem sosial dan hukum. Selain itu, LBH Masyarakat juga merasa perlu untuk senantiasa mengajak publik tetap dapat menjaga kekritisannya dalam mengawal jalannya pemerintahan. Atas dasar inilah, LBH Masyarakat mengadakan A Day for Forever.

Jakarta, 5 Oktober 2017

Kejaksaan Agung Melakukan Maladministrasi di Eksekusi Gelombang Tiga 29 Juli 2016

Jumat, 28 Juli 2017, Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa eksekusi mati yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada tanggal 29 Juli 2016 sebagai sebuah tindakan maladministrasi. Menurut Ombudsman, di pelaksanaan eksekusi tersebut Kejaksaan Agung telah melanggar Pasal 13 Undang-Undang Grasi Nomor 22 Tahun 2002 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Ombudsman juga menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah melakukan praktik diskriminatif terhadap Humphrey Ejike Jefferson (Jeff), dengan menolak pengajuan Peninjauan Kembali kedua tanpa memberikan penjelasan yang memadai.

 

Temuan Ombudsman tersebut di atas adalah tindak lanjut terhadap pengaduan yang LBH Masyarakat ajukan pada bulan Agustus 2016. LBH Masyarakat mengapresiasi kesimpulan Ombudsman tersebut dan menilai temuan tersebut sebagai hasil yang penting bagi perlindungan hak asasi manusia terpidana mati. “Ombudsman mempertegas pandangan LBH Masyarakat bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan eksekusi mati yang melawan hukum terhadap Jeff dan ketiga terpidana mati lainnya yang dieksekusi pada tanggal 29 Juli 2016,” ujar Ricky Gunawan, Direktur LBH Masyarakat. Tepat setahun yang lalu, eksekusi yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung tersebut berlangsung secara tergesa-gesa, serba tertutup dan serampangan. “Temuan Ombudsman ini menumbuhkan harapan akan adanya keadilan bagi mereka yang telah dieksekusi secara ilegal,” lanjut Ricky.

 

LBH Masyarakat mendesak Kejaksaan Agung, yang kini ramai mewacanakan adanya gelombang empat eksekusi mati, untuk menghentikan persiapan eksekusi mati. “Lebih baik Kejaksaan Agung membenahi diri daripada memaksakan diri melakukan eksekusi mati kembali. Kejaksaan Agung jelas memiliki PR besar untuk menindaklanjuti temuan Ombudsman dan belajar dari kesalahan yang mereka perbuat tahun lalu,” imbuh Ricky.

 

Dalam kesempatan ini LBH Masyarakat kembali mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencopot HM Prasetyo dari jabatan Jaksa Agung. Ricky menambahkan, “Dengan temuan bahwa eksekusi mati dilakukan oleh Kejaksaan Agung secara melawan hukum jelas menunjukkan inkompetensi Jaksa Agung dalam memimpin institusi ini. Bagaimana bisa kita mempercayakan institusi yang harusnya menegakkan hukum ke orang yang melanggar hukum?”

 

Jakarta, 28 Juli 2017

 

LBH Masyarakat

Rilis Pers – HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI GELOMBANG III

Pemerintahan Joko Widodo akan kembali melaksanakan eksekusi mati dalam waktu dekat. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya: penjagaan di Nusakambangan yang semakin diperketat, terpidana mati Merri Utami dipindahkan dari LP Tangerang ke Nusakambangan, terpidana mati Zulfiqar Ali dijemput dari RSUD Cilacap kembali ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu meski ia masih dalam keadaan sakit, dan beberapa kedutaan telah mendapat undangan oleh Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung.

Pengalaman tahun 2015 menunjukkan bahwa di pertemuan semacam itu Kejaksaan Agung memberikan notifikasi eksekusi kepada pihak kedutaan bahwa warga negaranya yang bersangkutan akan segera dieksekusi dalam waktu 3×24 jam ke depan. Berdasarkan penelusuran LBH Masyarakat, setidaknya ada dua kedutaan yang telah mendapatkan undangan tersebut, yakni: Kedutaan Besar Nigeria dan Kedutaan Besar Pakistan.

Sama halnya seperti tahun lalu, pelaksanaan eksekusi kali ini juga mengandung banyak persoalan:

Pertama, setidaknya terdapat tiga terpidana mati yang santer disebut-sebut akan dieksekusi yaitu Zulfiqar Ali, Merri Utami, dan Humprey Jefferson, yang belum menggunakan hak grasinya. Padahal di banyak kesempatan, Kejaksaan Agung sudah mengemukakan akan memberikan kesempatan bagi terpidana mati menggunakan segala hak hukumnya sebelum akan dieksekusi. Jika Kejaksaan Agung tetap memaksakan eksekusi pada terpidana mati yang masih memiliki hak untuk mengajukan grasi, hal tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap prinsip rule of law.

Kedua, mayoritas dari terpidana mati yang akan dieksekusi juga menyimpan persoalan unfair trial (pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur). Ketiga terpidana tersebut di atas misalnya tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum yang memadai sejak penangkapan. Di kasus Merri Utami, dia mengalami kekerasan fisik dan seksual di tahap penyidikan. Kerentanan sosial-ekonominya yang dieksploitasi oleh sindikat narkotika juga tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Sementara itu di kasus Zulfiqar Ali, dia juga mengalami penyiksaan ketika di tahap penyidikan. Di kasus Humprey Jefferson, bahkan putusan pengadilannya menyebutkan pertimbangan yang rasis, yaitu: “Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Nigeria sering […] melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan secara rapih dan terselubung.” Pemerintah seakan percaya diri dengan sistem hukum yang ada, keadilan pasti terjamin. Lantas, keadilan seperti apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang penuh kebobrokan?

Ketiga, pemilihan terpidana mati kembali difokuskan pada kasus narkotika, padahal bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati dan eksekusi tidak berbanding lurus dengan turunnya peredaran gelap narkotika. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), sendiri mengatakan bahwa antara bulan Juni 2015 – November 2015 terjadi peningkatan jumlah pemakai narkotika dari 4.2 juta menjadi 5.9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menutup mata terhadap gagalnya hukuman mati dalam memberikan efek jera.

Seharusnya Pemerintah belajar dari dua gelombang eksekusi sebelumnya, bahwa eksekusi mati gagal menjadi jawaban atas permasalahan narkotika di Indonesia yang begitu kompleks. Hukuman mati menyederhanakan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan persoalan narkotika. Pemerintah seharusnya, antara lain, menyediakan akses layanan kesehatan bagi pemakai narkotika yang nondiskriminatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercerabut akses sosial-ekonominya, dan membenahi sistem peradilan pidana agar lebih menghormati hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah:

  1. Menghentikan rencana eksekusi jilid III dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati Indonesia;
  2. Mengkaji ulang kebijakan narkotika dan membuka partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia;
  3. Menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi.

 

Jakarta, 25 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Skip to content