Skip to content

Category: Opini

Opini LBHM

A Day at Tangerang Youth Prison

We approached the gates of the prison at 11am on a Monday morning. Adi’s (not his real name) family greeted us with handshakes and solemn nods. We, representatives from LBH Masyarakat and Adi’s family, were informed by LBH Masyarakat’s lawyers that we would have to wait another two hours until we would be allowed into the prison: visiting times only happen after 1pm. The following two hours were filled with sipping jasmine tea at the warung adjacent to the prison, and consoling Adi’s mother as her sobs for her anguished son permeated the smoke-filled air.

Adi has been in prison since late November, held on remand for allegedly assisting in a sabu smuggling operation in West Jakarta. To the authorities, he is a criminal, found in possession of a small amount of sabu strapped to his motorbike, a “drug trafficker” exacerbating Indonesia’s “narcotics emergency”. But Adi is also a 22 year old, born into a life of poverty and disadvantage in a Chinese-Indonesian family who had to pull him out of school in 4th grade. He suffers from a severe speech impediment, mental health issues, and an undiagnosed mental disability. He can barely read or write. On the night of his arrest, he was ordered by his friend’s girlfriend, the leader of a local drug gang, to inject a small amount of drugs in himself, and then transport the rest to a buyer. His low level of education belied him, and, intimidated and afraid, he followed orders. Unbeknownst to him, his friend’s girlfriend informed the police of the operation, setting him up. Adi is a perfect example of those prone to being exploited by drug syndicates: poor, illiterate, desperate for social bonding. He has been detained ever since his arrest, in an already overcrowded detention center, unsure of when he will be reunited with his family at home.

After numerous security checks and a small taste of Indonesia’s broken prison bureaucracy, we were finally granted entry into the prison grounds. While LBH Masyarakat’s team waited for Adi inside the packed meeting hall, I was struck by our company- young men dressed in prison garments were embracing their wives and girlfriends. Friends were high-fiving one another as they sat to enjoy lunch. Detainees were embracing their young children. The evidence that the Indonesian government’s current “war on drugs” was destroying families and communities was right before us. And, despite its failures, the government continues to blindly wage this drug war, targeting the most vulnerable people.

After many minutes of waiting, Adi entered the meeting room. Through tears, he embraced his parents and shook our hands. He arduously discussed the conditions inside the prison: cramped and sweaty. They feed him rotten food and withhold his breakfast. He sleeps on a hard floor in a room with dozens of other detainees. He sits inside his room all day. As we are speaking with him, a prison official approaches us and informs Adi that his visiting time is up. The official slides his hand towards Adi’s parents and gives them a redolent look. Adi’s parents desperately look at each other, scrummaging around their bag for any money, longing for just a few more minutes with their son. The prison guard discreetly takes their money and walks off. The remaining period of the visit is filled with loud sobs from Adi and his family, long hugs, and many ‘thank-you’s’ to the LBH Masyarakat’s legal team who have been working tirelessly to arrange for Adi’s release.

It is very easy to feel sad for Adi in his situation, an innocent victim of Indonesia’s broken drug policy and flawed justice system. But as we walked out of the meeting room and back through security, I could not help feeling angry. Adi is just one person out of hundreds who are caught in this situation, held indefinitely in prison while they await trial. Bribery, dirty food, and unfit prison conditions colour his new life. As we leave the prison, I read the large sign adorning the entrance: “Siap Melayani Tanpa Pungli”, “Melindungi Hak Asasi Manusia”: “Ready to Serve without Levy”, “Protecting Human Rights”.

 

This piece is written by Olivia Jones, a Monash University student who volunteered in LBH Masyarakat from in early 2019, and edited by Ricky Gunawan.

Yang Dibutuhkan Itu #SayangODHA, Bukan Stigma

Jimmy, seorang positif HIV harus di-PHK dari tempat kerjanya sesaat setelah ia mengungkapkan status HIVnya kepada rekan kerjanya.[1] Putri -bukan nama sebenarnya- juga harus mengalami nasib serupa, ia dipecat karena status HIVnya.[2] Selain syarat kerja bebas HIV, diskriminasi berupa PHK atau pemecatan sepihak menjadi salah satu bentuk diskriminasi yang cukup sering dialami oleh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Salah seorang pengusaha di Jakarta bahkan dengan gamblang mengeluarkan pernyataan bahwa ia akan memecat karyawannya yang terbukti HIV positif.[3] Perusahaan yang melakukan pemecatan beralasan bahwa pegawai yang positif HIV memiliki kondisi tubuh yang lemah sehingga tidak akan produktif.[4]

Meski HIV menyerang sistem kekebalan tubuh, orang dengan HIV/AIDS belum tentu sakit-sakitan dan lemah. ODHA sangat mungkin menjalani kehidupan yang produktif dan berkontribusi bagi masyarakat dengan cara melakukan terapi Anti-Retroviral (ARV), di mana terapi ini dapat menekan perkembangan HIV, sehingga kekebalan tubuh dapat berfungsi lebih optimal.[5] Tidak hanya itu, ARV terbukti memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh replikasi HIV yang tidak terkontrol.[6] Namun, mengakses layanan kesehatan ARV memerlukan komitmen yang tinggi dari ODHA. Dukungan sosial menjadi salah satu kunci keberhasilan terapi ARV.[7] Dukungan sosial dapat berupa emosi, seperti ekpresi rasa empati, kasih, dan kepercayaan.[8] Sikap dan tindakan seperti menjauhkan, mengisolasi secara sosial di lingkungan kerja, hingga memecat ODHA jelas bukan sikap yang diharapkan dan dapat mendukung kesehatan ODHA.

Pemecatan karena status HIV juga merupakan pelanggaran hak asasi dan hukum, bertentangan dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.[9] Perlakuan diskriminatif berupa pemecatan juga tidak sesuai dengan Komentar Umum Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, No 18 tentang Hak Atas Pekerjaan.[10] Di dalam Komentar Umum ini terdapat empat elemen yang saling bergantung dalam pemenuhan hak atas kesehatan, di antaranya elemen ketersediaan, keterjangkauan, serta elemen keberterimaan dan kualitas. Pemecatan ODHA tidak sesuai dengan elemen keterjangkauan yang di dalamnya mencakup asas non-diskriminasi. Sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Internasional tentang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Pasal 2 ayat (2) dan (3) – yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 – yang melarang segala bentuk dikriminasi dalam mengakses dan mempertahankan pekerjaan.[11] Selain itu, pemecatan juga melanggar elemen keberterimaan yang menjamin pekerja (termasuk mereka yang ODHA) mendapatkan rasa aman. Untuk konteks isu HIV, rasa aman tersebut dapat berupa lingkungan kerja yang ramah dan bersih dari stigma dan diskriminasi.

Perusahaan dan pengusaha justru harus dan dapat berperan aktif dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.[12] Pencegahan dan penanggulangan yang wajib dilakukan pengusaha/perusahaan meliputi menyebarluaskan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS, mengadakan pelatihan, memberikan perlindungan terhadap pegawai yang positif HIV dari tindak dan perlakuan diskriminatif, serta menerapkan prosedur Kesehatan, Keselamatan, dan Keamanan Kerja (K3) di isu HIV.[13] Sama seperti pegawai lainnya, hak-hak kesehatan ODHA juga harus dijamin oleh perusahaan. Perusahaan harus menjamin layanan kesehatan ODHA seperti jaminan asuransi, perlindungan sosial, atau paket asuransi lainnya yang terjangkau.[14]

Pada akhirnya yang dibutuhkan dalam menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan produktif ialah kasih sayang, bukan stigma.

“I have decided to stick with love. Hate is too great a burden to bear.” Martin Luther King Jr

Penulis: Astried Permata

Editor: Ricky Gunawan

[1] Detik.com, “Dipecat Karena Idap HIV, Jimmy Harap tak Ada Lagi Diskriminasi”, Desember 2011, diakses pada 16 Juli 2018, melalui https://news.detik.com/jawabarat/1780236/dipecat-karena-idap-hiv-jimmy-harap-tak-ada-lagi-diskriminasi

[2] Ujung Pramudiarja, Detik.com, “Perusahaan yang Intimidasi Orang HIV/AIDS cuma Didenda 100 Ribu”. November 2010, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://hot.detik.com/celeb-personal/read/2010/11/24/080200/1500912/763/perusahaan-yang-intimidasi-orang-hiv-aids-cuma-didenda-100-ribu

[3] Raya Desmawanto, “Pegawai Diskotik yang Kena HIV Bakal Dipecat”, Agustus 2017, diakses pada 16 Juli 2018, melalui http://pekanbaru.tribunnews.com/2017/08/04/pegawai-diskotik-yang-kena-hiv-bakal-dipecat

[4] Fuji Aotari, “Stigma HIV: Impresi yang Belum Terobati”, LBH Masyarakat, Maret 2018, Hal. 17, diakses melalui https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2018/04/Seri-Monitor-dan-Dokumentasi-Stigma-HIV-Impresi-yang-Belum-Terobati.pdf

[5] Internasional Labor Organization (ILO), “Flipchart Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS”, 2011, Hal. 34.

[6] Calvin J Cohen, “Successful HIV Treatment: Lesson Learned”, Academic of Managed Care Pharmacy, September 2006, Hal. S6, diakses melalui http://www.amcp.org/WorkArea/DownloadAsset.aspx?id=14771

[7] Ingrid T Katz, “Impact of HIV-related Stigma on Treatment Adherence: Systematic Review and Meta-synthesis”, National Center for Biotechnology Information, November 2013, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3833107/

[8] Peter K Olds, “Explaining Antiretroviral Therapy Adherence Success Among HIV-Infected Children in Rural Uganda: A Qualitative Study”, National Center for Biotechnology Information, April 2015, diakses melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4393764/#R21

[9] Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

[10] Dominggus Christian, “Tinjauan Peraturan Perundang-undangan Indonesia terkait HIV Berdasarkan Standar Hak Asasi Manusia Internasional”, LBH Masyarakat, April 2016, Hal 36, diakses pada https://lbhmasyarakat.org/wp-content/uploads/2016/04/140416_Compile-HIV-Legal-Audit.pdf

[11] Ibid.

[12] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (1)

[13] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 68 Tahun 2004 tentang HIV di Tempat Kerja, Pasal 2 ayat (2)

[14] Kaidah Internasional Labour Organization tentang HIV dan Dunia Kerja, No. 10

Harapan Dewi Keadilan

Hukum memiliki sifat memaksa dan bertujuan mengatur tata tertib kehidupan masyarakat. Hukum juga tidak pandang bulu dalam menjatuhkan vonis. Itulah kenapa hukum disimbolkan dengan Dewi Keadilan yang matanya tertutup. Namun, privilese yang tidak dimiliki banyak orang, sebut saja tingkat ekonomi dan pendidikan, membuat hukum lebih sering menjerat kelompok yang lemah dan terpinggirkan. Dalam melawati prosesnya, kelompok marjinal akan sulit mendapatkan keadilan.

Mengingat sulitnya masyarakat yang buta hukum dan tertindas mendapatkan keadilan, peran Pemberi Bantuan Hukum (PBH/advokat) menjadi sangatlah vital, khususnya PBH pro-bono. Pasalnya, tarif yang dikenakan oleh PBH profit bisa mencapai sekitar 100 juta hingga miliaran rupiah per kasus.[1] Padahal, penghasilan masyarakat kecil hanya sekitar 500 ribu hingga satu juta rupiah. Tak heran apabila keberadaan PBH pro-bono sangatlah dibutuhkan oleh masyarakat. Sayangnya jumlah PBH pro-bono masih sangat terbatas. Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Siti Ma\’zuma mengungkapkan, se­tiap tahun pihaknya menangani sekitar 400an kasus hukum. Sementara advokatnya hanya 5 orang.[2] Ini baru satu contoh saja. Untuk mengatasi hal tersebut, Organisasi Bantuan Hukum (OBH) memberdayakan komunitas sebagai paralegal untuk membantu kerja-kerja advokasi mereka.

Belum ada satupun undang-undang yang mengatur definisi paralegal. Namun biasanya definisi paralegal adalah orang awam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum, tetapi mempunyai keterampilan hukum setelah menjalani pembekalan yang diberikan oleh organisasi hukum/hak asasi manusia. Peran paralegal dalam konteks hukum Indonesia dapat dilihat di Permenkumham No. 1 Tahun 2018, di mana Pasal 11 memperbolehkan paralegal untuk memberikan bantuan hukum litigasi dan non litigasi. Hal ini dapat dilakukan setelah paralegal tersebut terdaftar pada PBH dan mendapatkan sertifikat pelatihan paralegal tingkat dasar.[3] Bantuan litigasi yang paralegal lakukan adalah menjadi pendamping advokat pada lingkup PBH yang sama. Secara non-litigasi, paralegal melakukan bantuan hukum berupa penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi perkara (baik secara elektronik maupun nonelektronik), penelitian hukum, mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan, dan perancangan dokumen hukum. Bisa dibilang kerja paralegal selama ini adalah membantu menangani permasalahan hukum atas masalah struktural yang terjadi di masyarakat.Dalam kerja-kerjanya, paralegal berada di bawah bimbingan seorang pengacara atau orang berkemampuan hukum.[4]

Pembentukan paralegal diawali dengan pengorganisasian dengan metode pendekatan kasus struktural. Pendekatan isu-isu struktural yang digunakan yakni isu-isu yang sering ditemui di masyarakat miskin kota dan termarjinalkan atau yang dekat dengan lingkungan mereka. Mayoritas paralegal adalah mereka yang berasal dari komunitas/individu yang memang terkait isu tersebut. Setelah dipilih, kemudian paralegal dilatih dengan menggunakan metode pelatihan on sitetraining, yaitu pelatihan komunitas masyarakat atau menggunakan media yang telah terbentuk.[5]

Kerja paralegal tidak bisa dipandang sebelah mata. Paralegal paham dan mengerti keadaan dan permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu kasus yang didampingi oleh LBH Masyarakat merupakan rujukan dari paralegal. Adalah LM, seorang perempuan posistif HIV yang ditangkap polisi karena dugaan tindakan kriminal. Kasus hukum yang menjeratnya pun tidak lepas dari buruknya persepsi tentang isu HIV di masyarakat sehingga membebani pikiran LM. Hal ini yang sebaiknya juga masuk dalam pertimbangan aparat penegak hukum. Sebaliknya, karena tidak sensitif terhadap isu HIV dan gender, JPU menuntut LM 20 tahun penjara. Namun berkat advokasi yang dikerjakan paralegal dan tim LBH Masyarakat, LM mendapatkan vonis 3 tahun dari hakim, 17 tahun lebih kecil dari tuntutan JPU. Selama proses hukum berlangsung, paralegal dan tim LBH Masyarakat gigih membantu LM mendapatkan layanan kesehatan sehingga ia tetap bisa mengakses ARV. Dalam hal ini paralegal mempunyai peran yang krusial. Sebagai orang yang berasal dari komunitas yang sama, paralegal lebih mudah memberi masukan-masukan hukum kepada korban. Di sisi lain, korban juga lebih percaya masukan yang diberikan oleh paralegal. Peran paralegal juga strategis karena sering membantu pengacara untuk mendapatkan informasi-informasi yang ditutupi oleh klien.

Sayangnya, kerja paralegal harus terhambat dengan adanya putusan Mahkamah Agung (2018) yang mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan oleh sejumlah advokat terkait peran paralegal sebagaimana diatur di dalam Permenkumham ini. Mahkamah Agung setuju dengan argumen penggugat bahwa paralegal tidak dapat memberikan pendampingan hukum kepada pihak berperkara di pengadilan (jalur litigasi). Koordinator Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Muhammad Afif mengatakan, putusan Mahkamah Agung tersebut berpotensi menyebabkan kesulitan bagi masyarakat tertentu untuk mendapatkan pendampingan hukum.

Selama ini banyak masyarakat yang menggunakan jasa paralegal dalam pendampingan kasus hukum, tidak semua masyarakat mampu menggunakan jasa advokat, oleh sebab itu putusan MA ini sangat disayangkan”, ujar Afif.

LBH Masyarakat juga memandang bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan hukum kepada semua lapisan masyarakat. Keputusan tersebut mengabaikan realita bahwa kemampuan masyarakat dalam menggunakan jasa advokat tidak sama.[6]

Harus diakui paralegal telah memberikan kontribusi yang banyak dalam permasalah hukum. keberadaan paralegal justru jadi ‘angin segar’ di tengah absennya pemerintah menghadirkan keadilan bagi masyarakat.

Apakah putusan Mahkamah Agung tersebut adalah suatu hal yang dicita-citakan oleh Dewi Keadilan yang matanya tertutup itu?

Penulis: Tengku Raka

Editor: Ricky Gunawan

[1]Pramidia Arhando, “Benarkah Bayaran Pengacara di Indonesia Miliaran Rupiah?”, Kompas, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://ekonomi.kompas.com/read/2018/02/01/060000426/benarkah-bayaran-pengacara-di-indonesia-miliaran-rupiah.

[2]Ogi Mansyah, “Warga Miskin Bakal Sulit Mendapat Bantuan Hukum”, Rmol, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui http://www.rmolbengkulu.com/read/2018/07/13/9487/Warga-Miskin-Bakal-Sulit-Mendapat-Bantuan-Hukum-

[3]Permenkumham No. 1 Tahun 2018, Pasal 11

[4]Lalu Ramadhan, “Alasan MA Kabulkan Uji Materi Permenkumham tentang Paralegal”, Tirto, diakses pada 30 Agustus 2018, melalui https://tirto.id/alasan-ma-kabulkan-uji-materi-permenkumham-tentang-paralegal-cPlE

[5]YLBHI, “Pemberdayaan Hukum Bagi Kaum Miskin”, Jakarta, 2007. Hal. 53

[6]Tribun Asia, “LBH Masyarakat: Putusan Mahkamah Agung Mengecewakan”, diakses pada 30 Agustsu 2018, melalui https://tribunasia.com/index.php/2018/07/14/lbh-masyarakat-putusan-mahkamah-agung-mengecewakan/

Untuk Anak?

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo berkali-kali melontarkan jargon perang terhadap narkotika untuk melindungi anak dari penyalahgunaan narkotika. Katanya, narkotika telah membunuh generasi muda. Oleh sebab itu, pelaku harus dihukum berat. Yang mungkin Bapak Jokowi tidak tahu adalah kebijakannya untuk memerangi narkotika telah memberikan dampak luar biasa terhadap anak, yaitu terhadap anak pengguna narkotika dan anak yang menunggu kepulangan ayah dan/atau ibunya dari penjara.

Resa (bukan nama sebenarnya), seorang anak yang harus berhadapan dengan hukum karena mengonsumsi ganja, tidak bisa menjalani proses diversi pada tahap penyidikan dan penuntutan. Resa disangkakan Pasal 111 Undang-Undang Narkotika yang memberikan ancaman 12 tahun penjara. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) melarang diversi dilakukan terhadap anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas tujuh tahun penjara. Resa harus ditahan di kantor polisi dan Rutan Pondok Bambu selama hampir dua bulan lamanya dan tidak bersekolah. Orang tuanya harus berbohong kepada pihak sekolah bahwa Resa sedang sakit, juga kepada teman-temannya. Tidak ada intervensi kesehatan ataupun psikososial terhadap dirinya.

Resa seharusnya tidak perlu menjalani penahanan dan menjalani proses persidangan yang panjang namun pembatasan dalam UU SPPA telah menghalangi Resa dan anak pengguna narkotika lainnya untuk menjalani proses diversi. Aturan PBB mengenai Perlindungan Anak yang Dirampas Kebebasannya menyebutkan bahwa penahanan harus dijadikan sebagai upaya terakhir serta mengedepankan alternatif pemidanaan untuk menghindari dampak buruk terhadap anak.

Malang juga merundung Eka (bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Ibu Eka sedang mendekam di penjara karena tindak pidana narkotika sedangkan ayah Eka harus bekerja dari pagi hingga malam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kehilangan kehadiran orang tua, Eka diperkosa oleh pamannya sendiri. Eka mendapatkan pendampingan dari P2TP2A DKI Jakarta dan saat ini sedang menempati sebuah panti di Jakarta, seorang diri.

EH, salah seorang perempuan pengguna narkotika yang sedang menjalani pidana di Lapas Perempuan Semarang, mengatakan anaknya pernah mengiriminya surat. Dalam surat itu, anaknya mengatakan agar EH cepat pulang karena ia iri dengan teman-temannya yang setiap hari ke sekolah diantar oleh ibunya. Anak EH bertanya dalam suratnya, “Kapan adek bisa dianterin?”. EH mengaku tidak membalas surat yang sudah tiga kali dikirimkan oleh anaknya itu karena ia terlalu sedih.

Pengalaman EH tersebut tercermin dalam penelitian yang LBH Masyarakat lakukan mengenai perempuan terpidana narkotika di Indonesia. Hasil penelitian kami menunjukkan setidaknya 82% perempuan yang dipenjara memiliki anak. Mereka umumnya adalah pemakai narkotika atau orang yang berjualan narkotika karena kemiskinan. Rata-rata pidana yang harus mereka jalani adalah pidana penjara selama 6-7 tahun. Dengan kata lain, negara telah memisahkan anak dengan ibunya, yang di dunia yang patriarkis ini diposisikan sebagai pengasuh utama anak. Pada konteks ini, muncul pentingnya pemberian rehabilitasi bagi pemakai narkotika ataupun pidana alternatif pada terpidana lain dengan menimbang situasi khusus yang mereka hadapi, termasuk di dalamnya: memiliki anak. Di sisi lain, negara juga tidak boleh melupakan anak yang memiliki orang tua yang dipenjara. Anak-anak ini kerap tidak mendapatkan pendampingan sosial, pemulihan, ataupun dukungan psikologis dari negara.

Ketiga kisah tersebut hanya puncak dari gunung es dampak kebijakan narkotika yang jarang kita dengar. Tanpa Pemerintah sadari, kebijakan perang terhadap narkotika telah berdampak amat buruk terhadap anak. Selama pendekatan pidana masih digunakan sebagai jalan utama dalam mengatasi persoalan narkotika, anak akan terus menjadi korban yang tak terdengar, tak terlihat, dan tak diketahui. Lalu kita bertanya: sebenarnya, perang terhadap narkotika ini untuk siapa?

 

Penulis: Arinta Dea Dini Singgi

Editor: Ricky Gunawan dan Yohan Misero

Between Go and Went

On Wednesdays I teach English in two informal classes. It seems for white foreigners in Indonesia, requests to teach English are almost as common as requests for selfies. One of these classes is held at the methadone clinic at Puskesmas (Community Health Centre) Gambir, Central Jakarta, attended by a group of methadone patients who come to the center for treatment at least once every two days. The other is with staff members of LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute), where I am currently an intern. One of these classes is characterized by its attentive and diligent students, while the other one; the one with my colleagues; is a zoo. This week’s topic of discussion was “best friend”. Answers given included a friend who hadn’t been contacted for 5 years, cats, Jesus, the Sun…and so on. I’m not sure how much progress we’re making but entertainment factor is high.

Meanwhile, my friends at the methadone clinic are enthusiastic beginners. This is fortunate for me, because it is a misconception that we are automatically well-equipped to teach our native language. I’ve got no idea how English works, and when pressed for explanations about why go becomes went and so on, all I can say is “ya…gitulah” (yeah… that’s how it is). The basics, like telling the time, food and the weather, are a bit more manageable.  Attendance can be patchy, but there several regular faces who are committed and avid learners. Given methadone, depending on person and the dose, could cause groggy, drunk-like side effects and some of the guys have consumed it as little as 15 minutes before class, I’m amazed by their concentration and application.

Among the participants is one of my colleagues from LBH Masyarakat, Bang Kiki. From what I can tell, he is somewhat of a role model, advocate and unofficial representative of the methadone patient community at Puskesmas Gambir. He began with LBH Masyarakat as a paralegal in 2008, acting as an intermediary between the people who use drugs community and the LBH Masyarakat, before becoming a full-time public defender in 2012. Now he handles narcotics and child welfare cases, conducts education sessions in prisons about the legal process and prisoners’ legal rights (which seem to be flaunted with alarming regularity in Indonesia), and works to increase access to healthcare for the community of people who use drugs. All the while walking his own long road to rehabilitation from heroin and methamphetamine addiction. His understanding of drug issues and relationships within the community coupled with his professional legal skills and knowledge make him both a valuable conduit between the relevant parties and an example of the possibility of change for his fellows.

It was Bang Kiki who established the class as a constructive activity for the patients and enlisted me to teach it. Many are unemployed given the realities of being a recovering addict, including the logistics surrounding their daily treatment. The methadone may only be consumed between 11 and 12 o’clock each day at the clinic, and patients usually end up spending several hours collecting and taking their medicine before waiting for the effects to subside so they can safely drive again. Unable to hold jobs with fixed hours due to these time constraints, some work as online motorbike taxi drivers, and so the side-effects also directly affect their livelihood. This is before mentioning the severe societal stigma faced by people who use drugs in conservative Indonesia.

Those undergoing rehabilitation at the Gambir clinic represent a minority amongst the community of people who use drugs in Indonesia. Indonesian drug law is both riddled with contradiction and unforgiving regarding drugs. In facing the legal system, only a small percentage of people who use drugs are offered the right to rehabilitation. This actually flies in the face of certain articles in Indonesia law which guarantee that rehabilitation be considered before imprisonment. However, the vast majority of people who use drugs are imprisoned, swelling the populations of Indonesian correctional institutions towards breaking point. Recent figures placed the number of people who is charged with drug use article in Indonesian prisons at 33,000 and rising, as they form an increasingly large percentage of the total prison population.

Big numbers like this can seem a bit meaningless and devoid of context, but it’s important to see they are comprised of people. After class this week Bang Kiki and I went back to the office via the Central Jakarta District Court to pick up some paperwork. There we met with a middle-aged couple whose son’s is one of Bang Kiki’s clients. I chatted with mum while dad and Bang Kiki were in the courtroom. She told me how anxious she felt to be at the court, holding her hand to her heart thudding heart as she described how nerve-wracking it was to be dealing with the justice system. She told me she couldn’t bring herself to visit her son in the police station while he was detained there for over 3 months after being caught buying a negligible amount of drugs for personal use. She told me about the bad environment of her inner-city neighborhood and how the police had shot a dealer near her home only two days prior. She told me how her son, her youngest and only boy of 18 years, had cried when he was arrested and quickly signed the confession put in front of him by police. When I asked about his sentence, she pointed to the courtroom and said the reason we were all here was to seek clarification from the judge about its length. The two possibilities she mentioned were 4 and 6 years. No English class at the clinic for this boy, who will instead spend many of his formative years in prison paying for his mistake in a manner which I find to be grossly disproportionate.

The importance of rehabilitation for people like my friends at the methadone clinic is illustrated by the bleak nature of the alternatives: the one suffered by that boy and his mother, or the eternal sentence of an overdose. From getting to know the guys in my class even a little bit, it’s clear to see they don’t belong in prison. If they pose any threat to society, I certainly can’t see it. I hope they can keep walking the path and maybe learn the difference between go and went along the way.

This piece is written by Iven Manning, a University of Western Australia student who volunteered in LBH Masyarakat from February to June 2018, and edited by Yohan Misero.

Volunteer\’s Story: Isobel Blomfield

Isobel Blomfield, a student from University of New South Wales, volunteered at LBH Masyarakat (Community Legal Aid Institute) from January to February 2018. She volunteered here by joining ACICIS program. She helps us create a great advocacy video for the criminal law revision – and many more. She writes her experience in Jakarta through a heart-warming journal. We thank Isobel for her amazing work and dedication and wish her well for the future. Isobel, thank you for becoming a wonderful volunteer friend!You can read her journal here.

Rodrigo Gularte: A Dream at the End of a Rifle

As the government incessantly declares war on drugs, choosing to proceed with the executions of foreign prisoners amidst protests from the leaders of those inmates’ countries, the BNN (National Narcotics Agency) and police succeeded in breaking an illegal drug ring controlled from inside prison – by a death row inmate. This development is very baffling. How can a person condemned to die and confined by the thickness of prison walls still control an illegal drug ring? This revelation has outraged many people, who consider this individual to be utterly undeserving of clemency. But many of us have forgotten to also turn the gaze of our criticism towards a government which has failed to prevent such an occurrence. The irony that in the very place which should be free of such crime, the state is unable to control the actions of a person completely under their surveillance has left us scratching our heads. Why hasn’t a death sentence cowed him from continuing to flout the law? Is capital punishment therefore completely pointless?

Aside from the pros and contras of capital punishment, amid public blasphemy of Anggun C Sasmi’s open letter and the carrying out of the second round of executions during the Jokowi-JK era, lies a story which has escaped the attention of both us and the media. The tale of Rodrigo Gularte, a Brazilian national and schizophrenic, one of the 10 prisoners scheduled for imminent execution. At the age of 10, Rodrigo was diagnosed as suffering from a brain disorder called cerebral dysrhythmia by Professor Eresto Chicon, a neurologist at the Federal University of Parana, Brazil. This condition meant Rodrigo would lose control of himself and his capacity to make decisions, rendering him unable to consider the potential consequences of his actions. After 14 years of medical and psychiatric care, doctors discovered Rodrigo also suffers from bipolar affective disorder, passed down genetically from his mother and grandfather. His older brother and sister also suffer from mental illnesses.

Rodrigo was different. Despite growing up with a psychiatric condition which made him a target of bullies, Rodrigo grew up to be a good person. He has no prior criminal record. However, extremely vulnerable as a result of his conditions, Rodrigo became easy prey for an international Mafia-run drug ring. Like in many other cases involving drug mules, the Mafia – with all its trickery – successfully manipulated Rodrigo, inviting him to holiday in Indonesia with two others. Without his knowledge, the surfboards he brought with him were filled with drugs. Rodrigo was caught and for some reason, his two companions were released. Rodrigo appeared the hero by taking full responsibility.

Rodrigo has been incarcerated for 10 years awaiting execution. He has learned Indonesian, although he still speaks haltingly and sometimes struggles to find the right words. He told his legal team capital punishment will soon be abolished by the “kingdom”, saying he heard this on the radio. According to Rodrigo, the executions everyone’s talking about are merely a fabrication. He thinks this lie is told by the “king” in an attempt to intimidate the people. He feels peace is coming and the people, described by Rodrigo as possessing strange heads the size of a mosque’s dome, will welcome this joyous news. His team of lawyers can’t seem to convince him that these are hallucinations. How can Indonesia be a kingdom, they implore, and how can a human have a huge head and stomach with a small chest and small legs?

So where does this leave us? Will we stand up and defend Rodrigo Gularte, or be silent and let bullets rake his body? Despite knowing our justice system is corrupt, riddled with mafia, an administrative mess; a far cry from perfect. While at the same moment, on an isolated island Rodrigo Gularte is awaiting death – a death he believes is not coming because the “king” will soon abolish capital punishment, so the people can rejoice and be happy.

Written by Naila Rizki Zaqiah, public defender at Community Legal Aid Institute, with help from Albert Wirya, a researcher at the same organization. This piece has been uploaded with the permission of Naila & Albert with finishing touches from Yohan Misero (drug policy analyst at Community Legal Aid Institute). Iven Manning provided a translation from Indonesia to English.

This writing was first published in Yohan\’s Indonesiana account (April 24th, 2015) and then was republished in LBH Masyarakat\’s blog (December 17th, 2015). Both are published in Indonesia.

James, Telanlah Omong Kosong Wajib Lapor!

“Menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa tersebut selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan karena Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak atau melawan hukum menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (UU Narkotika).”

Lantang Penuntut Umum membacakan tuntutannya pada James – bukan nama sebenarnya – yang didakwa atas perbuatan menggunakan 0,135 gram sabu-sabu.

Pada September 2017, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai menyidangkan kasus James. Mudahnya seseorang terjerat kasus narkotika membuat fase pembuktian pada perkara narkotika seakan tidak penting. Majelis Hakim dan Penuntut Umum kerap tidak mempertimbangkan motif pun situasi seseorang dalam melakukan suatu perbuatan. James tahu betul kalau mengonsumsi narkotika dapat membuatnya berurusan dengan aparat penegak hukum – sebuah implikasi yang mestinya tidak perlu ada. James pasti punya alasan dan latar belakang yang membuat bayang-bayang berurusan dengan aparat penegak hukum dapat ia kesampingkan sementara.

Berangkat.

Cerita ini berawal pada Juli 2017. James memperoleh sabu dari seorang teman untuk dikonsumsi sendiri. Setelah serah terima, James pulang ke rumah untuk segera memakainya. Setelah merasa cukup, James memutuskan untuk berjalan-jalan dengan sepeda motor.

James kemudian, secara brutal, dihentikan oleh 3 orang anggota polisi dari Polsek Mampang. Ketika itu, James sedang membawa tas yang berisi sisa sabu yang habis ia pakai. Proses penangkapan yang mengandung tindak kekerasan dari aparat penegak hukum tersebut pun harus disaksikan oleh putra James – sebuah hal yang semestinya dihindari penegak hukum karena menciptakan trauma bagi anak.

Setelah ditangkap, James langsung dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Di sana, James menjelaskan bahwa dirinya membutuhkan sabu agar terasa segar dan semangat untuk bekerja. James adalah seorang driver ojek online yang kerap bekerja seharian untuk mencari penumpang. James juga mengatakan bahwa badannya akan lemas jika ia tidak mengonsumsi sabu.

James juga menjelaskan bahwa, sejak tengah 2011, ia adalah seorang pengguna aktif heroin (putaw). Dari akhir 2011 hingga saat itu, James pun sedang menjalani terapi rumatan metadon[1] di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. James juga menunjukan adanya kartu Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)[2] atas nama dirinya.

Keterangan-keterangan ini menunjukan bahwa James adalah seseorang yang produktif. Ia seharusnya diberikan intervensi kesehatan agar dapat terus berkontribusi pada masyarakat. Negara semestinya tidak memisahkan James dari sang putra yang masih membutuhkannya. Namun, proses peradilan bagi James nampaknya tidak mempertimbangkan hal ini.

Tak sampai 90 hari dari penangkapan, James pun menempati kursi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Seperti umumnya kasus narkotika, saksi yang dihadirkan oleh Penuntut Umum ialah saksi dari penyidik – dua orang dari Polsek Mampang. Kedua saksi ini menjelaskan bahwa James memperoleh narkotika jenis sabu tersebut dari seorang teman untuk digunakan sendiri. Selanjutnya, saksi juga menjelaskan bahwa dalam proses penangkapan juga ditemukan barang bukti selain sabu yaitu bong (alat hisap sabu). Saksi pun menerangkan bahwa James betul mengonsumsi sabu yang ia miliki dengan bong yang ditemukan.

Seminggu setelah penangkapan, James dibawa ke Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Jakarta Selatan guna dilakukan asesmen.[3] Fakta medis dari hasil asesmen tersebut menyatakan bahwa James adalah seorang pengguna narkotika multiple (sabu dengan pola penggunaan rekreasional dan ketergantungan opioid dalam Program Terapi Rumatan Metadon). Selain itu, dalam fakta hukum menyatakan bahwa James tidak ada indikasi keterlibatan dalam jaringan peredaran gelap narkotika. Dari hal-hal di atas, tim asesmen di BNN Kota Jakarta Selatan menyimpulkan bahwa James dapat memperoleh pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi.

Sangat disayangkan di awal bulan November, 2107, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada James berupa penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan karena terbukti menyalahgunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri. Pidana 1 (satu) tahun yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penutut Umum diterima oleh James. James mungkin merasa putusan ini tidak adil bagi seorang pecandu dan pengguna seperti dirinya, namun buramnya hukum di Indonesia membuatnya untuk tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya.

Berputar.

Pemenjaraan, sayangnya, masih dikedepankan bagi pengguna narkotika. Konsekuensi dari pemenjaraan bagi para pecandu dan pengguna narkotika adalah overcapacity di tiap-tiap Rutan dan Lapas di seluruh Indonesia.[4]

Belum lagi berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah dalam konteks perang terhadap narkotika, seperti hukuman mati dan tembak di tempat. Semua ini didasarkan pada data yang menyebutkan bahwa ada puluhan orang mati setiap hari karena narkotika dan juga data yang menyebutkan bahwa narkotika telah memakan 15 ribu korban jiwa[5] – data-data yang ternyata punya banyak kelemahan mendasar.[6] Pun bila memang dampak narkotika sebesar itu – negara semestinya melakukan intervensi kesehatan untuk menghentikan kematian-kematian tersebut, bukannya melampiaskan dendam melalui tembak mati ataupun hukuman mati.

Jika mau berpikir liar, coba kita bandingkan dengan bagaimana negara mengintervensi fenomena kesehatan lainnya. Berdasarkan data WHO, penyakit pembunuh nomor 1 di dunia adalah penyakit Kardiovaskular. Penyakit tersebut berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah dan biasa disebut sebagai serangan jantung. Penyakit ini telah mengambil nyawa lebih dari 17 juta manusia di dunia. Di Indonesia sendiri, penyakit ini menjadi penyebab dari 26,4 persen kematian.[7] Secara umum, penyakit ini diakibatkan tekanan darah tinggi, diabetes, kolesterol tinggi, rokok, dan konsumsi alkohol secara berlebihan.

Makanan, minuman, dan produk lain yang menyebabkan penyakit kardiovaskular di atas dapat diperoleh dengan bebas di negara ini. Diabetes, misalnya, juga disebabkan oleh pola makan dengan kadar gula yang tinggi. Nasi, yang merupakan makanan pokok hampir seluruh rakyat Indonesia, adalah makanan dengan kadar gula yang tinggi. Lalu, haruskah mengonsumsi nasi menjadi sebuah tindak pidana?

Perlukah ada slogan “perang terhadap nasi” atau “stop nasi”? Haruskah ada tembak di tempat atau hukuman mati bagi mereka yang memasukkan nasi ke dalam Indonesia? Apa mereka yang memiliki sawah harus ikut bertanggung jawab? Bagaimana dengan para petani? Haruskah kita penjarakan rekan-rekan kita di warung nasi terdekat? Juga mereka yang menjual beras literan di toko sebelah? Ketika banyak orang yang selalu membutuhkan nasi untuk merasa kenyang, haruskah mereka juga kita hukum dan penjarakan?

Mungkin, negara justru harus mulai bicara jujur tentang nasi dan beras: membuat beras bisa diakses di seluruh wilayah sesuai kebutuhan, memastikan ketersediaan beras dengan baik secara nasional, membicarakan potensi buruk dalam jangka panjang yang mungkin muncul jika mengonsumsi nasi dalam skala besar dan jangka panjang, serta menawarkan upaya-upaya untuk mengurangi risiko tersebut. Edukasi, bukan diskriminasi. Dukungan, bukan penghukuman.

Berharap.

James sudah mengikuti program IPWL. BNNK Jakarta Selatan juga merekomendasikan agar ia direhabilitasi. Semua itu ternyata tiada arti dihadapan Majelis Hakim – cermin gagalnya kebijakan narkotika Indonesia.

Di saat Indonesia masih berjuang menemukan nalarnya dalam merumuskan kebijakan narkotikanya, James saat ini menanggung sepi dalam penjara. Ia direnggut dari pekerjaannya. Ia diambil dari keluarganya. Semua karena kebijakan yang dibangun dengan suasana hati, bukannya dengan bukti. Butuh pembelajaran, riset dan analisa yang tepat untuk memastikan berbagai aspek teratur dan harmonis, bukannya berlandas pada pandangan moral atau ketidaksukaan belaka.

Semoga jatah air dalam penjara dapat menggantikan metadon James untuk sementara. Semoga negara pada akhirnya memenuhi hak atas kesehatan pengguna narkotika. Dan, semoga Indonesia lekas menyadari bahwa #PenjaraBukanSolusi.

Penulis: Yosua Octavian

Editor: Yohan Misero

[1] Terapi rumatan metadon ialah terapi yang diberikan pada orang yang memiliki masalah adiksi dengan heroin, terutama dengan penggunaan dengan cara suntik. Metadon dikonsumsi secara oral sehingga mengurangi dampak buruk yang mungkin muncul, seperti penyebaran HIV, Hepatitis C, maupun kerusakan pada pembuluh darah. Metadon diberikan pada dosis besar terlebih dahulu dan perlahan-lahan diturunkan hingga klien siap untuk selesai dengan terapinya.

[2] Wajib lapor adalah sebuah sistem yang dibangun oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 55 (2) UU Narkotika menyatakan bahwa orang yang memiliki masalah adiksi harus melaporkan dirinya pada negara. Lembaga yang menerima warga negara melakukan wajib lapor ini disebut Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Pemenuhan Pasal 55 ini kemudian menjadi hal yang penting bagi Majelis Hakim untuk memutus rehabiltasi berdasarkan Pasal 127 (2) UU Narkotika. Sistem ini memaksa warga negara untuk wajib melakukan rehabilitasi (mandatory) bukannya berdasarkan kesukarelaan (voluntary) – sebuah hal yang lama menjadi kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil.

[3] Mengingat masifnya kriminalisasi pada pengguna narkotika – pada tahun 2017, 7 Kementerian/Lembaga (Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kesehatan, dan Kementeran Sosial) membentuk sebuah peraturan bersama. Pada peraturan tersebut diatur sebuah sistem yang disebut tim asesmen terpadu. Tim ini akan menilai situasi adiksi seseorang dan keterlibatannya peredaran narkotika. Hasilnya kemudian diberikan pada penegak hukum dengan harapan untuk mengurangi pemenjaraan pada pengguna narkotika.

[4] Kompas.com, “Kapasitas Lapas Berlebih, Pengguna Narkoba Disarankan Tak Masuk Bui”, http://nasional.kompas.com/read/2017/02/23/13145881/kapasitas.lapas.berlebih.pengguna.narkoba.disarankan.tak.masuk.bui

[5] Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat Internasional, 26 Juni 2016. 26 Juni sering sekali dimaknai sebagai Hari Anti Narkoba Internasional, yang mana merupakan translasi yang salah kaprah. Lihat: Rappler.com, “Jokowi: 15 Ribu Anak Muda Mati Karena Narkoba, Berapa Pengedar yang Mati?”, https://www.rappler.com/indonesia/berita/154689-jokowi-15-ribu-muda-mati-narkoba

[6] Irwanto, et. al., “Evidence-informed Response to Illicit Drugs in Indonesia”, The Lancet Journal Volume 385 (2015) hal. 2249-2250, http://www.thelancet.com/pdfs/journals/lancet/PIIS0140-6736(15)61058-3.pdf

[7] Tirto.id, “Penyakit Kardiovaskular, Pembunuh Nomor Satu”, https://tirto.id/penyakit-kardiovaskular-pembunuh-nomor-satu-ckvS

Yali Terkurung, Yali Bertarung

Ditinggal sang ayah sejak bayi, Yali – bukan nama sebenarnya – hanya bisa melihat lebar senyum ayahnya dari selembar foto – yang kerap jadi imaji dalam benaknya. Hidup bersama sang ibu di sebuah rumah petak, Yali putus sekolah sejak sekolah menengah pertama dan menyadari betul bahwa ia harus ikut membantu ibunya, seorang tukang kopi keliling, untuk memperoleh penghidupan. Di tengah segala keterbatasan, hadirlah sebuah pekerjaan yang tulus ia jalani: juru parkir.

17 tahun umurnya kini. Ia, sayangnya, tak seberuntung anak-anak 17 tahun lain yang mungkin saat ini sedang berbelanja di mall, hang out di sebuah coffee shop, atau berlibur di Lombok. Yali harus bangun pagi-pagi untuk mengurus sepetak tempat parkir di depan Gedung Chandra, area Pancoran. Jasanya menjaga keamanan motor-motor yang sedang parkir sedikit banyak membantu ekonomi keluarganya.

17 Januari 2018 menjadi hari yang berbeda dengan biasanya karena seorang supir ojek online menghalangi petak parkir yang Yali jaga – hal yang selama ini menjadi satu-satunya sumber penghidupan baginya. Yali pun menegur sang supir. Bukannya pindah, supir itu justru memarahi Yali. Adu mulut antar keduanya tidak terelakan. Tak selang berapa lama, supir itu pergi dan kembali dengan dua temannya. Merasa terancam, Yali pun membela diri. Dua orang teman supir tadi kabur. Emosi Yali sudah tak terkendali dan ia pun memukul kepala supir tadi dengan balok. Perkelahian pun usai.

Sesampainya di rumah, ada dua pria berpakaian polisi datang ke rumah Yali. Sang ibu yang baru pulang dari berjualan kopi sontak kaget dan takut akan hadirnya kedua pria tersebut. Benar saja, polisi menangkap Yali atas tindakannya memukul si supir tadi siang. Ia pun diamankan ke Polsek Taman Sari, Jakarta Barat. Terburu-buru, sang ibu langsung mengabarkan kejadian ini kepada salah satu Pengacara Publik LBH Masyarakat, Riki Efendi.

Riki langsung datang ke Polsek Taman Sari. Di sana, Riki menemukan puluhan supir ojek online berkerumun. Riki masuk ke dalam Polsek dan bertemu dengan Yali yang saat itu tidak didampingi oleh pengacara. Riki juga bertemu dengan korban, si supir ojek online. Korban membawa alat bukti hasil visum dan bukti memar di bagian kepala dan tangan. Korban pun menuntut Yali agar masuk bui.

Meski Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa anak berhadapan dengan hukum sebaiknya tidak ditangkap maupun ditahan, pada kasus ini pihak kepolisian malah menahan Yali di Polsek Taman Sari untuk proses penyidikan.

LBH Masyarakat mengajukan upaya diversi mengenai kasus Yali.[1] Awalnya, pihak kepolisian dan korban meminta ‘uang perdamaian’ sebesar 5 juta rupiah. Namun, kami berusaha meyakinkan kepolisian dan korban bahwa diversi adalah hak bagi anak yang berhadapan dengan hukum, termasuk untuk Yali. Terlebih, jika melihat latar belakang keluarganya, 5 juta rupiah merupakan angka yang sungguh besar.

LBH Masyarakat kemudian mempertemukan Ibu Yali dan sejumlah tokoh masyarakat di lingkungan rumah Yali dengan korban guna mencari jalan kekeluargaan dalam menyelesaikan kasus ini. Setelah berdialog cukup lama, beberapa hari kemudian mereka mendapat kesepakatan dan memilih jalan damai. Korban meminta ganti rugi atas biaya pengobatan dan kerusakan barang miliknya. Keluarga korban pun menyanggupi dengan biaya yang sudah disepakati dan berdasarkan kuitansi bukti pengobatan.

31 Januari 2018, Yali akhirnya pulang ke rumah bersama ibunya – hal yang tentu patut disyukuri. Namun, 31 Januari 2018 juga jadi penanda bagi seorang anak berumur 17 tahun: berakhirnya pedih keterasingan sekaligus dimulainya lagi letih mencari penghidupan.

Penulis: Astried Permata dan Riki Efendi

Editor: Yohan Misero

[1] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana menyebutkan dalam kasus anak berhadapan hukum wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

The Forgotten Vulnerability of Female Drug Couriers

Today’s date, March 8, marks International Women’s Day. The concept on International Women’s Day was first proposed in 1910 at the International Conference of Women Workers by Clara Zetkin, the leader of the Women’s Office of the Social Democratic Party of Germany.[1] Today, International Women’s Day represents a global celebration and call for gender equality.[2] Among the many problems still faced in the struggle to end discrimination against women, one issue which seems yet to have received widespread attention is the involvement of women in drug trafficking as couriers.

In April 2015, Mary Jane Veloso, a Filipino woman, was nearly executed by Indonesia after being convicted of involvement in drug trafficking operation as a courier. Despite undertaking exhaustive legal efforts, Mary Jane had received no pardon, not even from President Joko Widodo. Sections of Indonesian society and the international community then urged President Widodo to intervene and prevent her execution. These efforts illustrated the power of the public as, in the final minutes before Mary Jane was due to be executed, President Widodo granted a stay of execution.

Mary Jane is just one of a long list of women exploited into becoming drug couriers. In January 2015, Indonesia executed Rani Andriani after she was caught attempting to smuggle drugs into Thailand. Then there are the cases of Mut, EYS, I and N.[3] There are no signs to suggest this long list will stop growing. In 2015, then-head of the National Anti-Narcotics Agency, Anang Iskandar, stated that in 2014 alone there were 4,297 women caught involved in drug trafficking. Generally these women were couriers, both inside and outside the country.[4] The recruitment of female drug couriers is done by various means but features a common thread – the exploitation of the vulnerability of women.

Indonesia’s drug laws, which adopt the paradigm of a ‘war on drugs’, are harsh on drug couriers and carry a maximum sentence of death. The hardline national attitude towards these individuals and laws insensitive to gender further corner women who, from the moment they are arrested, hold far poorer bargaining positions than their male counterparts because of unbalanced power relations. The United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) states that women who lack education; are economically disadvantaged; or are victims of violence are often exploited by drug trafficking syndicates.[5] Recruiting is done by forming personal relationships with the victims as wives or girlfriends, before exploiting their subsequent economic and psychological dependence or using threats of violence to coerce.[6]

Other common methods of recruitment by syndicates include exclusively targeting women who are poor and in need of employment, or deceiving victims into unknowingly transporting and delivering drugs. It can be said that these kinds of exploitation of women by syndicates involve systematic planning. Sulistyowati Irianto, dkk., says this systematically planned and organised recruitment of women as couriers constitutes a form of human trafficking.[7] Women are recruited and transported using threats of violence, violent coercion, deception, or entrapment through financial debt. Whether they are paid or not, this can still be categorised as trafficking of women.[8]

Through its punitive lens, the legal apparatus does not acknowledge the issue of women’s vulnerability when handling or ruling on drug cases. Sulistyowati Irianto, dkk., says when drug courier cases exceed a certain degree of seriousness according to the relevant articles of law, judges no longer take into consideration the poverty and vulnerability of the women.[9]

The threat of the death penalty or other kinds of severe punishment for female drug courier exacerbates the problems of recruitment and human trafficking, meaning women become one of the groups in society who suffer most in the war on drugs.

In this ‘war’, women who are already susceptible to exploitation face the death penalty or decades in jail because of their disadvantaged position. As such, the state must reconsider its punitive drug policy and abolish the death penalty for drug offences as an initial step in the legal protection of women. It needs to view women as victims of human trafficking rather than as the main offenders of drug trafficking. State policy and the law must be responsive to issues of gender and provide protection to women, instead of harming them.

Author: Arinta Dea Dini Singgi, Program Development Officer at Community Legal Aid Institute, is interested in the issue of women and narcotics. More work by Arinta can be accessed at arintadds.wordpress.com

Editor: Yohan Misero

Translator: Iven Manning

[1] See http://www.internationalwomensday.com/About to find out more about International Women’s Day

[2] Ibid.

[3] The author has intentionally left out the full names as these cases are still going in Indonesia.

[4] “4.297 Wanita Indonesia Kurir Narkoba Internasional”, https://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630260/4-297-wanita-indonesia-kurir-narkoba-internasional. Interestingly and ironically, the Indonesian government – namely The National Anti-Narcotics Agency (BNN) and the Ministry for Female Empowerment and Child Protection (PPPA)- have already recognised that women are often exploited as drug couriers, but there are yet to be  comprehensive efforts by the government to tackle this problem. See  http://www.indopos.co.id/2014/09/perempuan-rentan-jadi-kurir-narkoba.html.

[5] Satgas PBB untuk Kejahatan Internasional Lintas Negara dan Perdagangan Narkotika sebagai Ancaman terhadap Keamanan dan Stabilitas, “A Gender Perspective on the Impact of Drug Use, the Drug Trade, and Drug Control Regime”, Juli 2014.

[6] Khoirun Hutapea, “Pola-pola Perekrutan, Penggunaan dan Kegiatan Kurir dalam Jaringan Peredaran Narkoba Internasional”, Juni 2011, hal. 64.

[7] Sulistyowati Irianto, dkk., “Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika”, 2005, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[8] Aliansi Global Melawan Perdagangan Perempuan, “Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan: Panduan untuk Membantu Perempuan dan Anak yang Diperdagangkan, 1999, hal. 11-12.

[9] Op.Cit.

This piece was first published in Bahasa Indonesia at LBH Masyarakat official website on March 8th 2016. You can visit the original piece here.