Skip to content

Kategori: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – Overcrowding Lapas Tidak Berkorelasi dengan Homoseksualitas

LBH Masyarakat (LBHM) mengecam pernyataan Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kumham) Jawa Barat, Liberti Sitinjak, baru-baru ini yang menyebutkan bahwa gejala homoseksualitas di dalam lembaga pemasyarakat (lapas) muncul karena tidak tersalurkannya kebutuhan biologis warga binaan, sebagai akibat dari lapas yang kelebihan beban (overcrowding). LBHM menilai bahwa pernyataan tersebut bukan hanya irelevan, tetapi juga menyesatkan, dan menstigma kelompok minoritas seksual.

Di satu sisi, persoalan lapas yang overcrowd, adalah persoalan klasik dan sistemik pemasyarakatan Indonesia. Dari tahun ke tahun, upaya pemerintah menyelesaikan persoalan ini tidak pernah menyentuh akar masalah. Tingkat overcrowding lapas di Indonesia didominasi oleh tingginya angka pemakai narkotika yang dipidana penjara. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut LBHM menyerukan kepada pemerintah untuk mendekriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan/kepemilikan narkotika untuk konsumsi pribadi. Dekriminalisasi di sini berarti pemakaian narkotika, dan penguasaan/kepemilikan narkotika untuk pribadi, bukanlah tindak pidana dan tidak perlu dijatuhi sanksi hukum. Dekriminalisasi justru akan mendorong pemakai narkotika untuk mengakses layanan kesehatan yang mereka perlukan. Sebab, kriminalisasi pemakaian narkotika hanya menjauhkan pemakai narkotika dari layanan pemulihan ketergantungan narkotika, memindahkan pasar narkotika ke dalam lapas, dan memunculkan sejumlah masalah baru – termasuk overcrowding lapas.

Di sisi lain, mengaitkan lapas yang kelebihan beban dengan munculnya homoseksualitas jelas tidak relevan dan menunjukkan ketidakpahaman Kepala Kanwil Kumham Jabar mengenai seksualitas. Bahwa ada fenomena perilaku hubungan seks sesama jenis di dalam lapas bukanlah berarti bahwa gay dan lesbian di dalam lapas menjadi marak. Sebab, hubungan seks adalah perilaku seksual, sementara itu gay atapun lesbian adalah perihal orientasi seksual. Individu yang heteroseksual juga bisa melakukan perilaku hubungan seksual yang diidentikkan dengan kelompok homoseksual seperti anal seks. Dan perilaku seks seperti itu bisa ditemukan baik di dalam maupun di luar lapas, dan tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual.

Daripada mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menunjukkan rendahnya pemahaman Kepala Kanwil Kumham Jabar, akan jauh lebih baik apabila Kanwil Kumham memfokuskan diri pada pembenahan lapas secara institusional. Artinya: menyelesaikan akar masalah overcrowding lapas, meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan warga binaan secara komprehensif, dan mengatasi persoalan korupsi dalam lapas.

 

Jakarta, 10 Juli 2019

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

Rilis Pers – Wendra Purnama, Penyandang Disabilitas Intelektual Dilepaskan

Setelah melalui proses pemeriksaan yang panjang, babak persidangan Wendra Purnama akhirnya menemukan ujung. Pada Senin, 1 Juli 2019 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang terdiri dari Sri Suharini, S.H., M.H, sebagai Hakim Ketua serta Edy Purwanto, S.H dan Gatot Sarwadi, S.H., sebagai Hakim Anggota membacakan putusannya.

Pada putusan tersebut Majelis Hakim menyatakan Wendra Purnama menyatakan secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni Pasal 112 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun demikian, mengingat kondisi Wendra Purnama yang menyandang disabilitas intelektual, perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Hal ini mengacu pada amanat Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Majelis Hakim juga mengutip pernyataan ahli Mulyanto, M.Psi, psikolog pemeriksa Wendra Purnama yang menjelaskan bahwa Wendra Purnama mengetahui perbuatan yang dilakukannya—mengiyakan permintaan temannya untuk mengantar ke lokasi transaksi penjualan narkotika—tapi tidak mampu memahami konsekuensinya. Wendra Purnama tidak memiliki kemampuan untuk mencerna dampak baik dan buruk yang akan diterima atas perbuatannya.

Selain itu, dalam putusannya Majelis Hakim juga mengutip pernyataan ahli Prof. Irwanto, dari Universitas Katolik Atmajaya, yang menjelaskan bahwa kondisi yang dialami Wendra Puranama adalah kondisi permanen yang tidak dapat diubah. Dengan IQ 55, ia hanya mampu memahami realita sederhana seperti anak usia 12 (dua belas) tahun, dan sampai kapanpun ia akan memiliki tingkat kecerdasan seperti anak-anak meskipun usia biologisnya terus bertambah.

Atas putusan ini kami, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), selaku Tim Kuasa Hukum Wendra Purnama berterima kasih pada Majelis Hakim yang telah memutus perkara ini dengan arif dan bijaksana. LBHM memandang bahwa putusan ini bisa menjadi preseden yang baik bagi hukum Indonesia ketika ada kasus serupa di mana orang dengan disabilitas intelektual harus menjalani proses hukum pidana.

Kami juga menyampaikan apresiasi kepada Jaksa Penuntut Umum dan pihak Lapas Pemuda Tangerang yang telah membantu proses eksekusi putusan sehingga Wendra Purnama bisa segera meninggalkan lapas. Apresiasi juga kami sampaikan kepada teman-teman media yang turut mengawal persidangan ini. Semoga kabar baik ini bisa menjadi salah satu contoh peradilan teladan dan memupuk kepercayaan kita terhadap sistem peradilan Indonesia.

 

Jakarta, 4 Juli 2019

 

Antonius Badar Karwayu

Pengacara Publik LBHM

Rilis Pers – 10 Tahun UU Narkotika: Momentum Revisi Kebijakan Narkotika

Jakarta, 26 Juni 2019 – Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2019 ini menandakan 10 tahun sudah UU Narkotika diimplementasi di Indonesia dan banyak dampak buruk yang tercipta.

Pertama, pasal-pasal pemidanaan yang terus digunakan untuk memenjarakan pemakai narkotika haruslah segera dihapus. Desember 2018, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, mengemukakan bahwa lebih dari 50% narapidana di Indonesia adalah kasus narkotika. Dari jumlah tersebut, 41.000 di antaranya diidentifikasi sebagai pengguna narkotika. Jumlah ini mengantarkan Indonesia mencapai overcrowding lembaga pemasyarakatan (lapas) sebesar 203%. Kriminalisasi pemakaian narkotika justru melahirkan persoalan baru, yakni: menambah beban lapas sehingga negara harus mengeluarkan uang ratusan milyar untuk membiayai makan narapidana-narapidana yang melakukan tindak pidana non-violent; menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; memperburuk situasi kesehatan di lapas; dan hanya menguntungkan oknum penegak hukum yang korup.

Oleh karena itu, kami mendesak Pemerintah dan DPR agar mendekriminalisasi penggunaan, penguasaan, serta pembelian narkotika dalam jumlah terbatas untuk konsumsi pribadi agar menegaskan komitmen negara dalam meletakkan pemakai narkotika sebagai manusia yang dapat memperoleh dukungan kesehatan dan layanan psikososial.

Kedua, kami juga mendorong Pemerintah dan DPR untuk merevisi Pasal 6 dan Pasal 8 UU Narkotika agar Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan medis. Masih segar di ingatan kita bahwa pada 2017, Fidelis Ari harus mendekam di penjara karena mengobati istrinya Yeni Riawati, yang kemudian meninggal dunia, dengan ekstrak ganja. Penyediaan pengobatan yang harusnya menjadi tanggung jawab negara malah menjadi sebuah tindak pidana karena regulasi yang tidak mengimani hak asasi manusia. Sebagai perbandingan saja, Thailand dan Korea Selatan sudah mulai menerapkan kebijakan ganja untuk kepentingan medis. Selain itu, sudah banyak studi internasional yang menunjukkan manfaat kesehatan dari narkotika golongan I seperti opium, MDMA, dan psilosibin. Pemerintah Indonesia seharusnya bersikap terbuka dan tidak paranoid terhadap perkembangan ilmu kesehatan dan kebijakan narkotika.

Ketiga, kami juga mendorong agar Pemerintah melakukan moratorium hukuman mati pada kasus narkotika. Tiga gelombang eksekusi yang telah membunuh 18 orang mendapatkan banyak kritik dari dunia internasional. Eksekusi mati juga tidak pernah terbukti menurunkan tingkat pemakaian dan peredaran gelap narkotika. Pemerintah Indonesia hendaknya mengikuti Malaysia yang sudah melakukan moratorium hukuman mati baru-baru ini. Dari sana, kita harapkan Pemerintah akan lebih berkonsentrasi mencari solusi yang memang menyasar masalah bukannya berpaling pada unjuk kekuatan yang tak menyelesaikan apapun seperti hukuman mati.

Seiring dengan seruan perubahan tersebut di atas, LBHM dan kelompok masyarakat lain yang peduli pada perubahan kebijakan narkotika yang lebih humanis menyelenggarakan aksi damai, Selasa kemarin 25 Juni 2019, di Taman Aspirasi (depan Istana Negara). Sayangnya, baru berjalan satu jam, aksi damai tersebut yang rencananya diisi dengan pembacaan puisi dan penyalaan lilin untuk refleksi, dibubarkan paksa oleh polisi dengan alasan ketiadaan izin. Padahal hukum hanya mensyaratkan pemberitahuan kepada polisi – sebuah syarat yang telah kami penuhi dengan mengirimkan pemberitahuan kepada Polda Metro Jaya H-7. Di saat pembubaran dilakukan, Kepolisan juga melakukan penangkapan dan penggeledahan sewenang-wenang pada staf kami dan peserta aksi. Salah seorang oknum Polisi menekan massa aksi dengan mempertanyakan, “Mau jadi apa kalian memperjuangkan narkoba?” Padahal yang kami perjuangkan adalah bagaimana masyarakat bisa hidup lebih baik dengan kebijakan narkotika yang berakal sehat, humanis, dan berbasis bukti ilmiah. Pembubaran terhadap aksi damai ini jelas tindakan represif pada upaya masyarakat yang menyampaikan aspirasi, yang dilindungi oleh Konstitusi – sesuatu yang penting mengingat sudah 10 tahun UU Narkotika memberikan dampak buruk pada masyarakat.

Berubah tak mau, protes pun tak boleh. Mau sampai kapan Undang-Undang dan cara berpikir seperti ini kita pertahankan? Sudah waktunya Indonesia menghentikan kebebalan ini dan terbuka pada perubahan.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

The Feasibility of Conducting Research on Attitudes Towards the Death Penalty in Indonesia: Elite and Public Opinions

The past thirty years has seen a revolution in the discourse on and practice of capital punishment around the world. There has been a movement towards abolition and progressive restriction of the death penalty. International law currently allows for \’limited retention\’ for only the \’most serious\’ crimes. However, this concept has been interpreted differently according to national culture, tradition, and political complexion, particularly across Asia where certain drug offences are considered to be among the most serious crimes.

Unsubstantiated assertions are made about the high number of drug-related deaths to justify the punitive criminal justice responses to the use, sale, and trafficking of drugs. A scoping project in Indonesia carried out by The Death Penalty Project (DPP) and the University of Oxford in January 2019 identified three key assumptions behind Southeast Asia\’s \’war on drugs\’:

  • the public is strongly in favour of capital punishment,
  • only death penalty can deter drug offences,
  • and those who are prosecuted and sentenced to death for drug offences are the most dangerous, powerful, and corrupt persons in the drug trade.

However, there are no empirical data to test these assumptions.

This scoping project aimed at tesing one of the three key assumptions used to justify retention of the death penalty: that both elites and the public are strongly in favour of capital punishment and would not tolerate abolition or progressive restriction of its use. Such a study would close gaps in our knowledge and explicate the challenges for Indonesia – and how to best meet them – on the road to abolition.

Download this scoping project here.

Click here for Bahasa Indonesia version.

Rilis Pers – Keadilan Raib dari Pengadilan!

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menyatakan kekecewaannya terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang pada 24 Mei 2019 lalu. Putusan tersebut dijatuhkan terhadap gugatan yang diajukan Brigadir TT, dan kami selaku kuasa hukumnya, terkait dengan pemecatan TT sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia semata karena orientasi seksual.

Majelis Hakim yang diketuai Panca Yunior Utomo menyatakan gugatan Brigadir TT tidak dapat diterima karena pasca terbitnya Surat Keputusan pemecatan Brigadir TT oleh Kapolda Jawa Tengah, Brigadir TT tidak mengajukan keberatan atas terbitnya surat keputusan pemecatan tersebut. Pertimbangan ini sungguh tidak tepat. Brigadir TT sudah menjalani sidang komisi kode etik profesi baik pada tingkat pertama maupun tingkat banding di internal kepolisian. Dengan kata lain, tak tersisa mekanisme internal apapun lagi bagi Brigadir TT.

Hal ini pun telah diakui sendiri oleh Majelis Hakim pada pertimbangan putusan pada 24 Mei tersebut. Hal ini juga tercermin dalam masa pemeriksaan persiapan, di mana Tergugat (Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah) melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa Surat Keputusan pemberhentian Brigadir TT telah final.

Anehnya, Majelis Hakim dalam putusannya justru menganggap bahwa gugatan kami prematur karena belum menempuh seluruh kemungkinan upaya administratif. Majelis Hakim merujuk pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan untuk mengajukan upaya keberatan pada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Menurut hemat kami, pendapat Majelis Hakim ini memiliki beberapa masalah.

Pertama, bahwa berdasarkan Peraturan Kapolri No. 19 Tahun 2012 tidak ada lagi upaya banding atau keberatan yang tersedia di tubuh institusi kepolisian setelah terbitnya surat keputusan PTDH terhadap anggota Polri, yang dikeluarkan pejabat tata usaha negara yang berwenang, dalam hal ini Kapolda Jateng. Dalam kasus ini, Majelis Hakim luput mengindahkan norma yang termaktub di dalam Peraturan tersebut.

Kedua, kami memandang justru Polri yang gagal menginternalisasi keberadaan Pasal 76 Undang-undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini ke dalam skema penyelesaian masalahnya agar Pasal 76 ini bisa hidup seiring sejalan dengan hukum acara pengadilan tata usaha negara.

Sikap Majelis Hakim dalam putusan ini justru meninbulkan ketidakpastian hukum karena menjadikan nasib klien kami, dan abdi-abdi negara yang lain yang mengalami problem serupa, menjadi menggantung. Di satu sisi, menurut aturan internal dan praktik di instansi Polri ia telah dianggap bukan anggota Polri lagi. Di sisi lain, Majelis Hakim menolak untuk memeriksa perkara ini dengan dalih klien kami belum mengajukan keberatan setelah tidak menjadi anggota Polri lagi.

Sikap Majelis Hakim tersebut jelas tidak bisa diterima nalar karena bagaimana mungkin seseorang yang sudah dianggap bukan anggota Polri lagi bisa dan diterima mengajukan keberatan lagi kepada instansi Polri. Selain itu, jika memang gugatan kami prematur, Majelis Hakim seyogyanya menyatakan hal ini dalam pemeriksaan pendahuluan dan tidak melanjutkan proses persidangan ke pokok perkara.

Sikap inkonsisten juga ditunjukkan oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) karena pada tahap persidangan yang berikutnya, Polda Jateng justru mengajukan eksepsi yang menyatakan bawa gugatan kami prematur. Hal ini tentu saja jauh dari cita-cita Polri yang professional sebagaimana didengungkan oleh Kapolri Tito Karnavian. Bagaimana kita bisa berharap Polri yang mengayomi masyarakat ketika proses penyelesaian masalah dengan anggotanya sendiri tidak dilakukan dengan baik.

Putusan PTUN Semarang ini jelas membawa kerugian, tidak hanya kepada Brigadir TT, tetapi terhadap upaya melawan diskriminasi terhadap seseorang yang memiliki orientasi seksual minoritas di tubuh institusi kepolisian secara khusus dan penyelenggara negara secara umum.

LBHM mengkhawatirkan kecakapan Majelis Hakim dalam perkara klien kami ini. Kami berharap, dalam perkara-perkara semacam ini, Majelis Hakim memiliki keberanian dan menjaga independensinya meski harus berhadapan dengan Kepolisian sebagai sebuah institusi karena ini menyangkut hak asasi manusia.

Menyikapi Putusan PTUN Semarang ini, LBHM sebagai kuasa hukum Brigadir TT akan mengambil langkah-langkah berikut untuk memperjuangkan hak-hak klien kami:

1. Mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atas Putusan PTUN Semarang;

2. Melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Polda Jateng ke Ombudsman Republik Indonesia.

 

 

Jakarta, 26 Mei 2019

Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBHM

Vacancy: Reprieve International South East Asia Junior Fellow

Reprieve is a UK charity founded in 1999 by Clive Stafford Smith. Reprieve uses strategic interventions to end the use of the death penalty globally, and secret prisons and state-sanctioned assassinations in the context of the so-called “war on terror”.

We work for the most disenfranchised people in society, as it is in their cases that human rights are most swiftly jettisoned and the rule of law is cast aside. Thus, we promote and protect the rights of those facing the death penalty and those who are the victims of extreme human rights abuses committed in the context of the so-called “war on terror” (WOT), with a focus on secret prisons and state-sanctioned assassinations.

Underpinning Reprieve’s strategic focus is the notion that countries such as the UK and US hold themselves out as shining examples of democratic societies that respect the rule of law and human rights, and therefore should be held to exacting standards in terms of how they respond to acts or allegations of terrorism and murder. Their responses have ripple effects worldwide, and are frequently used to justify the continuation of the death penalty, extrajudicial killing, torture, rendition and unlawful detention by countries ranging from ‘aspiring exemplars’ to ‘worst offenders’.

Reprieve’s main office is based in London, UK. Reprieve also supports full time Reprieve Fellows, who work as lawyers, investigators and advocates in different countries. Reprieve works with partners in jurisdictions all over the world, including Non-Governmental Organizations (NGOs), government officials, individual lawyers and human rights defenders, as well as individual, corporate and foundation funders.

 

The Role

The South East Asia junior fellow will support the work of the South East Asia Fellow, an experienced human rights activist and campaigner based in Jakarta.

S/he will be a flexible team player with a positive can do attitude and a proactive approach to work. S/he will be comfortable with working on new and emerging areas with limited supervision, and will also be receptive to learning from those around him/her. S/he will maintain the utmost professional standards at all times, and will be willing to muck in on all tasks big and small that support Reprieve’s work against the death penalty in South East Asia.

Main duties:

  • Supporting Reprieve’s South East Asia Team
  • Producing useful materials for advocacy and casework
  • Developing and employing Reprieve’s data bank and research
  • Providing legal support to the South East Asia Team

 

Responsibilities

Support

  • Prepare memorandum, provide support to those drafting reports, briefing papers, and formal correspondence

Producing materials

  • Translation to and from English and Bahasa Indonesia

Data and research

  • Support factual investigation and research on Reprieve cases that may be carried out in partnership with our local partners, including record collection, conducting interviews and family visits when needed and maintaining ongoing contact with those whom we assist and their family members where strategic and appropriate
  • Conducting regular media monitoring and documenting legal/political developments in relation to the death penalty in Indonesia, updating various databases
  • Gathering data and conducting research

Legal support

  • Support Reprieve’s strategic litigation efforts and provide relevant casework and policy content for use in legal documents and findings
  • Conduct legal research and draft legal memos
  • Provide research/technical assistance to casework that Reprieve is jointly undertaking with local partners

To apply this job, please send a copy of your recent C.V. and a covering letter detailing your suitability for the role and why you want to work at Reprieve to raynov@reprieve.org.uk by the deadline above. Please ensure the subject line ‘SEA Junior Fellow’ is used and that attachments are in PDF format. Please send those document before 14 June 2019.

For further information such as key contact; length and salary; and person specification, click this link.

Rilis Pers – Karena Kesewenang-wenangan Harus Dilawan!

Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) menentang pemecatan yang dilakukan Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) kepada TT yang dilakukan semata karena orientasi seksualnya. LBHM sebagai kuasa hukum TT memandang bahwa pemberitaan serta respon Pemerintah dan parlemen tentang TT mulai melebar dari konteks. Oleh karena itu, LBHM merasa perlu untuk meluruskan beberapa hal.

TT adalah seorang Brigadir Polisi yang bertugas sebagai Banum Subditwisata Ditpamobvit Polda Jateng. Pada 14 Februari 2017, TT, bersama W, ditangkap oleh dan dibawa ke Polres Kudus secara sewenang-wenang atas tuduhan pemerasan terhadap W. Setelah dilakukan pemeriksaan di Polres Kudus, TT terbukti tidak pernah melakukan pemerasan terhadap W.

Meski demikian, TT tetap dipaksa menjalani pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik profesi sebanyak 3 kali yaitu pada 15, 16, dan 23 Februari 2017. Pelanggaran etik yang dituduhkan terhadap TT adalah melakukan hubungan seks, yang menurut Polri, “menyimpang.”

LBHM memandang ada dua hal yang janggal dari proses ini. Yang pertama, pemeriksaan ini tidak didahului oleh sebuah laporan dugaan pelanggaran kode etik. Yang kedua, sekitar satu bulan setelah pemeriksaan tersebut muncul laporan pelanggaran kode etik yang diajukan oleh Bripda Aldila Tiffany T.P. pada tanggal 16 Maret 2017.

TT kemudian tidak pernah mendapatkan informasi apapun mengenai perkembangan kasusnya selama beberapa bulan. Pada 27 Desember 2018, Kapolda Jateng mengeluarkan Surat Keputusan untuk memberhentikan TT sebagai anggota Polri secara tidak hormat (PTDH) karena TT dianggap melakukan hubungan seks “menyimpang.” TT dinilai melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedua pasal ini, pada intinya, berbicara mengenai menjaga citra dan reputasi Polri serta turut menaati atau menghormati norma kesusilaan, agama, kearifan lokal, dan norma hukum.

Maka melalui konferensi pers ini pula, kami membantah pernyataan Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo, yang menyatakan bahwa TT tidak masuk dinas selama lebih dari 30 hari dan melakukan pelecehan seksual yang menimbulkan korban. Selain bahwa tuduhan-tuduhan itu tidak benar, jelas bahwa selama proses etik di internal kepolisian, hal-hal tersebut tidaklah diangkat dan dijadikan landasan pemeriksaan. Alasan-alasan ini jelas dibuat-buat untuk mendiskreditkan klien kami di mata publik.

Kami juga menyesalkan narasi yang dibangun oleh Mabes Polri dan sejumlah pihak seperti misalnya anggota DPR yang menyatakan bahwa individu LGBT tidak boleh menjadi anggota Polri. Pemikiran ini adalah cara pandang yang usang, tidak berdasar, dan homofobik. Performa seorang anggota Polri seharusnya diukur dari kinerja dan integritasnya, hal-hal yang dengan baik dipegang teguh oleh klien kami.

Selain problem administrasi yang terang benderang, kami juga melihat adanya masalah hak asasi manusia yang mendasar pada kasus ini. Pemberhentian tidak hormat terhadap TT karena orientasi seksualnya adalah wujud pelanggaran hukum dan diskriminasi terhadap orang dengan orientasi seksual minoritas dan telah berdampak pada pengakuan, pengurangan, penikmatan dan penggunakan hak asasi seseorang untuk dapat hidup, bekerja dan bebas dari diskriminasi sebagaimana telah dijamin dalam Konstitusi.

Di kasus ini, Polri dengan nyata-nyata menginjak-injak Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif. Hal ini diperkuat oleh Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 26 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, serta Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005.

Oleh karena itu, di bulan reformasi ini yang seharusnya mengingatkan kita betapa perih kehidupan ketika hak asasi manusia tidak diindahkan, kami meminta kepada:

1) PTUN Semarang dapat melihat masalah administrasi secara jelas yang menimpa klien kami, dan memeriksa dan mengadili perkara ini sejalan dengan jaminan hak asasi yang telah disediakan oleh undang-undang;

2) Kepolisian Republik Indonesia agar segera memulihkan pelanggaran hak yang dialami oleh TT.

Kami akan melanjutkan terus proses hukum sampai klien kami mendapatkan keadilan karena kesewenang-wenangan haruslah dilawan.

 

Jakarta, 20 Mei 2019
Ma’ruf Bajammal – Pengacara Publik LBHM

Rilis Pers – Perkembangan Persidangan Wendra, Penyandang Disabilitas Intelektual

Sehubungan dengan berjalannya persidangan kasus pidana atas nama terdakwa Wendra Purnama, seorang disabilitas intelektual yang didakwa melakukan jual beli narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, LBH Masyarakat (LBHM) selaku kuasa hukum Wendra hendak menyampaikan pokok-pokok persidangan hari Selasa, 1 April 2019 kemarin, dengan agenda pemeriksaan saksi bernama Hau-Hau (yang juga terdakwa di berkas perkara yang terpisah).

Pertama, Hau-Hau menyampaikan bahwa pada waktu kejadian, dia bertemu dengan Ica (DPO) dan diminta Ica mengantar paket ke seseorang yang bernama Leni. Dalam keterangannya, Hau-Hau menjelaskan bahwa dia mengajak Wendra untuk bertemu Leni karena Wendra memiliki sepeda motor yang bisa digunakan. Pada saat yang bersamaan, Wendra ingin mengajak Hau-Hau bermain. Hau-Hau menegaskan bahwa baik dirinya maupun Wendra tidak tahu atau tidak mengenal sosok Leni seperti apa.

Kedua, Majelis Hakim akhirnya mengabulkan permohonan LBHM agar terhadap Wendra dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa secara independen berdasarkan perintah pengadilan. Permohonan tersebut adalah permohonan kedua, setelah sebelumnya permohonan pertama ditolak oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan bahwa Wendra tampak baik-baik saja. Hal mana menunjukkan bahwa Majelis Hakim tidak memahami bahwa disabilitas intelektual adalah jenis disabilitas yang tidak terlihat (invincible). Walau datang terlambat, LBHM tetap mengapresiasi keputusan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan pemeriksaan kesehatan jiwa tersebut dan berharap hasil pemeriksaan independen bisa berjalan secara sungguh-sungguh, dan imparsial.

Sebelumnya, berdasarkan hasil pemeriksaan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), wilayah Banten, Wendra diketahui memiliki IQ 55 (IQ standar ada di kisaran 80-90). Hal ini menunjukkan bahwa Wendra memiliki tingkat intelejensi rendah, mengalami keterbatasan fungsi berpikir, dan telah menyandang disabilitas intelektual dalam jangka waktu yang lama. Karena disabilitasnya tersebut, kapasitas Wendra dalam membedakan baik buruk, dan benar salah, termasuk membedakan hak dan kewajiban, sangat terdampak.

Persidangan ditunda dua minggu, untuk dilanjutkan pada hari Senin, 15 April 2019, dengan agenda pemaparan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa independen terhadap Wendra.

 

Jakarta, 2 April 2019

Antonius Badar Karwayu – Pengacara Publik LBHM

Rilis Pers – Debat III Pilpres: Hal-hal yang Sebaiknya Tidak Dilupakan

Minggu, 17 Maret 2019 – LBH Masyarakat (LBHM) berharap debat Pilpres 2019 ketiga berlangsung bernas, tajam, dan membahas beberapa hal spesifik yang kerap terlupakan ketika membahas pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan kebudayaan – hal-hal yang akan menjadi pokok bahasan di debat kali ini.

Isu spesifik pertama ialah narkotika. UU Narkotika yang saat ini berlaku di Indonesia terlalu bertumpu pada pendekatan penegakan hukum yang punitif, bukannya kesehatan publik. Hal ini tercermin dari terus meningkatnya jumlah pemakai narkotika yang dipenjara. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas), di Februari 2011, jumlah pemakai narkotika yang dipidana penjara adalah sebesar 13.766 orang, meningkat ke 28.514 di Februari 2015, dan ke 33.704 di Februari 2019. Di satu sisi, mengirim pemakai narkotika ke penjara berkontribusi pada situasi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah penuh sesak (overcrowded). Di sisi lain, hal itu akan melahirkan persoalan baru, seperti menciptakan pasar narkotika di dalam lapas; dan memperburuk kondisi sanitasi lapas dan psikologis para warga binaan.

Selain itu, wajah penegakan hukum narkotika yang punitif itu juga meminggirkan pentingnya pengelolaan narkotika, misalnya ganja, untuk kepentingan medis. Fidelis Arie (2017) harus menjalani vonis penjara 8 bulan hanya karena menanam ganja untuk mengobati istrinya yang ketika itu sedang sekarat dan menderita penyakit serius. Di saat negara lain di Asia seperti Korea Selatan dan Thailand sudah melegalisasi ganja untuk urusan medis, penting juga bagi publik untuk mendengar pandangan para cawapres tentang penggunaan narkotika untuk kepentingan medis.

Isu spesifik kedua adalah soal HIV. Masih segar di ingatan kita tentang 3 anak di Samosir dan 14 anak di Solo yang terlanggar hak atas pendidikannya karena diskriminasi dari publik terkait statusnya yang positif HIV. Kita juga sempat digegerkan dengan pemberitaan tentang korupsi serta kegagalan lelang obat terapi antiretroviral (ARV) untuk mereka yang hidup dengan HIV/AIDS. Publik perlu mengetahui gagasan para cawapres untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), apa program khususnya untuk menghilangkan praktik diskriminasi terhadap ODHA, dan bagaimana strategi pencegakan korupsi di sektor kesehatan.

Isu spesifik yang terakhir ialah mengenai kelompok rentan lainnya seperti minoritas seksual dan orang dengan disabilitas baik fisik maupun psikososial. LBHM mencatat bahwa sepanjang 2017 terdapat setidaknya 973 anggota komunitas LGBT yang menjadi korban stigma, diskriminasi dan pelanggaran HAM. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut antara lain persekusi, pembubaran acara secara paksa, pelarangan mendapatkan pendidikan, dan bentuk kekerasan lain. Keberadaan komunitas LGBT di Indonesia sendiri sudah sejak lama ada – jauh sebelum Indonesia merdeka, dan keragaman identitas dan orientasi seksual itu juga diakui di banyak masyarakat. Oleh karenanya penolakan dan wacana kriminalisasi LGBT bukan hanya ahistoris, tetapi juga diskriminatif.

Sementara itu di persoalan kesehatan jiwa, sepanjang 2017, terdapat setidaknya 159 orang dengan disabilitas psikososial yang menjadi korban kekerasan, termasuk pemasungan. Pemasungan terhadap orang dengan disabilitas psikososial seolah menjadi area yang tidak terlihat (blindspot) oleh pemerintah sejauh ini. Sebab, pemasungan sudah dilarang sejak 1977, namun hingga kini praktik itu masih ada di banyak tempat di Indonesia.

Baik KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno memiliki bebannya masing-masing untuk dapat mengambil posisi terhadap persoalan-persoalan di atas. KH Ma’ruf Amin, misalnya, memiliki sejarah mengeluarkan fatwa-fatwa yang cukup diskriminatif ketika menjadi pejabat MUI. Di sisi lain, pertanyaan besar menaungi Sandiaga Uno tentang bagaimana ia nanti dapat menyusun sebuah kebijakan yang progresif ketika koalisi pemerintahannya akan diisi oleh individu-individu yang memegang teguh konservatisme. Tantangan-tantangan ini yang hendaknya dijawab dengan lugas nanti malam. Rakyat ingin melihat perdebatan yang rasional, bukan silaturahmi antar elite dengan bumbu retorika.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBHM

Rilis Pers – Pernyataan LBH Masyarakat terkait Bebasnya Siti Aisyah dari Hukuman Mati di Malaysia

Jakarta, 11 Maret 2019 – LBH Masyarakat mengapresiasi Pemerintah Indonesia yang melalui upaya diplomasinya berhasil mendorong pembebasan Siti Aisyah dari ancaman hukuman mati di Malaysia.

Sebagaimana diberitakan di sejumlah media, upaya ini tidak lepas dari permohonan Menteri Hukum dan HAM RI Yasonna Laoly kepada otoritas Malaysia. LBH Masyarakat melihat bahwa usaha tersebut selain bentuk perlindungan pemerintah terhadap WNI, juga mencerminkan komitmen pemerintah menghormati hak asasi manusia khususnya hak untuk hidup dan wajah diplomasi yang mendukung penghapusan hukuman mati.

Namun demikian, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah Indonesia agar upaya pembebasan Siti Aisyah tidak berhenti di sini. Pemerintah harus mengintensifkan upaya penyelamatan WNI lainnya yang terancam hukuman mati di luar negeri, dengan menyediakan pendampingan hukum di kualitas terbaik, asistensi konsuler, mobilisasi dukungan internasional, dan dukungan lainnya yang relevan.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus segera menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi mati di Indonesia, secara de jure, agar berjalan beriringan dengan upaya diplomasi di luar negeri. Kebijakan Indonesia yang menerapkan hukuman mati dan eksekusi di dalam negeri, dan di waktu yang bersamaan menyelamatkan WNI terancam hukuman mati di luar, akan dibaca sebagai inkonsistensi dan sikap hipokrit oleh pemerintah negara lain. Dan hal tersebut dapat berpengaruh pada level advokasi pemerintah.

Dengan menerapkan moratorium hukuman mati juga akan menempatkan Indonesia sebagai kampiun hak asasi manusia bukan hanya di region Asia Tenggara tetapi juga di dunia. Hal mana akan berdampak pada citra dan posisi Indonesia sebagai pemimpin global.

 

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

id_IDIndonesian