Tag: Kekerasan Seksual

Pernyataan Sikap Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) Dukungan Pemulangan Mary Jane Veloso Melalui Mekanisme Transfer of Prisoner

Jakarta, 21 November 2024

Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan individu yang berkomitmen untuk menghapuskan hukuman mati, mengapresiasi upaya kolaboratif Pemerintah Indonesia dan Filipina yang menyepakati langkah penyelesaian kasus terpidana mati Mary Jane Veloso (MJV) melalui jalur diplomasi Transfer of Prisoner. Momen ini merupakan perkembangan signifikan perjuangan MJV mendapatkan keadilan yang telah berlangsung hampir 15 tahun.

JATI juga mendorong agar Pemerintah Indonesia dan Filipina segera untuk  mengkonkretkan kesepakatan Transfer of Prisoner ini dengan segera menetapkan langkah-langkah dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV ke negaranya.

Lebih dari 14 tahun MJV telah berstatus sebagai terpidana mati dan duduk dalam deret tunggu eksekusi mati, jauh dari keluarga tercintanya, dan menghadapi ancaman hukuman yang kejam dan penyiksaan tidak langsung. Pernyataannya yang konsisten bahwa dirinya adalah korban perdagangan manusia yang didukung dengan bukti-bukti baru di Filipina, telah menyingkap kelemahan mendasar penerapan hukuman mati. Pemindahannya ke tahanan Filipina membuka peluang untuk memastikan bahwa hak-haknya dihormati sepenuhnya dan suaranya didengar.

MJV merupakan simbol kerentanan sekaligus ketangguhan dari mereka yang miskin dan terpinggirkan saat berhadapan dengan ketidakadilan. Kasus yang dialaminya unik dan belum pernah terjadi sebelumnya, karena melintas batas yurisdiksi hukum antar negara yang membutuhkan keberanian penyikapan dan terobosan hukum.  Kasusnya memberi pelajaran dan semakin menegaskan mendesaknya penanggulangan perdagangan manusia, sekaligus pembelajaran agar lebih cermat dalam penggunaan Undang-Undang Narkotika yang menegasikan korban sindikat perdagangan manusia.

JATI menyerukan kepada Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk memperlakukan kasus MJV dengan sangat hati-hati, menghormati hak-haknya sebagai korban perdagangan manusia, dan saat kembali ke negaranya memastikan bahwa ia menerima dukungan hukum dan psikologis yang diperlukan untuk membangun kembali kehidupannya. JATI mengingatkan dalam hukum hak asasi manusia internasional tentang ekstradisi menjelaskan bahwa proses ekstradisi harus memastikan bahwa kondisi tempat negara penerima harus tidak memberikan resiko adanya eksekusi pidana mati bagi terpidana yang ditransfer. Jaminan ini seharusnya dapat dilaksanakan mengingat bahwa Filipina telah menghapuskan pidana mati pada 2006.

Kami juga meminta Pemerintah Indonesia untuk menggunakan kasus ini sebagai batu loncatan untuk memperkuat langkah-langkah dalam memerangi perdagangan manusia dan melindungi hak-hak pekerja migran di luar negeri, sekaligus menyelamatkan mereka dari hukuman mati yang tersebar di beberapa negara yang masih menerapkan pidana mati.

JATI menegaskan kembali komitmennya untuk penghapusan hukuman mati secara menyeluruh dalam hukum pidana nasional. Kasus Mary Jane menjadi pengingat pahit bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dan tidak mengatasi akar penyebabnya. Bahkan dalam kasus MJV menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia belum bisa menjamin implementasi prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak dan membiarkan peradilan sesat yang sering menyasar kasus hukuman mati sehingga penghapusan hukuman mati dan pengubahan hukuman (commutation) pidana mati menjadi tindakan yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia.

Perlu diingat, MJV tidak sendiri, masih banyak korban-korban perdagangan manusia lainnya yang menghadapi jerat hukuman mati di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia maupun luar Indonesia, termasuk pekerja migran Indonesia di luar negeri. Rentetan kasus seperti ini menyimpulkan bahwa hukuman mati justru melanggengkan siklus kekerasan, menghilangkan kesempatan untuk memperbaiki diri, dan menolak keadilan bagi mereka yang dituduh dan dieksploitasi secara tidak adil.    

JATI juga hendak mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa karakteristik kasus perdagangan manusia yang mengeksploitasi perempuan atau kelompok rentan lain sebagai kurir narkotika tidak hanya menimpa Mary Jane Veloso. Banyak terpidana narkotika baik berkewarganegaraan asing maupun Indonesia yang menerima hukuman maksimal dan tidak pernah mendapatkan pengakuan atau perlindungan sebagai korban perdagangan manusia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu untuk mempertimbangkan melakukan skema-skema transfer of prisoners, komutasi, ataupun amnesti kepada para terpidana mati dengan karakteristik kasus yang serupa dengan Mary Jane Veloso.

Untuk itu kami menyampaikan sikap:

  1. Pemerintah Indonesia dan Filipina segera menyusun dan menyepakati langkah-langkah konkret dan linimasa yang pasti dan terukur untuk pemindahan MJV dari Indonesia ke Filipina;
  2. Pemerintah Filipina memperlakukan MJV sebagai korban perdagangan manusia, oleh karena itu hak-haknya harus dihormati dan dipenuhi, termasuk haknya untuk mengajukan pengurangan hukuman;
  3. Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan melakukan mekanisme transfer of prisoner, komutasi, atau amnesti bagi terpidana mati yang terbukti sebagai korban perdagangan manusia, mengambil contoh baik dari rencana pemulangan MJV;
  4. Pemerintah Indonesia menghapus hukuman mati dalam hukum pidana nasional, termasuk merevisi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berkontribusi dalam pelanggaran prinsip fair trial dan sumber rekayasa kasus;
  5. Pemerintah Indonesia meninjau kasus hukuman mati dan segera melakukan perubahan hukuman terpidana mati sebagaimana mandat Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

Narahubung:

  1. Iweng Karsiwen (KABAR BUMI) – 081281045671
  2. Yosua Octavian (LBHM) – 081297789301
  3. Maidina Rahmawati (ICJR) – 085773825822
  4. M. Afif Abdul Qoyim (YLBHI) – 081320049060
  5. Gina Sabrina Monik (PBHI) – 085252355928
  6. Amira (KontraS) – 08176453325

Vonis Mati Herry Wirawan: Negara Lalai, Hak Korban Diabaikan!

Jakarta, 5 April 2022 – Herry Wirawan (HW) seorang terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 anak santri di Bandung diputus pidana mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung pada 4 April 2022. Tidak dapat dipungkiri bahwa perbuatan HW mengundang perhatian dan gelombang amarah di kalangan masyarakat. Namun, secara prinsip LBHM memandang putusan tersebut tidak dapat dibenarkan, mengingat hak hidup yang bersifat prinsipil dan putusan tersebut cenderung bermuatan emosi publik semata. Perlu diingat dalam mengadili perkara tindak pidana kekerasan seksual, Aparat Penegak Hukum (APH) harus memberikan perhatian lebih terhadap kebutuhan korban, bukan kepada kemarahan yang tidak berdampak kepada korban.

Oleh karena itu, LBHM berpandangan sebagai berikut:

1. Vonis Pidana Mati Tidak Memberikan Efek Jera Terhadap Pelaku.
Indonesia merupakan salah satu negara yang rajin memberikan hukuman mati pada beberapa jenis tindak pidana, dimana vonis pidana mati paling banyak dijatuhkan terhadap kasus narkotika. Berdasarkan dokumentasi yang dilakukan oleh Reprieve, sepanjang 2017-2021 terdapat 367 vonis pidana mati untuk semua tindak pidana, dan sebanyak 279 vonis pidana mati adalah kasus narkotika. Namun tingginya vonis pidana mati dalam kasus narkotika tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika. Berangkat dari konstruksi tersebut, vonis pidana mati yang dijatuhkan kepada HW yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi;

2. Kasus Perkosaan yang Menjerat HW merupakan Simbol atas Puncak Gunung Es.
Kasus perkosaan maupun kekerasan seksual nerupakan persoalan struktural yang tidak dapat dipandang selesai melalui penjatuhan hukuman mati. Sebab di akar rumput masih banyak kasus perkosaan yang bungkam untuk dilaporkan. Akar masalah atas hal ini karena korban perkosaan kerap mendapat stigma dan berpotensi dituntut balik oleh pelaku. Tantangan ini menciutkan nyali korban untuk melapor. Pada sisi lain, RUU TPKS yang saat ini dibahas menghilangkan beberapa kekerasan seksual yang dalam praktiknya berpotensi tidak mengakomodasi kebutuhan perlindungan korban;

3. Vonis Pidana Mati Terhadap HW Justru Menghilangkan Peran Negara Memberikan Jaminan Perlindungan Terhadap Ruang Aman yang Semakin Kesini Semakin Sulit.
Proses hukum dan perlindungan terhadap korban kekerasan dan pelecehan seksual masih dirasa sangat minim. Oleh karena itu vonis pidana terhadap HW bukan jawaban terhadap kebutuhan korban dan seharusnya kasus ini merupakan notifikasi bagi Pemerintah untuk lebih maksimal dalam merealisasikan perlindungan bagi korban, bukan dengan menjatuhkan vonis pidana mati. Dalam hal penjatuhan hukuman, hakim juga telah lalai dalam mempertimbangkan pasal 67 pada KUHP yang membatasi jenis pemidanaan apabila hukuman mati atau seumur hidup diberikan kepada pelaku tindak pidana. Akrobatik hukum yang dilakukan oleh majelis hakim dalam memutus perkara HW di tingkat banding ini justru mengaburkan prinsip-prinsip dasar hukum pidana di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, LBHM meminta:

  • Mahkamah Agung menguji kembali melalui upaya hukum untuk menolak tuntutan pidana mati oleh Penuntut Umum dan putusan Pengadilan Tinggi Bandung;
  • Pemerintah bersama DPR segera mengesahkan RUU TPKS yang akomodatif terhadap pemenuhan jaminan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual serta berpihak terhadap korban dalam mendapatkan hak atas keadilan;
  • APH tidak melakukan penolakan atas pengaduan tindak pidana kekerasan seksual oleh anak, perempuan dan kelompok minoritas lainnya, serta memberikan layanan yang ramah terhadap korban dan saksi tindak pidana kekerasan seksual melalui peraturan dan pedoman.

Narahubung:
Yosua Octavian: 0812 9778 9301
A’isyah Humaida: 0822 6452 7724

Kondisi Disabilitas Bukan Alasan Mengecualikan Mereka dari Akses Terhadap Keadilan

Pada 8 Februari 2022, media nasional memberitakan soal adanya tindak kekerasan seksual yang menimpa kepada seorang perempuan penyandang disabilitas psikososial di Musi Bayuasin, Sumatera Selatan. Dalam kasus tersebut, korban WD diperkosa hingga hamil, dan buruknya kasus kekerasan seksual ini baru diketahui setalah 6 bulan berlalu.

Pasalnya dalam kasus tersebut terdapat satu keterangan dari pihak Kepolisian yang kesulitan untuk berkomunikasi dengan mereka. Kami melihat menandakan pihak kepolisian belum bisa menghadirkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses pemeriksaan.

LBHM menyoroti bagaimana penanganan dan pemberian akses keadilan terhadap penyandang disabilitas. Kami menilai kondisi Disabilitas bukanlah sebuah alasan untuk  mengecualikan hak mereka untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Secara kebijakan Indonesia Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) sejak tahun 2011 dan telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Salah satu Pasal CRPD, yaitu pasal 13, menerangkan bahwa negara wajib memberikan akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas, termasuk dengan cara melatih penegak hukum, salah satunya polisi, agar lebih akomodatif terhadap penyandang disabilitas dalam rangka menjamin akses terhadap keadilan bagi mereka.

Akomodasi yang layak yang seharusnya diberikan adalah Pengembangan komunikasi yang efektif, dan Pengembangan standar pemeriksaan oleh lembaga penegak hukum. Metode komunikasi yang efektif bisa berupa penghadiran alat bantu atau individu yang dapat menerjemahkan tindakan/perkataan penyandang disabilitas sesuai dengan preferensi atau maksud mereka.

Oleh karenanya kami mendorong Polri untuk:

1. Mengembangkan standar pemeriksaan berupa pedoman penunjukan penyidik yang memiliki kompetensi berkomunikasi dengan penyandang disabilitas;

2) Mengembangkan pedoman pengendalian situasi dan kondisi di lingkungan lokasi pemeriksaan agar penyandang disabilitas merasa senyaman mungkin dan dapat mengekspresikan kehendak/perkataan sesuai yang penyandang disabilitas maksudkan.

3) Memberikan akomodasi yang layak untuk akses terhadap keadilan terhadap penyandang disabilitas.

Kami percaya Polri mampu belajar memahami metode/cara melakukan pemeriksaan penyandang disabilitas sesuai mandat Undang-Undang dan Pearturan Pemerintah lainnya tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Kami juga percaya bahwa polri dapat memberikan rasa keadilan dan keamanan bagi perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban perkosaan ataupun penyandang disabilitas lain yang menjadi korban tindak pidana.

Hentikan Pendekatan Punitif Dalam Kasus Narkotika & Penjatuhan Hukuman Mati

Oleh LBH Masyarakat (LBHM)

14 Januari 2022 – LBH Masyarakat (LBHM) merupakan organisasi non-profit yang aktif melakukan advokasi kasus serta reformasi kebijakan narkotika dan hukuman mati di Indonesia. Hal ini tidak terlepas pada dua kasus yang marak dalam pemberitaan media belakangan ini. Pertama, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan pada Pengadilan Negeri Bandung. Kedua, kasus penyalahgunaan narkotika yang dialami oleh Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

LBHM mengecam keras seluruh pelaku kekerasan seksual dan tidak mentoleransi tindakan tersebut, termasuk pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh Herry Wirawan terhadap 13 santriwati di daerah Bandung. LBHM senantiasa mendorong seluruh aparat penegak hukum agar setiap pelaku kekerasan seksual diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalamnya. Namun, LBHM menyatakan tidak sepakat dengan tuntutan maupun hukuman mati yang dijatuhkan dalam kasus tersebut.

Pasal 67 KUHP menegaskan bahwa bagi setiap orang yang dijatuhi hukuman mati dan hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhi pidana lain lagi selain pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Menuntut maupun menjatuhkan hukuman mati bagi Herry Wirawan akan menjauhkan upaya pemulihan bagi korban dalam memperoleh restitusi baik secara materil maupun immateril. Penjatuhan hukuman sepatutnya menggunakan pendekatan yang rehabilitatif dan tidak bersifat retributif atau pembalasan semata. Mengedepankan opsi hukuman mati menegaskan kegagalan peran negara dalam menjawab persoalan kekerasan seksual yang menjamur di lingkungan masyarakat.

LBHM menyayangkan putusan yang diberikan oleh majelis hakim kepada Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie pada nomor perkara: 770/PID.SUS/2021/JKT.PST. Setiap orang yang mengalami permasalahan adiksi narkotika seharusnya menerima layanan rehabilitasi medis maupun sosial, hal ini berlaku universal sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 UU Narkotika. Pendekatan punitif yang dipertahankan dalam kebijakan dan penanganan kasus narkotika telah secara nyata tidak menurunkan angka penyalahguna narkotika di Indonesia. Kondisi adiksi seseorang tidak akan terjawab melalui hukuman pemenjaraan. Selain menjauhkan dari layanan rehabilitasi, persoalan pada kebijakan punitif pada akhirnya akan berdampak pada penuhnya lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini berkonsekuensi pada pembinaan dan pengawasan yang tidak optimal di setiap lapas di Indonesia. Pendekatan medis melalui rehabilitasi medis maupun sosial seharusnya menjadi opsi utama dan pertama atas kondisi adiksi seseorang. Indonesia sepatutnya belajar dari negara-negara yang gagal dalam mengedepankan kebijakan war on drugs (perang terhadap narkotika) dan bertransformasi pada pendekatan medis yang humanis.

Narahubung:
0822-4114-8034

Jurus \’Mas Menteri\’ Tangkal Kekerasan Seksual

Nampaknya, Nadiem Makarim, akrab disapa Mas Menteri, menjadi menteri yang paling sibuk menghadapi pro kontra publik saat ini. Pasalnya, baru-baru ini beliau menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayan Riset dan Teknologi RI  Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek 30/2021) atau dikenal di masyarakat dengan sebutan PPKS. Kita tinggalkan dahulu pro dan kontra yang terjadi. Tentu publik juga perlu tahu, mengapa Permendikbudristek 30/2021 ini begitu mendesak untuk dikeluarkan oleh, Mas Menteri?

Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2020, pada kanal lembaga negara tahun 2015-2020, menyebutkan, sebanyak 27 persen kekerasan seksual terjadi disemua jenjang pendidikan tinggi. Sementara itu, berdasarkan 174 testimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89 persen perempuan dan 4 persen laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari korban tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Pada banyak kesempatan, Mas Menteri kerap mengacu pada data dan fakta di atas sebagai dasar keluarnya peraturan tersebut. Yang secara objektif, menurut saya keputusannya merupakan satu langkah kongkret dan tepat untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual di perguruan tinggi kita. Jika dibaca dengan seksama, salah satu fokus utama Permendikbudristek ini adalah untuk melindungi kepentingan korban. Ya korban! Dari data di atas, 63 persen korban tidak melaporkan kasusnya tentu perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak faktor disinyalir menjadi penghambatnya, seperti sistem hukum yang belum memihak korban, victim blaming, persekusi, eksploitasi data pribadi semisal kasusnya  diliput media massa yang membuat kehidupan pribadinya jadi konsumsi publik, hingga anggapan masyarakat (yang nampaknya) permisif kepada pelaku, membuat para korban memilih untuk diam. Belum lagi, dibanyak kasus, korban yang melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya malahan berujung menjadi terlapor atau tersangka pelaporan kasus pencemaran nama atau UU ITE.

Momentum untuk Mendengar Korban

World Health Organization (WHO) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai “any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work”.  Terkait dengan inisiatif-inisiatif pembahasan terkait kekerasan seksual, lanjut WHO, justru terfokus kepada kriminalisasi perbuatan kekerasan, melupakan persoalan yang lebih penting dan mendesak yaitu mengenai hak korban. Korban sebagai pihak yang paling menderita seolah termarjinalisasi. Dampak kekerasan seksual bagi korban tentunya tidak bisa disepelekan. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik saja, tetapi juga berdampak pada mental dan sosial korban. Kekerasan seksual juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada korban, baik secara fisiologis, emosional, maupun psikologis. Dampak secara fisiologis berupa luka fisik, kesulitan tidur dan makan, kehamilan yang tidak diinginkan, tertular penyakit seksual, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara emosional berupa perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, perasaan malu, penyangkalan, dan lain-lain. Selanjutnya, dampak secara psikologis berupa post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, penurunan self-esteem, simtom obsesif-kompulsif, dan lain-lain.  Korban kekerasan seksual juga dapat mengalami berbagai masalah interpersonal, seperti ketidakpercayaan pada orang lain, kesulitan dalam hubungan, mengisolasi dan mengasingkan diri sendiri, serta ketakutan terhadap laki-laki.  Selain itu, korban yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat kemungkinan memiliki dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Kilpatrick dan kolega (1985) yang menemukan bahwa 1 dari 5 korban kekerasan seksual pernah melakukan percobaan bunuh diri. Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh korban dari tindak kejahatan lain.

Dengan melihat besarnya dampak bagi keselamatan jiwa korban, Permendikbudristek 30/2021 ini merupakan langkah positif yang tentunya patut mendapatkan apresiasi. Dalam peraturan yang ditandatangani Mas Menteri ini telah mengatur beberapa hal penting bagi korban. Pertama, adanya upaya pencegahan untuk mencegah potensi terjadinya kekerasan seksual dan juga adanya upaya serius untuk memutus mata rantai kekerasan seksual yang sudah terjadi selama ini. Kedua, aspek penanganan kekerasan seksual turut juga diakomodasi dalam peraturan ini. Di mana, dalam hal terjadinya kekerasan seksual, perguruan tinggi wajib untuk melakukan perlindungan, pendampingan dan pemulihan bagi korbannya. Hal-hal tersebut tentunya penting. Terlebih, Permendikbudristek 30/2021 juga memberikan ancaman sanksi bagi si pelaku kekerasan seksual itu sendiri.  Dalam upaya mewujudkan program “Kampus Merdeka”, rasanya Mas Menteri berhasil mewujudkan kemerdekaan bagi banyak peserta didik dari rasa takut atas kekerasan seksual di perguruan tinggi saat ini. Kemerdekaan yang tentunya menyelamatkan jiwa dan masa depan generasi mendatang. Bravo, Mas Menteri!

Tulisan opini ini merupakan respon sekaligus dukungan atas diterbitkannya Peraturan Anti Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi. Tulisan ini ditulis oleh Dominggus Christian – Manajer Pengetahuan dan Jaringan.

Sumber:

  1. World Health Organization, World Report on Violence and Health (UN World Health Organization 2002).
  2. Survei Kemendikbud Tahun 2020
  3. Tsai, M., & Wagner, N. (1978). Therapy group for women sexually molessed as children. Archives of Sexual Behavior, 7, 417-429.
  4. Sulistyaningsih, E., & Faturochman. (2009). Dampak sosial psikologis perkosaan. Buletin Psikologi, 10(1), 9-23.
  5. Permendikburistek REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
  6. https://www.kominfo.go.id/content/detail/38072/tetaskan-solusi-cegah-kekerasan-seksual-di-perguruan-tinggi/0/berita
  7. https://www.nsvrc.org/statistics-about-sexual-violence.pdf 
  8. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jpkk66bc3a3824full.pdf 
  9. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211111093436-20-719583/survei-nadiem-77-persen-dosen-akui-ada-kekerasan-seksual-di-kampus 

Rilis Pers – GERAK Perempuan

Beberapa waktu lalu RUU PKS dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Dikeluarkannya RUU P-KS ini karenakan pemabahasan yang katanya sulit (?), Padahal sudah banyak korban dari kekerasan seksual yang sulit bahkan tidak pernah mendapatkan keadilan.

Ketiadaan payung hukum bagi korban kekerasan seksual merupakan suatu hal yang mestinya diperhatikan oleh legislatif (DPR). Keengganan pihak legislatif untuk membahas dan segera mengesahkan RUU P-KS bisa dibilang sebagai sikap pengabaian terhadap mereka yang telah menjadi korban kekerasan seksual.

Maka dari itu GERAK Perempuan Menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) Dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 & Mengajak teman-teman untuk bersolidaritas mengawal proses Legislasi hingga diundangkan serta Ajakan Membangun Kolektif sebagai Sistem Dukungan.

Untuk membaca rilis lengkapnya silahkan klik link berikut

Skip to content