Skip to content

Category: Siaran Pers

Siaran Pers LBHM

Rilis Pers – EKSEKUSI MERRI UTAMI DOSA PEMERINTAH

LBH Masyarakat mengecam keras rencana eksekusi  Merri Utami. Bukan hanya karena nyawa setiap manusia itu berharga, pembunuhan yang akan dilaksanakan terhadap Merri Utami juga penuh dengan kesalahan.

Pertama, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum telah mendaftarkan grasi atas nama Merri Utami ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Selasa, 26 Juli 2016. Dengan tetap memasukkan Merri ke dalam rencana eksekusi, Pemerintah Indonesia tidak hanya melanggar hak seseorang terpidana melainkan juga telah melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dan hukum internasional. Pasal 6 dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa seseorang yang dihukum mati harus memiliki hak untuk mengajukan permohonan maaf atau komutasi atas hukumannya. Sistem hukum Indonesia memfasilitasi hak dalam Konvensi ini dengan kesempatan terpidana mengajukan grasi kepada presiden. Selama presiden belum memutuskan untuk menerima atau menolak grasi, sesuai pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, pelaksanaan eksekusi tidak dapat dilaksanakan dan dibenarkan secara hukum.

Kedua, Pemerintah menutup mata pada kerentanan perempuan yang menjadi kurir narkotika. Kasus Mary Jane seharusnya cukup memberikan pelajaran bahwa perempuan dan buruh migran sangat rentan dieksploitasi oleh jaringan peredaran narkotika. Kemiskinan yang membuat perempuan-perempuan memilih menjadi buruh migran, pergi ke sebuah negeri yang tidak pernah mereka jejaki sebelumnya, membuka peluang yang sangat besar bagi sindikat gelap untuk mengeksploitasi mereka.

Ketiga, kasus Merri penuh dengan pelanggaran hukum dan penyiksaan. Selama proses penyidikan Merri mendapatkan kekerasan fisik, berupa pemukulan hingga ia mengalami gangguan penglihatan. Ia pun mendapatkan pelecehan seksual dan ancaman akan diperkosa oleh oknum penegak hukum. Merri juga tidak mendapatkan bantuan hukum yang memadai selama proses penyidikan sampai proses persidangan. Penyiksaan baik fisik maupun seksual ini menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak dapat menjamin tegaknya rule of law.

Berdasarkan tiga poin di atas, LBH Masyarakat selaku kuasa hukum Merri Utami, mendesak pemerintah untuk:

  1. Menghapus nama Merri Utami dari daftar terpidana yang akan dieksekusi mati;
  2. Menghormati upaya hukum yang ditempuh oleh Merri Utami; dan
  3. Memasukkan pertimbangan-pertimbangan kerentanan perempuan dalam menanggulangi kasus narkotika yang melibatkan kurir narkotika perempuan.

 

Jakarta, 26 Juli 2016

Arinta Dea – Analis Jender LBH Masyarakat

Rilis Pers – EKSEKUSI HUMPREY JEFFERSON TIDAK SAH

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat memprotes keras penetapan Humprey Ejike/Humprey Jefferson sebagai terpidana mati yang akan dieksekusi dalam gelombang III dalam waktu dekat.

LBH Masyarakat telah mendaftarkan permohonan grasi atas nama Humprey Jefferson pada hari Senin, 25 Juli 2016 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan registrasi nomor: 01/grasi/2016. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi “permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.” Makna pasal ini cukup jelas, bahwa dengan didaftarkannya grasi dan selama putusan grasi belum keluar, pelaksanaan eksekusi mati terhadap Humprey Jefferson tidak dapat dilakukan dan dibenarkan secara hukum.

Humprey Jefferson sendiri mengalami banyak pelanggaran fair trial (hak atas pelanggaran yang jujur).

Pertama, kasusnya direkayasa, dan individu yang menjebaknya, Kelly, sudah mengaku penjebakan tersebut. Kelly kini sudah meninggal, tetapi sebelum meninggal Kelly sempat mengaku bersalah dan meminta maaf kepada Humprey. Kejadian ini disaksikan oleh tujuh orang saksi dan kesaksian tersebut telah diserahkan sebagai bukti Peninjauan Kembali. Tetapi oleh Mahkamah Agung kesaksian tersebut tidak dianggap memiliki kekuatan pembuktian.

Kedua, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan pidana mati terhadap Humprey Jefferson mengandung pertimbangan hukum yang rasis. Disebutkan di dalam putusan tersebut “menimbang bahwa […] orang-orang kulit hitam yang berasal dari Nigeria sering menjadi pengawasan pihak Kepolisian”. Bahwa mungkin benar banyak warga negara Nigeria terlibat dalam peredaran gelap narkotika, tetapi bukan berarti semua warga negara Nigeria pasti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Penetapan Humprey Jefferson yang akan dieksekusi dalam waktu dekat padahal yang bersangkutan masih menunggu putusan grasi dan di saat yang bersamaan kasusnya sendiri penuh pelanggaran hak hukum, menunjukkan ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap pranata hukum (rule of law). Apabila salah satu pilar penegakan hukum saja tidak menghormati hukum yang berlaku, penegakan hukum seperti apa yang hendak kita bangun?

LBH Masyarakat dengan ini mendesak Kejaksaan Agung dan Presiden Joko Widodo membatalkan pelaksanaan eksekusi mati untuk seluruhnya dan segera mengevaluasi kebijakan dan praktik hukuman mati di Indonesia.

 

Cilacap, 26 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

 Tanda Terima Permohonan Grasi Humprey Jefferson

Rilis Pers – HENTIKAN RENCANA EKSEKUSI GELOMBANG III

Pemerintahan Joko Widodo akan kembali melaksanakan eksekusi mati dalam waktu dekat. Hal ini dapat dilihat dari, misalnya: penjagaan di Nusakambangan yang semakin diperketat, terpidana mati Merri Utami dipindahkan dari LP Tangerang ke Nusakambangan, terpidana mati Zulfiqar Ali dijemput dari RSUD Cilacap kembali ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu meski ia masih dalam keadaan sakit, dan beberapa kedutaan telah mendapat undangan oleh Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung.

Pengalaman tahun 2015 menunjukkan bahwa di pertemuan semacam itu Kejaksaan Agung memberikan notifikasi eksekusi kepada pihak kedutaan bahwa warga negaranya yang bersangkutan akan segera dieksekusi dalam waktu 3×24 jam ke depan. Berdasarkan penelusuran LBH Masyarakat, setidaknya ada dua kedutaan yang telah mendapatkan undangan tersebut, yakni: Kedutaan Besar Nigeria dan Kedutaan Besar Pakistan.

Sama halnya seperti tahun lalu, pelaksanaan eksekusi kali ini juga mengandung banyak persoalan:

Pertama, setidaknya terdapat tiga terpidana mati yang santer disebut-sebut akan dieksekusi yaitu Zulfiqar Ali, Merri Utami, dan Humprey Jefferson, yang belum menggunakan hak grasinya. Padahal di banyak kesempatan, Kejaksaan Agung sudah mengemukakan akan memberikan kesempatan bagi terpidana mati menggunakan segala hak hukumnya sebelum akan dieksekusi. Jika Kejaksaan Agung tetap memaksakan eksekusi pada terpidana mati yang masih memiliki hak untuk mengajukan grasi, hal tersebut adalah bentuk ketidakpatuhan Kejaksaan Agung terhadap prinsip rule of law.

Kedua, mayoritas dari terpidana mati yang akan dieksekusi juga menyimpan persoalan unfair trial (pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang jujur). Ketiga terpidana tersebut di atas misalnya tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum yang memadai sejak penangkapan. Di kasus Merri Utami, dia mengalami kekerasan fisik dan seksual di tahap penyidikan. Kerentanan sosial-ekonominya yang dieksploitasi oleh sindikat narkotika juga tidak dipertimbangkan oleh pengadilan. Sementara itu di kasus Zulfiqar Ali, dia juga mengalami penyiksaan ketika di tahap penyidikan. Di kasus Humprey Jefferson, bahkan putusan pengadilannya menyebutkan pertimbangan yang rasis, yaitu: “Menimbang, bahwa hal lainnya orang-orang berkulit hitam yang berasal dari Nigeria sering […] melakukan transaksi penjualan jenis narkotika di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan secara rapih dan terselubung.” Pemerintah seakan percaya diri dengan sistem hukum yang ada, keadilan pasti terjamin. Lantas, keadilan seperti apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang penuh kebobrokan?

Ketiga, pemilihan terpidana mati kembali difokuskan pada kasus narkotika, padahal bukti yang ada menunjukkan bahwa hukuman mati dan eksekusi tidak berbanding lurus dengan turunnya peredaran gelap narkotika. Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), sendiri mengatakan bahwa antara bulan Juni 2015 – November 2015 terjadi peningkatan jumlah pemakai narkotika dari 4.2 juta menjadi 5.9 juta jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia menutup mata terhadap gagalnya hukuman mati dalam memberikan efek jera.

Seharusnya Pemerintah belajar dari dua gelombang eksekusi sebelumnya, bahwa eksekusi mati gagal menjadi jawaban atas permasalahan narkotika di Indonesia yang begitu kompleks. Hukuman mati menyederhanakan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan persoalan narkotika. Pemerintah seharusnya, antara lain, menyediakan akses layanan kesehatan bagi pemakai narkotika yang nondiskriminatif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tercerabut akses sosial-ekonominya, dan membenahi sistem peradilan pidana agar lebih menghormati hak asasi manusia.

Berangkat dari uraian tersebut di atas, LBH Masyarakat mendesak Pemerintah:

  1. Menghentikan rencana eksekusi jilid III dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati Indonesia;
  2. Mengkaji ulang kebijakan narkotika dan membuka partisipasi publik dalam menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia;
  3. Menerapkan moratorium hukuman mati dan eksekusi.

 

Jakarta, 25 Juli 2016

Ricky Gunawan – Direktur LBH Masyarakat

Rilis Pers – Pernyataan Sikap Bersama Masyarakat Sipil Terkait dengan Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

SAATNYA MENGEDEPANKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENANGGULANGI PERSOALAN NARKOTIKA

Pernyatan sikap bersama masyarakat sipil Indonesia terkait dengan

Sidang Umum PBB tentang Narkotika (UNGASS), 19-21 April 2016

___

Pada tanggal 19-21 April 2016 di New York, Amerika Serikat, akan berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sesi Spesial mengenai Permasalahan Narkotika Dunia (United Nations General Assembly Session atau biasa disingkat dengan UNGASS 2016).

Sehubungan dengan dilangsungkannya UNGASS 2016 yang akan dihadiri oleh negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia hendak menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana lazimnya proses negosiasi politik multilateral tingkat tinggi di mana pemerintah sebuah negara berpartisipasi, keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil adalah kemutlakan. Dalam konteks ini, Pasal 3 (e) dan Pasal 6 Resolusi PBB Nomor 70/181 mengenai UNGASS 2016 telah menjamin dibukanya ruang keterlibatan masyarakat sipil dalam memberikan kontribusi di setiap tahapan persiapan UNGASS, termasuk di level nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia sudah seharusnya melibatkan masyarakat sipil di dalam tahapan persiapan menuju UNGASS 2016.

Pada bulan Desember 2015, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia telah menginisiasi koordinasi terkait UNGASS di tataran instansi pemerintahan. Namun sayangnya, upaya yang dimulai sejak Desember 2015 belum melibatkan masyarakat sipil. Pada bulan Februari 2016, LBH Masyarakat telah mengingatkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kemlu mengenai pentingnya membuka ruang partisipasi dan keterlibatan masyarakat sipil ini. Namun dua bulan berlalu, permintaan LBH Masyarakat tesebut tidak kunjung direspon oleh BNN dan Kemlu. Baru satu minggu sebelum UNGASS, Pemerintah Indonesia mengundang perwakilan masyarakat sipil untuk hadir di dalam rapat koordinasi. Tetapi, rapat koordinasi yang diadakan hanya satu minggu sebelum UNGASS berlangsung menunjukkan bahwa tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk melibatkan masyarakat sipil secara berarti dalam perumusan sikap dan pernyataan pemerintah untuk ikut membentuk kebijakan narkotika global. Rapat tersebut seakan dipaksakan agar pemerintah dapat mengklaim telah melibatkan masyarakat sipil dalam proses UNGASS.

Kedua, kebijakan narkotika Indonesia saat ini telah memunculkan sejumlah konsekuensi negatif berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kriminalisasi pemakaian narkotika sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 adalah bentuk pelanggaran hak atas kesehatan pemakai narkotika dan justru memunculkan serangkaian pelanggaran HAM lainnya. Kriminalisasi pemakaian narkotika membuat pemakai narkotika enggan dan sulit mengakses program pemulihan ketergantungan narkotika dan menjauhkan mereka dari penjangkauan layanan kesehatan, karena khawatir akan pemenjaraan. Memenjarakan pemakai narkotika justru makin menyuburkan peredaran gelap narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan. Artinya, kriminalisasi pemakaian bukannya menurunkan angka ketergantungan, tetapi malah meningkatkannya dan memperburuk kondisi kesehatan pemakai narkotika. Dengan kriminalisasi pemakaian narkotika, pemakai narkotika juga semakin rentan mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.

Kebijakan kriminalisasi pemakaian narkotika dan penguasaan narkotika juga telah memenjarakan banyak orang hingga penjara-penjara di Indonesia harus menampung narapidana lebih dari kapasitas yang semestinya. Anggaran penegakan hukum pun jadi membengkak, dari tahap penyelidikan sampai pemenjaraan, disebabkan oleh menumpuknya kasus-kasus semacam ini.

Ketiga, kebijakan narkotika Indonesia yang punitif juga semakin melanggengkan praktik hukuman mati dan eksekusi.  Presiden Joko Widodo telah mengeksekusi empat belas orang pelaku tindak pidana narkotika pada tahun 2015 dalam kurun waktu empat bulan. Sejak eksekusi dilakukan, angka peredaran gelap narkotika terbukti tidak menurun. Justru peredaran gelap narkotika semakin marak, dan dari banyak kasus terungkap bahwa aparat penegak hukum pun terlibat dalam peredaran gelap tersebut. Pemerintah seharusnya tidak menutup pada fakta dan bukti dalam merumuskan sebuah kebijakan. Intensi dari eksekusi mati yang dilakukan oleh Indonesia adalah memberantas peredaran gelap narkotika. Tetapi ketika peredaran gelap narkotika tetap marak sekalipun eksekusi mati dilakukan, hal ini jelas menunjukkan bahwa eksekusi mati tidak terbukti berhasil memberantas peredaran gelap narkotika.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk:

  1. Mendekriminalisasi pemakaian narkotika serta penguasaan narkotika dalam jumlah terbatas

Sudah saatnya Indonesia mendekriminalisasi pemakaian narkotika secara sungguh-sungguh. Dekriminalisasi adalah tidak sama dengan legalisasi pemakaian narkotika. Dekriminalisasi pemakaian narkotika sesungguhnya selaras dengan pemenuhan hak atas kesehatan dan sesuai dengan semangat pemidanaan modern.

  1. Menghapus hukuman mati dalam perkara narkotika, karena tidak terbukti menurunkan angka kejahatan peredaran gelap narkotika.

UNGASS adalah peluang bagi negara-negara, termasuk Indonesia, untuk menimbang ulang kebijakan narkotikanya saat ini dan memberikan ruang bagi pendekatan baru yang lebih berpijak pada hak asasi manusia, kesehatan publik, inklusi sosial dan ilmiah. Oleh karena itulah UNGASS menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan narkotikanya agar tidak lagi menggunakan cara-cara lama yang justru berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia. Penanggulangan persoalan narkotika haruslah dan dapat sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Jakarta, 17 April 2016

Koalisi Masyarakat Sipil

1. East Java Action (EJA)

2. Human Rights Working Group (HRWG)

3. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI)

4. Imparsial

5. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)

6. Jaringan Nasional GWL-INA

7. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

8. LBH Masyarakat

9. Lingkar Ganja Nusantara (LGN)

10. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI)

11. Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI)

12. Pelopor Perubahan Institute

13. Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI)

14. Rumah Cemara (RC)

15. Stigma Foundation

16. Yayasan GAYa NUSANTARA

17. Yayasan Karisma

18. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

19. Yayasan Orbit

Narahubung:

Ricky Gunawan             (rgunawan@lbhmasyarakat.org)

Albert Wirya                  0819 3206 0682 (awirya@lbhmasyarakat.org)

 

Rilis Pers – Pemerintah Indonesia di CND: Sebuah Adiksi pada Perang terhadap Narkotika

Jakarta, 17 Maret 2016

LBH Masyarakat mengkritik pernyataan pemerintah Indonesia di sidang Commission on Narcotic Drugs (CND), Vienna, Selasa silam.[i] LBH Masyarakat memandang bahwa apa yang disampaikan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di forum tersebut hanya untuk menjustifikasi pendekatan lama yang usang dan tidak berhasil, tanpa sebuah niat politik untuk melakukan terobosan kebijakan yang progresif.

“Pernyataan delegasi Indonesia di Vienna kemarin tidak lebih dari ikrar kesetiaan pada perang terhadap narkotika, yang terbukti gagal dan justru lebih berbahaya bagi manusia daripada narkotika itu sendiri. Rezim pelarangan terhadap narkotika atau prohibisionis justru menempatkan narkotika di tangan para sindikat perdagangan gelap yang tidak peduli pada apapun selain keuntungan finansial,” ujar Yohan Misero, Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat.

“Kami melihat bahwa pemerintah masih bebal dengan menggunakan pendekatan yang utopis mengenai dunia yang bebas dari narkotika. Hal ini dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang condong pada penguatan langkah-langkah pencegahan dan penegakan hukum yang kemudian mendorong situasi yang punitif dan represif,” tambahnya.

Lebih lanjut, Yohan menjelaskan, “Bahkan ketika berbicara tentang perawatan, pemerintah dengan bangga menceritakan soal IPWL, Institusi Penerima Wajib Lapor, yang mana, dengan meminjam kata-kata pemerintah sendiri di Vienna, adalah ‘sebuah upaya rehabilitasi paksa’. Bentuk perawatan yang demikian melanggar berbagai aspek hak asasi manusia, tidak efektif, dan bahkan sudah berulang kali ditentang oleh banyak badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).”

“Pemerintah dengan amat halus menyebutkan bahwa untuk mengatasi permasalahan narkotika perlu ada langkah-langkah serius yang luar biasa. Pernyataan ini kemudian juga disambung dengan penekanan prinsip non-intervensi. Dalam satu kaca mata, pernyataan ini menjadi pembenaran langkah-langkah pemerintah yang punitif dan tidak humanis dalam memerangi narkotika, seperti hukuman mati.”

“Pemerintah seharusnya memandang forum CND kali ini sebagai sebuah persiapan menuju Sesi Khusus Sidang Umum PBB tentang Permasalahan Narkotika, UNGASS, pada April nanti. UNGASS dipercepat pelaksanaannya karena permintaan beberapa negara Amerika Latin yang lelah menyaksikan kondisi kawasannya yang semakin kisruh karena perang terhadap narkotika. Semestinya, pemerintah melihat sebuah kebutuhan akan perubahan, bukannya terus memegang teguh pendekatan lama yang terbukti gagal,” Yohan menjelaskan.

“Untuk mengatasi permasalahan narkotika, Indonesia, seperti banyak negara lain, memerlukan metode dan alternatif baru yang berbasis ilmiah dan mengedepankan hak asasi manusia. Dengan cara-cara yang Indonesia lakukan hari ini, justru telah memenjarakan banyak orang hanya karena konsumsi dan kepemilikan narkotika skala kecil; meningkatkan angka kematian akibat narkotika karena pemakai narkotika enggan dan tidak dapat mengakses perawatan dalam situasi kebijakan narkotika yang mencekam; menyuburkan praktik korupsi di lingkungan penegakan hukum; serta melanggar hak asasi manusia seperti: hukuman mati, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang, dan rehabilitasi paksa.”

“Dokumen akhir UNGASS masih terbuka untuk perubahan sampai di New York, April nanti. LBH Masyarakat masih berharap bahwa pemerintah mau mendengar, membuka diri, dan mendukung mosi reformasi kebijakan narkotika global. Ini adalah momentum perubahan yang kami harap pemerintah tidak sia-siakan. Namun, kita tak bisa menutup mata bahwa ini juga bisa menjadi momentum penahbisan metode-metode brutal dalam mengatasi masalah narkotika, baik di tingkat global maupun nasional,” tutup Yohan.

Narahubung:

Yohan Misero (085697545166)

[i]

Rilis Pers – Tes Urine Dadakan Kepala Daerah: Mengukuhkan Stigma Terhadap Pemakai Narkotika

Jakarta, 16 Maret 2016

LBH Masyarakat menentang rencana Pemerintah Indonesia melakukan tes urine dadakan kepada semua kepala dan wakil kepala daerah di Indonesia. LBH Masyarakat memandang bahwa tes yang dilakukan tanpa didahului pemberitahuan tersebut secara tidak langsung telah mengukuhkan stigma buruk terhadap pemakai narkotika.

Tertangkapnya Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi,[i] Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan, pada awal minggu ini telah menjadi momentum bagi pemerintah untuk meneriakkan kembali slogan-slogan perang terhadap narkotika yang tidak efektif tersebut. Hal ini memunculkan gagasan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia,  Komisaris Jenderal Budi Waseso, yang kemudian disetujui oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, untuk melakukan tes urin dadakan pada pemimpin-pemimpin daerah.[ii]

“Apa yang dicanangkan oleh Kepala BNN ini akan mengukuhkan stigma buruk terhadap pengguna narkotika. Kepala dan wakil kepala daerah seharusnya dinilai dari prestasinya selama menjabat atau apakah ia korup atau tidak. Pemakaian narkotika adalah masalah kesehatan dan oleh karena itu tidak sepatutnya dijadikan landasan untuk menstigma atau menilai seseorang,” ujar Analis Kebijakan HAM LBH Masyarakat, Yohan Misero.

“Jika seorang kepala daerah saja harus dinilai dari hal seperti ini, masyarakat akan memiliki pemahaman untuk juga menghakimi sesama warga masyarakat dengan hal yang sama. Seseorang yang menggunakan narkotika akan dipandang sebagai seseorang yang bermasalah, tidak cocok bergaul di tengah masyarakat, harus dijauhkan, serta tidak dapat menjadi seorang manusia yang produktif. Padahal dalam kenyataannya yang kita temui justru sebaliknya, banyak sekali pemakai narkotika yang dapat menjadi warga yang produktif dan berkontribusi pada masyarakat di sekitarnya. Pemerintah seharusnya mendorong kebijakan atau situasi yang lebih merangkul pemakai narkotika. Disadari atau tidak, inisiasi tes dadakan ini akan memperburuk stigma terhadap pemakai narkotika,” kata Yohan.

“Memang dalam kenyataannya, di negara ini konsumsi narkotika adalah suatu aktivitas yang ilegal, namun tidak serta merta hal tersebut menjadi justifikasi terhadap rencana ini. Sebagaimana di banyak belahan dunia, Indonesia sudah saatnya memikirkan ulang soal kriminalisasi pemakaian narkotika, yang mana terbukti buruk bagi situasi kesehatan masyarakat umum, meningkatkan stigma, serta memenuhi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan lebih dari kapasitas yang seharusnya,” Yohan menjelaskan.

LBH Masyarakat juga menyesalkan sikap BNN yang memproses Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi secara pidana.[iii] “BNN seharusnya melihat riwayat pemakaian narkotika seseorang dan sejauh apa ia terlibat dalam perdagangan gelap narkotika. Jika ia hanya seorang konsumen, seharusnya seseorang diberikan perawatan bukannya dimasukkan ke dalam penjara,” ujar Yohan.

Sebagai penutup, Yohan juga mengingatkan kepada media massa untuk melakukan pemberitaan secara berimbang, “Berita soal seorang kepala daerah memakai narkotika memang amat renyah dan mudah dijual, namun di sisi lain media juga seharusnya tidak lupa untuk memposisikan seorang pemakai narkotika sebagai seorang korban kebijakan, bukannya seorang penjahat yang harus ditangkap dan dipenjara. Dalam kasus ini, wajar ada kemarahan karena kita sedang berurusan dengan pejabat. Namun ketika narasi punitif yang sedang didengungkan oleh pemerintah ini justru menimpa orang-orang terdekat kita, haruskah saat itu baru kita berpikir ulang?”

 

Narahubung:

Yohan David Misero   +62 856 9754 5166

 

[i] https://m.tempo.co/read/news/2016/03/14/063753389/positif-pakai-narkoba-bupati-ogan-ilir-dibawa-ke-bnn

[ii] http://nasional.kompas.com/read/2016/03/16/10502601/Mendagri.Izinkan.BNN.Tes.Urine.Kepala.Daerah.secara.Dadakan

[iii] https://news.detik.com/berita/3164559/buwas-bupati-nofiandi-bukan-korban-tapi-pemakai-narkoba-yang-sudah-lama

Relawan Media Monitoring Maret-Juni 2016

Jika kamu tertarik dengan persoalan narkotika, penghukuman, LGBT, stigma dan diskriminasi HIV, dan kesehatan jiwa, LBH Masyarakat sangat ingin mengenalmu!

Berdiri sejak 2007, LBH Masyarakat adalah sebuah organisasi non-pemerintah nirlaba yang menyediakan bantuan hukum cuma-cuma, melakukan penelitian dan analisis, serta melakukan upaya advokasi kebijakan untuk membela hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Saat ini kami berkonsentrasi pada komunitas pemakai narkotika, LGBT, pekerja seks, orang dengan gangguan jiwa, orang dengan HIV/AIDS, tahanan/narapidana, serta mereka yang terancam hukuman mati/eksekusi.

Kami sedang membutuhkan relawan (volunteer) yang bersedia meluangkan waktunya setidak-tidaknya 20 jam setiap minggunya hingga Juni 2016. Ini adalah kesempatan yang sangat menarik buat kamu yang tertarik untuk memiliki karir di jalur hak asasi manusia atau aspek non-profit lainnya. Pengalaman yang kamu dapat dari masa kamu menjadi relawan juga akan bermanfaat saat kamu bekerja, apa pun pilihan karir kamu nanti.

Kami mencari mahasiswa yang:

  • Memiliki ketertarikan pada hak asasi manusia dan komunitas yang terpinggirkan
  • Internet-savvy
  • Dapat menggunakan Microsoft Word dan Microsoft Excel
  • Dapat bekerja secara independen
  • Memiliki motivasi tinggi

Deskripsi tugas utama kamu sebagai relawan: memantau dan mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia melalui penelusuran media, serta memantau perkembangan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan konsentrasi isu LBH Masyarakat.

Segera kirim CV terbaru dan Application Letter kamu ke faotari@lbhmasyarakat.org paling lambat tanggal 18 Maret 2016.

“Love is the answer, and you know that for sure; Love is a flower, you\’ve got to let it grow.”

― John Lennon

Kontribusi Kami untuk UNGASS 2016

Sesi Khusus Sidang Umum PBB (UNGASS) 2016 mengenai permasalahan narkotika akan segera diadakan di New York pada 19-21 April 2016 nanti. Kantor PBB untuk Urusan Narkotika dan Kriminal (UNODC) membangun sebuah sistem di mana masyarakat sipil dapat memberikan kontribusi  sebagai bahan serta rujukan diskusi untuk UNGASS 2016 ini, dalam berbagai bentuk seperti buku, laporan penelitian, film, surat, dan lain-lain.

Pada 3 Maret kemarin, kami telah mengirimkan kontribusi kami dan sudah dimuat juga di situs resmi UNGASS 2016. Teman-teman sekalian juga dapat mengunduh kontribusi kami tersebut melalui tautan berikut: 000316_A Proposal for UNGASS 2016_The Momentum for Change_LBHMasyarakat.

Liputan Media tentang Pekerjaan Kami

Berikut adalah beberapa tautan dari portal-portal lokal terkait kerja-kerja kami:

  1. Kompas.com, 13 April 2009, “Laporkan! Jika Nama Anda Tak Terdaftar di DPT”
  2. Kompas.com, 18 Desember 2008, Masih Ada Kesempatan untuk Tolak RUU MA
  3. Kompas.com, 18 Maret 2009, “Lapindo, Mana Janjimu?”
  4. Elsam, 3 Oktober 2010, “Proses Pemilihan Calon Kapolri – Konferensi Pers Koalisi Masyarakat Sipil”
  5. Kompas.com, 4 September 2008, “Pemikiran Munir Layak Dikembangkan”
  6. Kompas.com, 15 Desember 2008, “RUU MA Bercelah Penyalahgunaan”
  7. Kompas.com, 30 Desember 2008, “Kebijakan Publik Cenderung Untungkan Elite”
  8. Gresnews.com, 26 April 2015, “Rodrigo Mengidap Skixofrenia Sejak Lama, Kuasa Hukum Ajukan PK”
  9. Portal KBR, 26 April 2015, “Senin, Kuasa Hukum Rodrigo Ajukan PK”
  10. CNN Indonesia, 26 April 2015, “Jika Terbukti Sakit, Eksekusi Rodrigo Gularte Memalukan RI”
  11. Merdeka.com, 26 April 2015, “Ajukan PK, pengacara sebut orang gila tak boleh dieksekusi mati”
  12. FoINI, 15 Oktober 2012, “BNN Diperintahkan Buka Sebagian Peraturan Pemberantasan Narkoba”
  13. Tribun, 26 April 2015, “Kuasa Hukum Terpidana Mati Warga Brazil Sebut Kliennya Alami Gangguan Jiwa”
  14. PPID Bappeda Jatim, 30 September 2012, “Peraturan Kepala BNN Rahasia Selamanya?”
  15. RMOL, 1 Desember 2015, “KLAIM REKLAMASI DIDUKUNG MASYARAKAT CUMA BOHONG BELAKA!”
  16. jpnn.com, 17 Januari 2016, “99 Organisasi Tantang Jokowi Soal Perppu Kebiri”
  17. Kompas.com, 11 Desember 2008, “Ratifikasi Statuta Roma”
  18. Hukumonline.com, 20 November 2009, “Hak atas Kesehatan Narapidana Narkotika Terabaikan”
  19. Hukumonline.com, 1 Februari 2010, “LBH Serukan Moratorium Hukuman Mati”
  20. Kompas.com, 18 Mei 2013, “Eksekusi Mati Tidak Berperikemanusiaan”
  21. Yayasan Yap Thiam Hien, 29 April 2013, “Hukuman Mati Melanggar HAM”
  22. Hukumonline.com, 15 April 2014, “Presiden SBY Didesak Keluarkan Rehabilitasi Korban 1965”
  23. Kompas.com, 19 Januari 2015, “Jokowi Dinilai Inkonsisten soal Hukuman Mati”
  24. Hukumonline.com, 1 September 2015, “Lewat Putusan, Hakim ‘Kritik’ Cara Polisi Tangani Kasus Narkoba”
  25. Hukumonline.com, 8 Oktober 2015, “Pemerintah-DPR Dituntut Serius Hapus Hukuman Mati”
  26. Napzaindonesia.com, 12 November 2009, “Empat Aktifis Perubahan Kebijakan NAPZA Indonesia Dijadwalkan Berbicara di Albuquerque”
  27. Napzaindonesia.com, 17 Februari 2011, “Dialog Mengenai Hukum dan HIV: Bicarakan Hak Kesehatan Napi Terinfeksi HIV”
  28. Napzaindonesia.com, 23 Desember 2015, “LBH Masyarakat Desak Presiden Jokowi Tegur Kepala BNN Budi Waseso”
  29. Napzaindonesia.com, 13 Januari 2016, “LBH Masyarakat : Eksekusi Mati Akan Sejajarkan Indonesia dengan Arab Saudi”
  30. Napzaindonesia.com, 13 Januari 2016, “LBH Masyarakat : Lapas Narkotika Tidak Bermanfaat Bila Lingkungannya Korup”

Silakan beri tambahan di bagian komentar apabila anda menemukan liputan lain tentang kami. Liputan beberapa media internasional tentang pekerjaan kami juga dapat dilihat di halaman ini.

Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Persiapan UNGASS 2016

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Sesi Khusus  mengenai Persoalan Narkotika, atau United Nations General Assembly on the World Drug Problem (UNGASS) 2016 akan diselenggarakan pada tanggal 19-21 April 2016, di New York, Amerika Serikat. Sebagai organisasi masyarakat sipil yang juga banyak bekerja di persoalan kebijakan narkotika, LBH Masyarakat ingin turut berpartisipasi dalam wujud memberikan masukan substansial, khususnya dalam persoalan penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, kepada pemerintah terkait dengan UNGASS 2016 tersebut. Harapannya, LBH Masyarakat dapat membantu pemerintah memetakan masalah-masalah kebijakan narkotika sebagaimana akan dibahas di UNGASS 2016, sehingga pemerintah memiliki pemahaman yang lebih kaya terkait persoalan kebijakan narkotika.

Di samping itu, sebagaimana diamanatkan oleh PBB melalui Resolusi Sidang Umum No. A/RES/69/200, tertanggal 26 Januari 2015, Resolusi Sidang Umum No. A/RES/70/181, tertanggal 8 Januari 2016; dan Commission on Narcotics Drugs (CND), melalui Resolusi Nomor 57/5 dan Resolusi Nomor 58/6, kesemuanya menekankan peran penting masyarakat sipil dalam proses UNGASS 2016 serta mendorong negara-negara untuk membuka ruang partisipasi dan konsultasi yang seluas-luasnya dengan banyak pihak, termasuk masyarakat sipil, dan menjamin bahwa proses tersebut berlangsung inklusif. Oleh karena itu, LBH Masyarakat menilai bahwa keterlibatan masyarakat sipil adalah penting dan sebuah keharusan di dalam proses persiapan negara dalam menghadapi UNGASS 2016.

LBH Masyarakat berharap agar keterlibatan masyarakat sipil dalam proses persiapan UNGASS 2016 tidak diinterpretasi oleh pemerintah hanya dengan mengundang lembaga swadaya masyarakat yang sejalan dan memiliki alur pikir yang sepaham dengan kebijakan narkotika pemerintah selama ini. Pemerintah, oleh karena itu, harus membuka diri dan melibatkan organisasi masyarakat sipil yang juga merasakan dampak buruk dari kebijakan narkotika pemerintah selama ini.

 

Surat kami pada BNN RI terkait masalah ini dapat diunduh di: Permohonan Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Persiapan UNGASS 2016_BNN RI_LBH Masyarakat Surat kami pada Kemlu RI terkait masalah ini dapat diunduh di: Permohonan Pelibatan Masyarakat Sipil dalam Persiapan UNGASS 2016_Kemlu RI_LBH Masyarakat

Gambar: drogasmexico.org